Friday, February 27, 2009

Menggagas Kepemimpinan Alternatif

Puncak dari multikrisis di Indonesia sebenarnya terkait krisis kebangsaan atau nasionalisme. Asumsinya, kalau nasionalisme (dalam pemahamannya yang substantif) dari seluruh komponen bangsa ini masihkuat, beragam persoalan bangsa masih bisa diurai untuk dicarikan solusinya.
Krisis kebangsaan tentu bukan sekadar memudarnya batas-batas negara (terkait globalisasi dan
kemajuan teknologi) atau ancaman separatisme, tetapi melelehnya nilai-nilai luhur yang dulu mendasari terbentuknya Indonesia sebagai negara bangsa. Nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan dialog yang kelak berguna menjaga keutuhan bangsa dicampakkan dan disubstitusi dengan kultur dan nilai-nilai egoistis, pragmatis, dan oportunistis. Pada aras sosial, misalnya, kebebasan pasca-Orba telah membuat kohesi antarwarga bangsa meluntur. Potensi titik-titik api konflik sosial tak kunjung hilang. Belum sembuh luka akibat konflik bernuansa SARA di beberapa daerah, potensi pertentangan fisik baru kini muncul lagi ke permukaan menyusul aksi-aksi main hakim sendiri dari sekelompok masyarakat yang memaksakan kehendak. Celakanya, pemerintah dan aparat sendiri tidak tegas. Dalam batas tertentu, pemerintah bahkan terkesan 'mengambangkan' persoalan, seperti kasus Ahmadiyah.

Pada sisi lain, kerapuhan nasional juga tercermin dari relasi elit dan rakyat yang tak lebih sebagai hubungan 'ekonomi politik' belaka. Untuk kepentingannya, elite cenderung memanfaatkan 'kepolosan' massa (rakyat). Bahkan kerap menggunakan berbagai cara, termasuk kata-kata sakti, seperti atas nama rakyat dan kepentingan nasional. Padahal tindakan dan perilaku mereka sendiri kerap merugikan kepentingan nasional, seperti tercermin dari perilaku korupsi, mencabut subsidi dan kegemaran mengonsumsi produk luar negeri.
Krisis saat ini sebenarnya krisis yang lebih banyak dirasakan rakyat, bukan elit atau kelas menengah keatas. Kelompok elit biasanya memiliki siasat supaya tidak terkena ekses buruk krisis. Mereka bahkan bisa meraup untung dari krisis yang mendera bangsa. Solidaritas kebangsaan dan kerakyatan yang dulu ditasbihkan para patriot pendiri negara dan kini kerap dikumandangkan kelompok elit, akhirnya tak lebih sebagai retorika politik belaka.
Sedangkan pada tingkat massa, nasionalisme sebenarnya masih tetap membatin. Lihatlah patriotisme masyarakat dalam menanggapi perselisihan Indonesia-Malaysia, seperti kasus Sipadan-Ligitan dan kontroversi klaim lagu Rasa Sayange oleh negara jiran itu belum lama ini. Begitu pula sentimen publik yang muncul atas perjuangan atlet-atlet Indonesia membela panji-panji negara. Rakyat pun tetap antusias mengibarkan Merah Putih saat-saat momentum historis, seperti Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, dan lainnya.

Persoalan lain, yang juga agak mengganjal, nasionalisme lebih diidentikkan dengan kelompok tertentu vis a vis kelompok-kelompok lainnya. Ini juga gambaran potensi keterpecahan bangsa. Ketika muncul persoalan terkait kepentingan nasional, seperti privatisasi BUMN dan modal asing, respons elit menjadi terbelah. Padahal realitas perbedaan pendapat mestilah diletakkan dalam kerangka kepentingan nasional.

'Dwitunggal' Baru? Kompleksitas persoalan bangsa sekarang ini juga sering dikaitkan dengan lemahnya kepemimpinan dilevel nasional maupun lokal. Pasca-kemerdekaan, sulit menemukan kepemimpinan yang mampu 'menggerakkan' seluruh komponen bangsa, bersatu mewujudkan kepentingan nasional sekaligus memiliki visi kuat menangani aneka persoalan negara bangsa yang kompleks ini. Dalam batas tertentu, meski bukan suatu altruisme, realitas sosial politik ini bisa dipahami. Jika pemimpin masa lalu lahir dari rahim idealisme perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, pemimpin sekarang umumnya lahir dari rahim zaman pragmatisme. Sebagian dari mereka, bahkan tipikal elit yang tidak satu kata dan perbuatan. Elit politik dalam sejarah kontemporer juga cenderung menonjolkan kepentingan sempit dan jangka pendek. Tak heran, ketika elit berteriak soal kepentingan rakyat dan negara, publik tak serta merta percaya. Masalahnya tentu bukan pada persepsi publik yang cenderung apatis, tetapi justru pada kualifikasi dan kapabilitas pemimpin yang muncul. Belum terlihat indikasi kuat bakal tampilnya suatu kepemimpinan nasional yang punya kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas, visi dan kredibilitas yang kuat menangani persoalan bangsa yang kompleks. Lapisan pemimpin yang dominan sekarang adalah kelompok elit politik yang tidak memiliki kinerja dan track record yang meyakinkan. Kepemimpinan muda juga belum begitu kelihatan. Sekarang harapan kepada mereka tinggi, tetapi sumber-sumber rekrutmen kepemimpinan politik masih mewarisi kultur feodal dan tipikal elite lama.

Beberapa partai memang berhasil menampilkan kader-kader mudanya di eksekutif dan legislatif lokal, bahkan tampil dominan, tetapi kinerjanya belum meyakinkan. Mereka bahkan juga terjebak konservatisme politik. Tentu sulit mengharapkan munculnya perubahan mendasar dari tipikal kepemimpinan konservatif. Apapun, untuk mempersatukan kembali bangsa yang nyaris terkoyak, membangun perekonomian negara dan rakyat, dan mengangkat kembali martabat bangsa, agar tidak dianggap 'enteng' oleh elemen bangsa sendiri dan negara-negara lain (termasuk negara-negara tetangga yang secara geografis jauh lebih kecil), memang dibutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya kuat visinya tetapi juga luhur integritasnya.
Tetapi di atas itu, dia mesti seorang permimpin nasionalis plus yang tidak hanya bisa menggerakkan seluruh potensi bangsa. Tetapi juga memiliki kecakapan dan kapabilitas kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan bangsa di abad 21, baik menghadapi tantangan internal maupun eksternal yang makin kompleks. Kita jadi teringat kepemimpinan 'dwitunggal' Soekarno-Hatta. Jika Soekarno dianggap sebagai tipikal 'solidarity maker' dan penganjur nasionalisme yang kuat, maka Hatta adalah tipikal administrator yang cakap. Sekalipun pada akhirnya berpisah jalan, tetapi kombinasi kedua tipikal kepemimpinan berdampak luar biasa, seperti saat merebut kemerdekaan (1930-1945) dan Revolusi Fisik
(1945-1949).

Kepemimpinan Soekarno-Hatta memang sudah menjadi catatan sejarah, namun menghadapi tantangan kekinian dan ke depan yang makin kompleks, terutama di tengah melunturnya kesadaran nasional. Dalam batas tertentu, menggali kembali khazanah kepemimpinan 'dwitunggal' tetap relevan, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian dengan tantangan kekinian dan ke depan. Nilai-nilai unggul dari model kepemimpinan Bung Karno, seperti kemampuannya menjadi katalisator, penggugah dan perekat persatuan nasional serta aksebtabilitasnya yang luas di kalangan masyarakat saja tentu tidak cukup. Model kepemimpinan integratif (bukan sekadar 'solidarity maker') itu harus dilengkapi dengan tipikal 'administrator' ala Bung Hatta, dengan visi yang kuat atas persoalan dan dinamika yang dihadapi bangsa sejalan dengan tantangan abad 21. Selanjutnya, tinggal bagaimana demokrasi dan demokratisasi yang kini berjalan mampu menyediakan ruang bagi lahirnya tipikal kepemimpinan alternatif tersebut.
Ikhtisar

No comments: