Monday, July 14, 2008

Penyimpangan APBD

Berita tentang penyimpangan APBD Propinsi Banten yang dilansir oleh media masa lokal dan nasional beberapa waktu lalu membuat kita prihatin, bagaimana tidak disaat banyak rakyat hidup miskin, pendidikan semakin mahal, pelayanan publik yang juga tidak kunjung membaik, kita disuguhi sebuah berita yang sangat memalukan, yaitu Ada Penyimpangan Dana APBD Banten Rp 166,69 Miliar pada tahun 2007. Dan yang lebih memalukan lagi bahwa penyimpangan Anggaran terjadi juga pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 sebesar 703,98 Milyar dimana 659,87 Milyar belum dikembalikan ataupun diperbaiki. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan APBD Pemprov Banten tahun 2005. perwakilan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyebutkan, setidaknya pada tahun 2004 dan 2005 APBD propinsi Banten terjadi penyimpangan. Dari 19 temuan dengan total kerugian daerah sebesar Rp12 miliar itu terdiri dari kasus penyimpangan dalam APBD 2005 sebesar Rp8,077 miliar dan APBD 2004 sebesar Rp4,148 miliar, kekurangan penerimaan sebesar Rp5 miliar dan kekurangan administrasi sebesar Rp72,992 miliar.

Lebih mengejutkan lagi bahwa berdasarkan laporan Perwakilan BPK, Kabupaten Serang pun melakukan hal yang sama didalam pengelolaan APBD nya, yaitu terdapat penyimpangan APBD. Berdasarkan hasil temuan, Penyimpangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Serang, untuk tahun 2007 mencapai Rp 51,06 miliar. Selain itu, laporan keuangan yang diajukan Pemerintah Kabupaten Serang dianggap kacau sehingga harus diperbaiki. Setidaknya, BPK mendapati 33 temuan penyimpangan APBD dengan total nilai Rp 51,06 miliar. Terdiri dari temuan yang berindikasi mengakibatkan kerugian daerah Rp 1,19 miliar, temuan kekurangan penerimaan daerah Rp 2,03 miliar, dan temuan penyimpangan administrasi yang mencapai Rp 47,84 miliar. Menurut laporan BPK, baru Rp 877,46 juta yang ditindaklanjuti, yakni dikembalikan atau ditemukan penggunaannya, sedangkan Rp 50,18 miliar penyimpangan anggaran di antaranya belum ditindaklanjuti. Dengan demikian, menurut BPK, sisa penyimpangan anggaran yang mengakibatkan kerugian negara berkurang menjadi Rp 650,73 juta. Begitu pula besaran kekurangan penerimaan sudah berkurang menjadi Rp 1,89 miliar, dan penyimpangan administrasi berkurang menjadi Rp 47,63 miliar. Selain penyimpangan anggaran, BPK menilai laporan keuangan yang dibuat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang tergolong buruk.

Soal Akuntabilitas ?

Jika kita merenungkan kembali hasil-hasil temuan BPK diatas yang berkaitan dengan penyimpangan-penyimpangan APBD, baik dilevel Propinsi maupun di level Kabupaten/Kota tentunya kita menjadi bertanya-tanya, tidakkah pemerintah menggunakan prinsip-prinsip Akuntabilitas didalam pengelolaan APBD nya? Atau apakah pemerintah tidak menjalankan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Goverment)? Sehingga setiap tahun terjadi kesalahan-kesalahan yang serupa, yaitu adanya penyimpangan APBD?

John Piere dan B Guy Peters (2002:2 ) yang dikutip oleh Riant Nugroho (2004:223) menyatakan bahw substansi dari Pemerintahan yang baik dan bersih ( good governance) adalah; pertama Akuntabilitas, yaitu bahwa Para pengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik (baik pihak Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat), harus siap secara terbuka mempertanggungjawabkan keputusannya kepada publik. Dan Pejabat publik tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya, tetapi juga kepada seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders); Kedua Transparansi, yaitu bahwa Masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang proses dan alasan pengambilan keputusan; Ketiga Fairness atau keadilan, yaitu Pemerintahan yang baik mampu mengatur pemberian kesempatan secara adil berdasarkan nilai-nilai yang berterima kepada masyarakat. Dan Keempat adalah Responsivitas atau ketanggapan, yaitu bahwa pemerintah harus peka dan tanggap terhadap keluhan dan aspirasi masyarakat.
serta pemerintah harus membuka diri untuk dikritik, dan membuka diri untuk memberi jawaban dan melakukan perbaikan, apabila perlu.

Dalam pembicaraan mengenai good governance, salah satu soal mendasar yang harus diperbaiki adalah berkaitan dengan akuntabilitas. Menurut Andi S Muhtar, (2007) Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam konteks akuntabilitas; yaitu penerapan akuntabilitas secara konsisten memerlukan penerapan prinsip transparansi dan independensi, penerapan prinsip kuntabilitas akan berkait langsung dengan kinerja pemerintahan dalam pelayanan publik, dan akuntabilitas dapat menghubungkan antara kontrol serta memiliki kepentingan untuk saling memperkuat dan mengontrol.

Akhirnya dengan adanya berbagai laporan-laporan penyimpangan APBD diatas, sudah seharusnya kita sebagai bagian dari elemen stakeholder di Banten mendorong kepada pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislative untuk segera merumuskan peraturan daerah (perda) tentang transaparansi pengelolaan APBD. Kehadiran perda transparansi dirasakan perlu untuk dijadikan sebagai media dalam mewujudkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kepemerintahan yang baik dan bersih, sehingga dapat mengeliminir terjadinya penyimpangan-penyimpangan APBD yang seringkali terjadi setiap tahun. Dan yang lebih penting lagi dengan adanya perda transparansi tersebut, masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan tersebut. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan. Wallahu’alam Bishowaf.

Tuesday, May 6, 2008

MENAKAR KEPEMIMPINAN KOTA SERANG

Serang kini telah menjadi dua yaitu kabupaten Serang dan Kota Serang, keduanya memiliki akar sosial, kultur dan pranata politik yang sama. Kota Serang merupakan kota termuda di propinsi Banten, yang sekarang sedang berbenah, ibarat bayi yang baru lahir belum dapat melakukan kegiatan dan aktivitas sendiri, dari sisi ekonomi belum dapat menghasilkan sesuatu tapi masih tergantung kepada induknya, begitu juga Kota Serang masih menginduk kepada kota induknya yaitu Kabupaten Serang dan Propinsi Banten.
Dalam kondisi seperti ini seharusnya kota Serang di konsep secara benar dan dibidani dengan benar pula, membuat pola untuk sesuatu yang baru lahir lebih mudah dari pada yang sudah tua. Membentuk karakter dan sifat akan lebih mudah karena belum terlalu kompleksitas permasalahannya. Mualilah dari sekarang Kota serang di manage agar tubuh menjadi kuat dan sehat dalam pengelolaan pemerintahannya, mengelola sumber daya yang dimilikinya dan memperhatikan rakyatnya. Jangan racuni kota serang dengan asupan calon aparat yang kolusif, nopotis, dan korup yang hanya mementingkan sendiri tanpa memperhatikan masyarakat apalagi berfikir tentang kesejahteraannya.
Salah satu indikator kemajuan Kota Serang adalah dari siapa yang memimpinnya, bagaimana visi misinya, bagaimana kemampuan managerialnya, bagaimana karakternya, bagaimana kadar intelektualnya dan yang paling penting bagaimana akhlaknya, dan masih banyak sekali pertanyaan untuk kempimpinan walikota Serang.
Menyaksikan drama siapa pemimpin kota Serang, muncullah beragam macam manusia berlomba memasuki arena Pilkada, dari mulai utsad, artis, pejabat, politikus, pengusaha, pedagang, jawara, kiyai dan lain sebagainya. Sangat luar biasa maginit yang namanya kekuasaan siapapun tergoda dan tergiur untuk menggapainya, dengan segala cara, dengan segara strategi, dengan segala-galanya.
Akhir-akhir ini muncul fenomena artis memimpin, dicontohkan bang Doel dan Dede Yusuf, rupanya Kota Serang juga latah dan mengikuti kisah sukses artis menjadi pemimpin daerah, siap-siaplah politisi untuk berhadapan dengan figur artis yang memiliki populeritas sangat tinggi, hampir semua orang mengenal dan mengetahui sosok tersebut. Tidak perduli apakah memiliki kapasitas sebagai pemimpin atau tidak, suka atau tidak suka inilah pesta demokrasi siapapun memiliki hak memilih dan dipilih sebagai pemimpin.
Menurut orang bijak jika suatu masalah diserahkan bukan pada ahlinya tunggulah saat kehancuranya, dalam kaitannya dengan kesuksesan seorang pimpinan ada empat sifat umum yang dapat mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan, dan harus dimiliki oleh pemimpin yaitu :
a. Kecerdasan, Pemimpin harus memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan yang dipimpin. Dengan hal ini diharapkan pemimpin dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi dilingkungan kepemimpinannya. Untuk mengukur pemimpin dari segi kecerdasan, parameter sederhanya adalah tingkat pendidikan, pendidikan menjadi penting karena mencirikan meraka yang memiliki konsep atau tidak, bagaimana seorang pemimpin akan meningkatkan mutu pendidikan untuk masyarakatnya tapi pemimpinya tidak terdidik. Kecerdasan bagi seorang pemimpin itu adalah mutlak harus dimiliki.
b. Keluasan hubungan sosial, Pemimpin dalam hal ini cenderung lebih matang dan mempunyai emosi lebih stabil serta mempunyai perhatian yang luas pada aktivitas-aktivitas sosial. Pemimpin harus memilki sense of social yang tinggi, dalam arti keberpihakan terhadap masyarakat yang dipimpinnya, karena anggota masyarakat bukan hanya kalangan pengusaha dan potikus saja yang diperhatikan lebih, bukan hanya golongan dan partainya saja, tapi seganap masyarakat yang lain terlebih mereka yang lemah dan papa. Kemiskinan yang tinggi disebabkan pemimpin yang tidak memiliki sentuhan sosial yang tinggi.
c. Motivasi diri dan dorongan berprestasi, Pemimpin relatif memilki motovasi diri yang tinggi dalam mencapai prestasinya. Ini ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, prestasi tertinggi dari seorang pemimpin adalah menciptakan rasa aman, adil dan sejahtera bagi masyarakatnya. Untuk menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan tidak mudah, masyarakat sejahtera tapi tidak ada keadilan hukum, ekonomi, politik dan lain sebagainya mengakibatkan matinya demokrasi, atau sebaliknya masyarakat diberikan keadilan tapi sisi lain tidak sejahtera yang berdampak kemiskinan yang bekepenjangan.
d. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan, Pemimpin yang berhasil yang mengakui akan harga diri dan kehormatan masyarakatnya. Yang belum dimiliki oleh pemimpin kita adalah membela kehormatan dan hak-hak rakyatnya. Baik hak dasar seperti ketersedian pangan, sandang dan pendidikan, Ini terlihat dari ketidak pedulian pemimpin terhadap nasib orang miskin, harga-harga sembako yang begitu melonjak, banyak dari mereka tidak makan dalam beberapa hari, kaum ibu-ibu menjerit karena jatah gajian atau pengasilan keluarga tidak cukup.
Terakhir, Kota Serang adalah baru lahir dari pemekaran Kabupaten Serang, karena ini merupakan kota relatif baru, maka pondasi yang diperlukan adalah kepemimpinan yang kuat yang memiliki wawasan yang luas, karakter kuat untuk membangun kota ini, akhlaknya baik tidak memiliki cacat masa lalu. Kota Serang jangan dijadikan kota Dagelan oleh partai politik, menjagokan calon pimpinan hanya sekedar untuk meraup kekuasaan dengan jalan pintas, mengusulkan seorang pemimpin hanya modal tampang dan uang semata, maka siap-siaplah kehancuran kota ini oleh permainan kita. Kami mendambakan kota Serang yang adil, makmur dan sejahtera dengan landasan nilai-nilai Islam.

Penulis :
Nursoleh
Staf Pengajar STIE Al-Khairiyah Cilegon dan
Direktur Riset TSC (Pusat Studi Kepemimpinan Publik) Banten

Monday, May 5, 2008

Mencegah Kembalinya Rezim Otoritarianisme

Oleh: Sayuti Asyatry
Wacana perlunya gubernur dipilih langsung oleh presiden tidak ubahnya seperti ayunan balik bandul penguatan otonomisasi daerah. Otonomisasi pembangunan dan eksperimentasi politik berbasis lokal melalui pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan relatif baik selama ini jelas bisa terganggu. Dan, jika gagasan ini diterapkan, semua logika Negara Kesatuan Republik Indonesia dan otonomi daerah bisa menjadi jungkir balik karena tidak mungkin kita kembali memutar jarum jam pembangunan daerah sehingga kondisinya bisa lebih buruk daripada sebelum reformasi.
Lebih dari itu, gagasan gubernur dipilih langsung oleh presiden merupakan langkah mundur proses demokrasi yang kita perjuangkan selama ini. Bahkan gagasan ini dapat mendorong kembalinya rezim otoritarianisme seperti rezim Orde Baru yang membelenggu hak-hak politik warga negara, kue pembangunan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, dan seterusnya. Karena itu, kita harus mencegah kembalinya praktek politik otoritarianisme itu dengan menolak gagasan tersebut.
Terus terang, gagasan yang berawal dari rekomendasi peserta kursus reguler XL Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) terlihat aneh. Bagi saya, kepemimpinan daerah itu tidak selesai hanya dengan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Penunjukan langsung ini justru mengentalkan adanya tambal sulam penyelesaian masalah, tapi sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya.
Selain perlunya mewaspadai kembalinya rezim otoritarianisme dalam perspektif politik kekuasaan semata, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden itu perlu dikaji apakah ada upaya berbagai pihak menggunakan kekuasaan sebagai instrumen kapitalisasi ekonomi seiring dengan semangat otonomisasi daerah saat ini. Persoalannya sangat mendasar, jika hal ini diterapkan, konflik kepentingan (conflict of interest) akan tidak terhindarkan.
Jika demikian, hal terburuk yang akan terjadi adalah kian menguatnya sentralisasi kekuasaan serta melemahnya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (community development) berbasis lokal. Hal ini terjadi karena kuatnya tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah pusat (dalam hal ini presiden sebagai pemegang kedaulatan negara) di satu sisi dan kepentingan politik pemberdayaan masyarakat daerah di sisi yang lain.
Logikanya, tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan antara pusat dan daerah ini pasti terjadi. Pertama, jika gubernur itu dipilih/ditunjuk secara langsung oleh presiden, loyalitas seorang gubernur dan proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan bergerak sesuai dengan pendulum politik pemerintah pusat atau kepentingan politik presiden dan hal ini sangatlah berbahaya. Kedua, sebagai konsekuensinya, pembangunan dan pengembangan masyarakat (community development) di daerah akan terus terpinggirkan, karena masa depan karier politik gubernur ditentukan oleh presiden, bukan masyarakat yang dipimpinnya. Jelas ini sebuah pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi.
Karena itu, sekali lagi, gagasan tersebut perlu ditentang. Paling tidak dibutuhkan satu penelitian mendalam karena hal ini menyangkut soal masa depan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat, bangsa, dan negara. Yang jelas, berbagai hasil studi atau penelitian akademik hingga awal abad ke-21 ini menunjukkan bahwa demokrasi masih merupakan pilihan terbaik sistem politik yang diterapkan di berbagai belahan dunia.
Mengacu pada kerangka berpikir di atas, maka semua pihak mesti menyadari arti penting memelihara praktek demokrasi secara lebih menyeluruh sehingga substansi demokrasi itu menjadi kesadaran publik, bukan semata dalam praktek politik dan kekuasaan, melainkan juga dalam relasi sosial kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Memang, sangatlah disayangkan gagasan penunjukan langsung jabatan gubernur oleh presiden itu lahir dari rekomendasi peserta kursus reguler Lemhannas. Sebagai institusi pemerintah, lebih-lebih sebagai komunitas intelektual, Lemhannas semestinya mengkaji secara detail terlebih dulu soal dampak positif-negatifnya terhadap pembangunan masa depan bangsa dan negara. Yang pasti, saat ini masyarakat sudah tidak lagi menghendaki kembalinya rezim otoritarianisme. Karena itu, Lemhannas semestinya sadar dan menyadari posisinya sebagai komponen pemimpin bangsa yang seharusnya mendidik masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Terkait dengan kepemimpinan daerah, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 4, misalnya, jelas-jelas ketentuan pemilihan kepala daerah, baik pemerintahan tingkat I (gubernur) maupun pemerintahan tingkat II (bupati dan wali kota), dipilih secara demokratis. Artinya, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden menjadi tidak relevan. Diperkuat pula oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 56 ayat 1, bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket secara demokratis, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam perspektif pemikiran inilah gagasan tersebut layak ditentang, karena secara substansial bertentangan dengan semangat demokrasi dan terutama bertentangan dengan undang-undang sebagai landasan yuridis yang mendasari seluruh perundang-undangan. Di sisi yang lain, secara psikologis, komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat sebagai konstituen akan menjadi lebih efektif dalam kerangka membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Memang, bagaimanapun kekhawatiran akan terjadinya pelemahan proses pemberdayaan masyarakat--jika jabatan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden--menjadi tidak terhindarkan. Fenomena ini dapat dibaca dengan kian melebarnya sayap-sayap perilaku korupsi di kalangan pejabat negara di berbagai lini kehidupan birokrasi. Artinya, bisa jadi gagasan penunjukan langsung gubernur oleh presiden itu merupakan strategi baru guna memperkuat struktur kekuasaan pemerintah pusat di daerah sebagai manifestasi kembalinya rezim otoritarianisme.

Membangun LSM yang Independen

Oleh: Achmad Rozi El Eroy
Dalam dunia pergerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM), persoalan kualitas sumberdaya manusia menjadi perhatian utama, sebab dengan sumberdaya manusia yang handal akan mampu mengerakkan dan mendayagunakan seluruh kekuatan sumberdaya organisasi lainnya secara optimal. Maka wajar kalau kita melihat dan mendapati banyak lembaga swadaya masyarakat memberikan perhatian lebih besar kepada aspek pengembangan sumberdaya manusia melalui serangkaian program pendidikan, pelatihan, pemberdayaan dan pengembangan secara terus menerus, terorganisir dan sistematis. Dimana muara dari semuanya itu yang ingin dicapai pada sisi internal adalah dalam rangka mencapai visi dan misi serta tujuan besar dari lembaga swadaya masyarakat tersebut didirikan, yaitu bagaimana memberikan dan melaksanakan proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat menjadi lebih baik, lebih berdaya, dan tercerahkan. Sementara pada sisi eksternal, tujuan dari perhatian terhadap kualitas sumberdaya manusia adalah yaitu meningkatkan kinerja organisasi (baca:LSM) sehingga lebih produktif serta memiliki kontribusi terhadap proses pemberdayaan masyarakat secara mikro, dan pembangunan bangsa secara makro.

Perilaku Organisasi yang sehat
Mengapa kita mengelola organisasi? Tak lain adalah agar organisasi itu bisa hidup selama mungkin (sustainable). Tak gampang memang, tetapi itulah tugas yang harus diemban oleh seorang pengurus (baca: pimpinan). Dalam mengelola organisasi ada dua hal penting yang secara fundamental harus dilihat oleh para pimpinan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah semua faktor sumberdaya yang berada dalam internal organisasi, misalnya sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, struktur organisasi dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar organisasi, misalnya pemerintah, investor, dan lain sebagainya. Organisasi dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan hidupnya selalu mengalami pasang surut, dan yang seperti itu adalah sebagian kecil dari salah satu dari proses menuju kematangannya.
Dalam proses menuju kematangannya, anggota-anggota organisasi yang notabene adalah aktivis LSM terlibat aktif di dalamnya. Dalam kontek ini perilaku-perilaku individu inilah yang kemudian memberikan kontribusi dalam proses kematangan organisasi. Bahkan boleh disebut, perilaku individu ini merupakan urat nadi berkembang tidaknya organisasi. Tugas pimpinan organisasi adalah bagaimana mengelola perilaku-perilaku anggota organisasi tersebut menjadi sehat dan produktif, dalam arti sehat dalam berfikir dan produktif dalam bertindak. Dengan dua hal tersebut, menjadi prasyarat berkembangnya perilaku organisasi yang sehat, rasional dan visioner.

Mengembangankan Budaya Rasional
Kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan karsa manusia dalam perjalanan sejarahnya dimulai dari yang paling sederhana, berkembang dan terus maju terus setahap demi setahap sampai pada kompleks dan modern. Budaya yang bertambah maju secara akumulatif, mutunya semakin meningkat, sehingga didalamnya sering ditemui unsur-unsur kebudayaan yang bersifat dinamis. Budaya itu akan berpengaruh langsung pada kehidupan individu dan masyarakat dalam mewujudkan eksistensinya masing-masing. Budaya yang dipengaruhi nilai-nilai agama secara bersama-sama akan membentuk system nilai yang mewarnai sikap mental dan membatasi tingkah laku individu dan kelompok. System dan nilai yang tergambar didalam budaya tersebut pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap pola sikap, pola pikir dan pola tindakan manusia, dan kondisi tersebut tidak terkecuali juga akan dirasakan oleh para aktifisis LSM.
Sebagai sebuah organisasi non profit, LSM sudah seharusnya mampu mengembangkan sebuah Budaya organisasi yang bervisi rasional dan transformatif. Budaya LSM penting untuk diwacanakan, karena dua alasan; Pertama, Budaya akan mengikat secara emosional dan psyikologis dan sadar para aktivis LSM untuk memiliki sense of belongin yang tinggi terhadap organisasinya. Kedua, dengan adanya budaya organisasi, akan mampu meminimalisir dan bahkan menghilangkan adanya berbagai kepentingan pribadi (vested interest) masuk ke dalam institusi LSM. Ketiga, memastikan adanya kesamaan pandangan diantara para pengurus LSM dalam mengelola organisasi secara profesional. Budaya LSM dibentuk dan dikembangkan oleh dan akan ditentukan oleh pelaku LSM sebagai ciri-ciri utama budaya mereka sampai batas tertentu. Dalam konteks ini rasionalitas budaya menjadi satu kebutuhan bersama yang harus segera mungkin diwujudkan dalam bentuk perilaku yang sehat dan santun. LSM sebagai organisasi non profit yang yang berbasis pada pemberdayaan dan pencerahan masyarakat, secara internal harus mampu menampilkan dan mengembangkan sebuah budaya yang rasional, yaitu budaya yang dapat diterima semua kalangan, baik internal maupun eksternal.

Agenda LSM Banten
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka terdapat dua hal penting yang harus dijadikan sebagai agenda dan refleksi bagi LSM didalam melakukan serangkaian gerakan-gerakan sosialnya di masyarakat, Pertama; memperkuat pada visi Intelektualitas, LSM harus selalu dan senantiasa bersinggungan dengan hal-hal yang berdimensi pada intelektualitas, karena hanya dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, maka akan tercipta proses pencerahan yang semestinya; kedua menjaga Independensi, nilai ini mutlak dimiliki oleh setiap aktifis LSM baik secara personal ataupun secara institusi. Jika menginginkan tumbuhnya sebuah budaya yang rasional. Independensi (Kemerdekaan) dalam arti yang luas misalnya kemerdekaan berfikir dan berpendapat merupakan hak asasi yang harus dihormati dan dihargai. Unsur patronase, unsur patriaki dan lain sebagainya merupakan penghambat lahirnya kemerdekaan berfikir dan berpendapat.
Era reformasi dan otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak LSM yang bersifat instan, sebagian besar LSM lahir bukan dalam konteks gerakan sosial dan jaringan sosial yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas proyek-proyek pemerintah maupun sebagai bentuk “gerakan politik” untuk memainkan kepialangan politik. LSM yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk mencari proyek, entah melalui lobby atau melontarkan kritik keras kepada Pemda agar mereka memperoleh proyek. LSM “gerakan politik” sangat rajin melakukan kasak-kusuk menjadi broker politik dalam pemilihan kepala daerah, maupun pejabat teras di daerah. Dan ketiga membangun dan mengembangkan iklim Transparansi, transparansi merupakan suatu kondisi dimana masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan
Akhirnya dengan mengusung tiga agenda diatas, diharapkan kehadiran LSM di Banten dapat lebih mewarnai dinamika proses pembangunan Banten kearah yang lebih baik, dan lebih kontributif terhadap dinamika sosial masyarakat. Saat ini tidak cukup dengan jumlah LSM yang banyak, tetapi harus juga lebih diperkuat pada sisi kapabilitas dan kredibilitas LSM tersebut ditengah-tengah masyarakat, jangan sampai kehadiran LSM yang banyak malah membuat masyarakat menjadi antipati dan dan bahkan cenderung mencibir negatif adanya LSM tersebut. Wallahu’alam Bishowaf.®

Tuesday, April 22, 2008

The Sultan Center: Demokrasi dan Pembangunan

The Sultan Center: Demokrasi dan Pembangunan

Kepemimpinan Generasi Muda Dalam Pemilu 2009

Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 adalah menjadi tonggak kebangkitan kaum muda untuk berikar tentang satu Indonesia. Dimana pemaknaan tersebut makin kabur, seakan-akan proyek nasoinalisme telah terkubur hari ini. Cita-cita Indonesia antara masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang hendak ditakar dengan takaran yang sama. Janji-janji meningkatkan kesejahteraan rakyat hannya sebatas wancana-wancana yang yang tak kunjung implementasinya. Sepertinya Indonesia selesai setelah terlepas dari belenggu penjajahan dan berdaulat secara politik. Salah besar jika pemikiran kolektif ini terus terpelihara.
Keindonesaiaan adalah proyek yang terus bergerak, Indonesia harus mempunyai pandangan logika kepentingan masa yang berbeda. Musuh yang amat nyata saat ini kemiskian, ketidakadilan, kebodohan, pengangguran dan korupsi. Inilah wajah Indonesia yang telah membuat tinding tebal sampai hari ini. Apakah ada cara untuk membongkar dinding tebal itu? Satu-satunya jalan adalah Pemimpin yang mempunya jiwa pemberani ”Revolusioner”.
Opini-opni fakta, dimana kaum tua gagal dalam meneguhkan cita-cita keindonesiaan yang moderen. Warisan kultur Orde baru masih sangat kental mempengaruhi cara kepemimpinan politik kaum tua, bahkan ide reformasi dan demokratisasi pun gagal yang ditafsirkan kedalam bentuk kebijakan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat kecil. Pemilu gagal melahirkan pemimpin yang revolusioner seperti Hugo Chves yang berani menentang intervensi Amirika dalam politik dan ekonomi di Venezuela. Idealnya Tokoh-tokoh seperti ini yang harus di tampilakan dalam pemilu 2009 nanti. Selama ini pemilu hanya di dominasi oleh kaum tua dan wajah-wajah lama warisan Orde Baru, alhasil tidak menjadi obat yang mujarab bagi Indonesia hari ini.
Maka wancana kepemimpinan kaum muda menjadi alternative pemimpin 2009 nanti, kemudian di hadirkan sebagi upaya mengembalikan proyek-proyek keindonesiaan yang gagal dipimpin oleh kaum tua. Cita-cita berbangsa dan bernegara hendak diarahkan kembali pada konsep mulianya, seperti yang dipertegas dalam pembukaan UUD 45, menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, melindunggi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaiyan abadi dan keadilan sosilal. Pembukaan UUD 1945 merupakan puncak dari proyek keindonesiaan, untuk menciptakannya diperlukan pemimpin yang yang berorientasi pada properubahan.
Pada perayaan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2007 lalu, melahirkan iklar bersama: saatnya kaum muda memimpin tokoh-tokoh muda seperti Sukardi Rinakit, Faisal Basri, Yudi Latif, Ray Rangkuti, Efendi Ghazali dan tokoh-tokoh kaum muda lainnya (lihat Tempo Sabtu 3 November) dengan lantang meneriakan kebangkitan kaum muda dan masyarakat luas merindukan hadirnya pemimpin muda.
Jelas bawha pendeklarasian ikrar oleh kaum muda dipicu kekecewaan yang mendalam yang melihat pemerintahan yang selama ini dipimpin oleh kaum tua yang tidak bervisi, naïf dan penuh dengan atmosfer kepentingan. Sebelum kita beranjak lebih jauh kepemimpinan kaum muda dalam politik praktis, muncul satu pertanyaan yang mendasar apakah kepemimpinan kaum muda nantinya bisa meramu suatu solusi untuk menyelamatkan Indonesia dari kemiskian, ketidakadilan, kebodohan, pengangguran dan korupsi yang menjadi potret kelam wajah negeri ini?
Berbicara tentang kombinasi yang seharusnya harmonis, idealnya semangat kaum muda di kombinasikan dengan pengalaman kaum tua sehingga tecipta sutu dialong-dialong yang bersiat emansipatoris antara kaum muda dan kaum yang berpengalaman, sehingga nantinya tercipata sutu dilalektika yang menuju Indonesia baru. Namun hal ini tidak mudah, pendapat-pendapat fakta, komunikasi kedua kaum ini tidak sejalan, karena arogansi kaum tua, mereka mengklaim kaum tua yang lebih berpengalaman, sedangan kaum muda penuh dengan keidialisannya. Meski terkesan klise dialog adalah jawabannya.
Krisis kepercayaan intelektual kepemimpnan kaum tua telah membawa peluang kaum muda untuk melangkah pada pemilu 2009 nanti, namu muncul pesimisme munkinkah pemilu 2009 melahirkan seorang pemimpin muda politik untuk menjadi Presiden. Tantangan-tantangan yang menghalagi tampilnya tokoh-tokoh muda alternative adalah minimnya partai-partai yang mendukung ide kepemimpinan kaum muda, ini merupakan pokok permasalahan yang krusial. Jaringan-jaringan yang pro terhadap kepemimpinan kaum muda adalah lebih didominasi oleh aktivis-aktivis yang independent yang tidak brfaliasi dengan partai-partai politik. Permasalahan ini muncul dikarenakan kurangnya respon oleh tokoh-okoh partai politik terhadap kepemimpinan kaum muda, sehingga kepemimpinan kaum muda agak sulit diperjuangkan.
Dalam system politik yang dihegomonikan partai, memang terasa sulit bagi prodemokrasi untuk melakukan revolusi pemerintahan, karena tidak ada dukungan dari partai sebab di dalam konsesus nasional hanya dimungkinkan dilakukan partai politik untuk berhak mengajukan calon-calon pimpinan pimpinan untuk dipilah dalam pemelihan umum.
Melihat partai-partai yang hegomoni seperti Partai golkar, Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia, dan Partai Demokrat dimana pucuk ketua pimpinan dipegang oleh kaum-kaum tua, sulit sekali buat memajukan tokoh muda alternative, baik didalm tubuh partai maupun di luar partai. Minimnya partai-partai yang yang pro terhadap pimpinan muda akan menyulitkan masyarakat yang pro terhadap kepemimpinan kaum muda melakukan perubahan. Seperti yang dikatakan tokoh politik Abdul Gafur Sangaji, partai-partai hanya melakuakn daur ulang terhadap tokoh-tokoh tua yang sudah ada.
Tokoh-tokoh prodemokrasi sangat kecewa dengan partai-partai politik dikarenakan tidak tersedianya space bagi tokoh-tokoh muda didalam tubuh partai maupun di luar partai ini menyulitkan tokoh-tokoh muda untuk bisa melakukan perubahan, terlebih lagi tokoh-tokoh prodemokrasi bersikap antipartai yang mana lebih menyulitkan lagi untuk tokoh-tokoh muda untuk menjadi pemimpin alternative. Seharusnya tokoh-tokoh prodemokrasi lebih mendekatkan diri pada partai politik, karena partai politiklah yang merupakan isatu-satunya instrument demokrasi yang bisa mencapai kekuasaan. Semakin banyaknya aktivis demokrasi yang menyebar kedalam tubuh partai, kemungkinan besar peluang kekuasaan dipegang oleh tokoh-tokoh kepemimpinan muada untuk membawa negeri ini ke jalur mulianya.

Thursday, March 27, 2008

Pemilu 2009, Jatahnya Orang Muda

Oleh : Achmad Rozi El Eroy[1]

Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan secara terbuka,melalui liputan media masa dan elektronik, PDI Perjuangan sebagai salah satu parpol besar telah merekrut kader-kader baru yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari selebritis, intelektual, olahragawan/atlit, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan lain sebagainya masuk menjadi kader PDIP. Sebut saja Rano Karno,(pemeran si Doel dan kini menjadi wakil Bupati Tangerang) masuk menjadi salah satu kader PDIP, Rieke Dyah Pitaloka (Oneng) yang sebelumnya merupakan kader PKB, saat ini pindah menjadi kader PDIP, Sonny Tulung, (presenter dan selebritis), Richard Sambera (Atlit renang), juga masuk menjadi salah satu barisan kader PDIP.
Kalau kita lihat secara makro, kader-kader partai yang baru direkrut tersebut, secara usia berada pada golongan usia muda, dan ini tentunya sangat menggembirakan, dimana secara perlahan, akan berdampak pada regenerasi atau kaderisasi ditingkat parpol itu sendiri. Walaupun secara signifikansi, kita masih harus melihat kontribusi yang dapat mereka berikan kepada Parpol khususnya dan masyarakat pada umumnya terkait dengan keterlibatan mereka di partai politik. Kader bagi sebuah partai Politik merupakan gizi yang sangat penting dalam meningkatkan vitalitas organisasi, tanpa kader maka dimungkinkan vitalitas organisasi akan terganggu. Setiap organisasi partai politik berkepentingan untuk memiliki kader partai yang diharapkan dapat melanjutkan estafeta perjuangan partai dimasa depan. Setiap partai memerlukan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad juang yang tinggi (baca: militansi) dalam membesarkan partai dimasa depan.
Sejarah telah banyak mencatat bahwa tersedianya kader yang memiliki seperangkat keunggulan dan kualitas akan dapat menjaga kelangsungan hidup suatu organisasi. Kader yang memiliki keunggulan dan kualitas tertentu inilah yang kemudian oleh Bung Karno dianalogikan sebagai jantung-nya partai. Jika jantung tersebut tidak berfungsi, maka dengan sendirinya organ-oran yang lainpun tidak berfungsi. Sebaliknya, jika jantung organisasi (baca: kader) berfungsi dengan baik, maka kita akan mengalami dinamisasi partai yang baik, bahkan akan berkembang dengan baik sesuai dengan yang diharapakan oleh Partai itu sendiri.
Disamping itu, sebagai upaya untuk mengoptimalkan peran kader muda dalam Partai Politik, hendaknya dibangun sebuah kesadaran kolektif bagi para kader-kader muda partai dalam memasuki wilayah politik praktis. Ini penting dilakukan untuk menghilangkan citra negatif dikalangan aktifis parpol. yaitu; oportunis dan pragmatis. Dalam kontek ini kesadaran yang harus dimiliki oleh seorang kader partai adalah; pertama kesadaran ideologis, yaitu setiap kader wajib hukumnya untuk memiliki kesadaran ideology, yang didalamnya mengandung dimensi kepercayaan, keterlibatan, komitmen dan tanggung jawab dari para kader itu sendiri. Kedua memiliki kesadaran politik, kesadaran politk artinya bahwa seorang kader partai harus memiliki komitmen politik sebagai manifestasi dari kesadaran ideologi yang dianutnya. Kesadaran politk yang harus dimiliki tentunya berakar pada nilai—nilai yang melembaga ditingkat keyakinan personal secara massif. Artinya sebagai seorang kader, dimana telah memiliki seperangkat nilai-nilai dari landasaan berpolitik praktis, maka harus dilaksanakan secara konsekwen; ketiga memiliki kesadaran organisatoris, yaitu suatu kesadaran dimana kader harus mampu menjadi seorang kader partai yang dapat menjalankan roda organisasi secara sehat, accountable, reasonable,dan transparan. Dengan memiliki kesadaran organisatoris yang demikian, maka dapat dipasikan bahwa roda organisasi partai politik akan berjalan dengan sangat rapih, tertib, dan sistematis. Kesadaran organisatoris juga akan selalu terpancar dalam perilaku hidupnya dalam keseharian. Artinya dimanapun ia (baca:kader) berada selalu akan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain dari segi inisiatif dan motivasi, sehingga ia akan selalu mewarnai dinamika organisasi yang dinaungi.
Kelima memiliki kesadaran perjuangan, artinya bahwa seorang kader harus memaknai secara lebih obyektif bahwa eksistensinya hidup dalam lingkungan partai politik, merupakan sarana untuk melakukan dan melaksanakan sebuah perjuangan mulia yang tak pernah berakhir. Dan yang hakiki adalah bahwa dimanapun seorang kader partai berada ia wajib untuk melaksanakan agenda dan cita-cita perjuangan bangsanya sampai tercapai. Dan keenam memiliki kesadaran pengabdian. Seorang kader partai, diharapkan memiliki komitmen untuk terus mengabdikan dirinya bagi kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita Partainya. Dan komitmen tersebut merupakan kesadaran yang harus selalu ditumbuhkembangkan dalam setiap jiwa-jiwa kader partai.

Pemilu 2009, Jatahnya Orang Muda!
Mengutip penyataan Bapak Amien Rais (mantan capres 2004), dalam sebuah diskusi di Jakarta (28/1/2008), beliau menyatakan bahwa “Pemilu 2009 adalah jatahnya orang-orang muda, kalau yang muda tidak juga muncul, jangan salahkan kalau yang tua turun gunung lagi”. Kalau kita mencermati pernyataan tersebut, secara eksplisit terkandung harapan besar bahwa pada pemilu 2009 yang akan datang, orang-orang muda masuk dan terlibat secara sadar dalam kegiatan-kegiatan politik baik tingkat lokal maupun nasional, untuk mengisi, menggantikan dan meneruskan estafeta peran generasi tua, yang sudah waktunya lengser keprabon. Disisi lain, pernyataan tersebut juga mengandung tantangan bagi orang-orang muda untuk bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa jargon “saatnya kaum muda memimpin” bukanlah hanya slogan-slogan sesaat yang cenderung emosional.
Berangkat dari pernyataan bapak Amien Rais diatas, maka sudah saatnya orang-orang muda Banten menyambut harapan tersebut dengan secara sadar masuk dan menjadi bagian dari institusi politik (Parpol), tentunya jika kita masih memiliki semangat dan idealisme untuk melanjutkan agenda reformasi yang ”masih setangah hati” ini terwujud. Penulis melihat, keterlibatan orang-orang muda Banten dalam wilayah politik mutlak diharapkan kehadirannya, dengan beberapa alasan; pertama, agenda reformasi hanya akan dapat wujudkan oleh mereka-mereka yang memahami substansi reformasi dan secara langsung terlibat dalam proses terjadinya reformasi tersebut, dalam hal ini adalah pemuda dan mahasiswa; ketiga diakui atau tidak bahwa secara umum telah terjadi perbedaan visi yang sangat jauh antara orang-orang muda dan orang tua dalam memaknai dan memperjuangkan amanah reformasi, dalam hal ini penulis melihat orang tua relatif lebih ”lamban” dan cenderung ”status qou” dalam memperjuangkan reformasi; keempat bahwa kultur budaya politik lokal banten saat ini dan yang akan datang tidak akan pernah baik manakala aktor politiknya masih didominasi oleh kelompok-kelompok yang secara mainstream politik masih konvensional dan cenderung statis. Dan untuk mengantisipasi hal tersebut, orang muda adalah kelompok yang tepat untuk tampil dalam proses politik dan membangun budaya politik yang rasional, modern, progresif dan dinamis.
Lantas, bagaimana parpol mensikapi hal tersebut? Menurut penulis, yang harus dilakukan oleh Partai politik adalah membuka diri terhadap potensi orang-orang muda yang berkeinginan untuk aktif dalam partai politik. Terurtama orang muda yang memiliki kapasitas intelektual dan integritas moral, kapabilitas, kredibilitas yang baik dan dari segi wawasan pengetahuan cukup memadai untuk direkrut. Dan tentunya hal tersebut harus melalui serangkaian proses rekrutmen yang secara normatif berlaku di masing-masing partai politik.
Akhirnya dengan memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk terjun di partai, kaderisasi dan regenerasi niscaya akan terus terjaga secara alamiah, dan dengan sendirinya partai politik akan menemukan arti dari fungsinya sebagai sebuah partai politik, yaitu melaksanakan rekrutmen politik, pendidikan politik, partisipasi politik. Wallahua’lam Bishowaf.




[1] Penulis adalah Direktur Eksekutif The Sultan Center (Pusat Studi Kepemimpinan Publik)

Memutus Benang Kusut Kemiskinan

Oleh: Achmad Rozi El Eroy[1]


Kemiskinan adalah problem sosial. Bagi kebanyakan orang, kemiskinan merupakan masalah yang cukup merisaukan. Ia dianggap sebagai penyakit sosial yang paling dahsyat dan menjadi musuh utama negara (Hairi Abdullah 1984:16). Kemiskinan bukan saja dilihat sebagai fenomena ekonomi semata-mata, tetapi juga sebagai masalah sosial dan politik (Syed Othman Alhabshi 1996). Karena dirasakan dahsyatnya bahaya kemiskinan, membasmi kemiskinan dianggap sebagai jihad (Anwar Ibrahim 1983/1984:25). Secara umum, kemiskinan mempunyai empat dimensi pokok, yaitu; kurangnya kesempatan (lack of opportunity); rendahnya kemampuan (low of capabilities); kurangnya jaminan (low-level of security); dan ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Dan lazimnya kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (poverty line). Kemiskinan tidak saja mengakibatkan penyakit busung lapar (gizi buruk), atau juga penyakit sosial, seperti Penjaja Sex Komersial (PSK), gembel (pengemis) dan lain sebagainya, kemiskinan juga mengakibatkan turunnya harga diri individu atau kelompok masyarakat.
Secara psikologis orang miskin cenderung lebih sensitif, gampang tersinggung, kurang percaya diri bahkan gampang emosi, sehingga kondisi ini rawan dengan berbagai upaya pemanfaat pihak ketiga yang menggunakannya sebagai kendaraa/alat untuk memancing kerusuhan di sebuah daerah, intinya kemiskinan memiliki keterkaitan cukup erat dengan stabilitas politik dan ekonomi sebuah daerah.Karena merupakan masalah pembangunan yang multidimensi, maka pemecahan kemiskinan harus melalui strategis yang komperhensif, terpadu, terarah dan berkesinambungan.

Konsep Kemiskinan
Dari berbagai literatur yang mengupas tentang konsep kemiskinan, paling tidak ada dua macam konsep kemiskinan yang dapat kita terima sebagai rujukan, yaitu; kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Konsep pertama kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya berorientasi kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan dan papan). Masing-masing negara terlihat mempunyai batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda, sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya dipastikan, maka konsep kemiskinan semacam itu mengenal garis batas kemiskinan. Kemiskiinan absolut juga dapat dilihat dari sejauhmana tingkat pendapatan penduduk miskin tersebut mampu mencukupi kebutuhan pokoknya (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok ini dieuivalenkan dengan daya belinya (nilai uang). Mereka yang tidak mampu membeli kebutuhan pokok tertentu sesuai standar minimal dianggap berada pada posisi dibawah garis kemiskinan.
Konsep yang kedua kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standart, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan pada suatu daerah tertentu berbeda dengan pada daerah tertentu lainnya, dan kemiskinan pada waktu (saat) tertentu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan relatif lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan in term of judgment anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. kemiskinan relatif dilihat berdasarkan persentase pendapatan yang diterima oleh pendapatan lapisan bawah. Mereka yang berada pada lapisan bawah dalam stratifikasi pendapatan nasional inilah yang dianggap miskin. (Edi Suandy Hamid 2000:14)

Stigma Kemiskinan
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu; kemiskinan dalam perspektif kultural (the cultural perspective) dan kemiskinan dalam perspektif struktural atau situasional (the situasional perspective). Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganlisa masalah kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga level analisis; individual, keluarga dan masyarakat. Pada level individual ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti; sikap parochial, sikap apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada level keluarga ditandai oleh jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Kemudian pada level masyarakat, terutama ditandai oleh tidak terintegrasinya secera efektif dengan insitusi-institusi masyarakat. Mereka sering kali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap daripada sebagai subyek yang perlu diberi peluang berkembang.
Kemudian perspektif struktural/situasional masalah kemiskinan sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantahkan dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil-hasil pembangunan (development). Program-program tersebut antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Edi Suandy Hamid (2000:19) mengatakan bahwa masalah kemiskinan yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi ini, bukan saja laju pertambahan angkatan kerja baru tidak bisa diserap oleh pasar kerja, melainkan juga terjadi pemutusan hubungan kerja disektor formal yang berakibat bertambahnya angkatan kerja yang menganggur, baik itu yang menganggur penuh atau sama sekali tidak bekerja (open unemployment) maupun setengah menganggur atau bekerja dibawah jam kerja normal (under un employment).

Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Lantas, bagaimana menyelesaikan persoalan kemiskinan? strategi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam memutus benang kusut kemiskinan diatas? Menurut penulis, ada dua agenda besar yang mesti dilakukan oleh para pengambil kebijakan, baik ditingkat lokal, maupun regional dalam program pengentasan kemiskinan yaitu, pertama; peningkatan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) melalui pendidikan dan keterampilan; dan kedua pembangunan ketenagakerjaan melalui perluasan lapangan kerja dan serangkaian program pembangunan padat karya.
Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan melalui pengembangan budaya usaha masyarakat miskin, yaitu mengembangkan budaya usaha yang lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) dan meningkatkan keterampilan keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha ekonomi rakyat yang produktif atas dasar sikap demokratis dan mandiri. Program ketenagakerjaan dilakukan untuk menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Formula yang dapat diterapkan adalah dengan membangun iklim investasi yang kondusif disemua tingkatan, baik lokal,regional maupun nasional. Sebagaimana yang kita pahami bahwa investasi sekecil apapun jika regulasi dan iklim investasi tidak kondusif dan rasional, maka jangan harap investasi akan datang. Maka solusinya menurut penulis adalah harus political will dari pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi se rasional mungkin.
Berangkat dari dua strategi memutus benang kusut kemiskinan diatas, ada baiknya mereka para tokoh-tokoh, baik lokal maupun nasional untuk tidak secara terbuka berdebat dan berdikusi mengenai kemiskinan, rakyat tidak butuh diskusi dan debat, yang mereka butuhkan adalah aksi nyata bagaiamana kemiskinan bisa diatasi, pengangguran dapat dikurangi dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Wallahu’alaum Bishowaff

[1] Penulis adalah Staf Pengajar di STIE Al-Khairiyah Cilegon dan Direktur Eksekutif The Sultan Center

Monday, January 14, 2008

Demokrasi dan Pembangunan


Dalam satu dekade terakhir studi-studi yang berupaya menemukan hubungan (positif-negatif) antara demokrasi dan pembangunan ekonomi kembali bermunculan, menyaingi dominasi perspektif "agen" dan "proses" yang mengemuka sejak karya monumental O’Donnell dan kawan-kawan. Kemunculan ini berkaitan dengan dua macam perkembangaan. Pertama, sebagian besar proses transisi dan konsolidasi demokrasi yang terjadi sepanjang tiga dekade menjelang abad ke-21 tidak bisa dibicarakan tanpa melibatkan faktor-faktor ekonomi seperti pertumbuhan, pemerataan dan tingkat kesejahteraan. Kedua, di tingkat wacana, demokrasi sedang menjadi buzzword baru terutama sepanjang dekade 1990-an secara ironik merupakan jawaban terhadap kegagalan pembanguan yang menjadi buzzword hegemonik selama dasawarsa 1970-an dan 1980-an.
Sejak tahun-tahun 1960-an, studi-studi demokrasi dan pembangunan melibatkan perdebatan abadi antara pendekatan cross national comparison (CNC) yang dipelopori Seymour Martin Lipset dan comparative historical studies (CHS) yang dimotori Barrington Moore. Perspektif CNC umumnya meyakini korelasi positif antara pembanguan ekonomi dan perkembangan demokasi. Sebaliknya CHS, meski tidak sepenuhnya skeptis, bersikap amat hati-hati dalam memperkirakan kemungkinan munculnya demokrasi dalam sebuah masyarakat yang sedang menggalakkan modernisasi ekonomi.
Yang menarik, dalam perkembangan terakhir, tampil sebuah pendekatan alternatif yang mengedepankan beberapa ciri yang berbeda dengan CNC dan CHS. Pertama, perhatian lebih besar diberikan pada aspek peskriptif ketimbang eksplanatif. Pertanyaan-pertanyaan sejenis mengapa industrialisasi di Inggris bisa melahirkan demokrasi, sedangkan di Korea Selatan menghasilkan otoriterisme ditinggalkan. Gantinya, muncul pertanyaan apakah demokasi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi; dan kalau bisa, bagaimana caranya.
Kedua, pendekatan alternatif menerima demokrasi sebagai "sebuah kebijakan intrinsik" yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Bubarnya Uni Sovyet menandai berakhirnya komunisme, satu-satunya pesaing utama demokrasi yang masih tersisa sejak berakhirnya PD II. Di saat bersamaaan, pendekatan ini, juga dalam banyak hal, menerima pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan sebagai tak terelakkan. Sudah tentu model pertumbuhan memiliki sejumlah kekurangan. Hanya saja persoalannya tidak lagi mengganti model itu dengan model lain, tetapi melengkapi gagasan pertumbuhan dengan pendekatan pemerataan atau partisipatif.
Boleh dibilang pendekatan alernatif mendukung wacana yang sedang dominan yang meyakini demokrasi sebagai prakondisi yang tak terbantahkan bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut keyakinan ini, demokrasi mengutamakan kebebasan, kompetisi, rule of law, transparansi dan akuntabilitas publik. Unsur-unsur demokrasi itu merupakan prasyarat yang diperlukan sebuah ekonomi pasar agar bisa bekerja secara optimal. Jika pasar bisa bekerja optimal dan menghasilkan pertumbuhan, maka pembangunan ekonomi akan memproduksi kesejahteraan yang amat diperlukan bagi keberlangsungan demokrasi.
Keyakinan semacam ini juga menjadi wacana dominan di Indonesia. Sementara krisis ekonomi masih terus membelit, ada kepercayaan kuat yang berlaku dimana-mana, salah satu kendala pokok yang perlu segera diselesaikan adalah pembenahan mekanisme politik agar sesuai prinsip-prinsip kepastian hukum, keterbukaan dan pertangungjawaban publik. Prestasi pemerintah dalam menampilkan transparansi, akuntabilitas dan kepastian hukum akan menentukan datang tidaknya investasi, setidaknya kapital-kapital yang melarikan diri ke luar negeri saat krisis mendera. Selanjutnya, jika investasi kembali bergairah maka pertumbuhan ekonomi yang terpuruk akan segera pulih.
Sebenarnya, dominnasi wacana yang mempercayai hubugan tak terelakkaan demokrasi dan pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan bisa dirunut kembali pada reinkarnasi gagasan-gagasaan (neo) liberalisme. Melalui Thatcherism dan Reagenomics (atau boleh juga dibaca dengan Hayekism dan Friedmanomics) neo-liberalisme bertujuan memulihkan efisiensi pasar sebagai jawaban terhadap krisis yang ditimbulkan fordisme dan kebijakan Keynesian. Upaya memulihkan pasar melahirkan semacam new mode of production yang tercermin, diantaranya, dalam post-fordisme. New mode of production pada gilirannya memerlukan mode of regulation yang befungsi, misalnya, sebagai basis legal dan politik post-fordisme. Keperluan ini kemudian dipenuhi gagasan, model dan praktik demokrasi liberal.
Kampanye demokrasi liberal dan pembangunan ekonomi yang juga mengambil jalan liberal gencar dlakukan sejak berakhirnya perang dingin. Dua saudara kembar dari Bretton Woods, IMF dan World Bank, merupakan agen-agen pelopor. Biasanya, kesulitan ekonomi yang menimpa suatu negara menjadi pintu masuk yang bisa digunakan kedua lembaga itu memaksa pelaksanaan demokrasi liberal di satu sisi, dan ekonomi yang menekankaan pertumbuhan di sisi lainnya.
Yang jadi masalah, pendekatan alternatif ini, seperti yang bisa dibayangkan, mengandung banyak kelemahan. Pertama, demokrasi hanya dipahami sebatas institusi dan prosedur seperti pemilu, sistim multi-partai dan mekanisme check and balance antara presiden dan parlemen. Transparansi dan akuntabilitas berkenaan dengan soal perbaikan kualitas institusi dan prosedur. Karena itu, perhatian yang amat besar diberikan pada upaya bongkar pasang sistem pemilu agar lebih luber dan jurdil, atau manipulasi UU untuk melahirkan sistem kepartaian yang mengoptimalkan pertanggungjawaban publik..................dst

Eforia Demokrasi Lokal

oleh : Sutoro Eko
Pelajaran berharga apa yang bisa diambil dari praktik demokrasi lokal selama desentralisasi dan otonomi daerah berjalan? Sejauh mana desentralisasi dan otonomi daerah mendorong tumbuhnya demokrasi lokal yang kokoh dan beradab? Bagaimana nasib demokrasi lokal ke depan pasca pemilihan umum 2004?
Desentralisasi, secara teoretis, merupakan upaya untuk membawa negara lebih dekat dengan masyarakat lokal maupun mendorong tumbuhnya tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis (demokrasi lokal). Tanpa diikuti dengan demokrasi lokal, maka desentralisasi dan otonomi daerah sama saja dengan memindahkan sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah. Tata pemerintahan lokal yang demokratis (demokrasi lokal), mengedepankan prinsip pemerintahan "dari" (partisipasi) masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan "oleh" masyarakat dan dimanfaatkan secara responsif "untuk" kepentingan masyarakat luas.
Karya Benyamin Barber (1984), misalnya, mengajarkan bahwa desentralisasi tidak semata untuk membentuk pemerintahan daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah untuk membangkitkan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri, komunitas dan pemerintah lokal. Karya Robert Putnam (1993) dengan kasus Italia memberikan banyak pelajaran berharga tentang modal sosial, desentralisasi dan demokrasi lokal. Secara akademik Putnam membangun argumen yang kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan modal sosial dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut Putnam sebagai komunitas sipil (civic community). Indikator-indikator civic engagement -- solidaritas sosial dan partisipasi massal -- yang merentang luas pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokrasi. Selama seperempat abad terakhir, desentralisasi politik di Italia telah secara luas mentransformasikan kultur politik elite dalam suatu arah yang demokratis. Pembentukan pemerintahan regional, yang kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumberdaya lokal, menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang lebih besar di antara hampir semua partai'. Secara berangsur-angsur warga mulai mengidentifikasi diri dengan level pemerintahan lokal dan bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional. Putnam juga menegaskan bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal mempunyai potensi besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi dan jaringan masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal lebih menawarkan cakupan terbesar bagi organisasi-organisasi independen untuk membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah dan problem-problem yang menuntut perhatian -- dari layanan sosial sampai transportasi dan lingkungan -- berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Keterlibatan langsung warga dalam penyelenggaraan layanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang penting untuk memperkuat keterampilan para warga secara individual dan akumulasi modal sosial, seraya membuat penyampaian layanan publik lebih accountable.
Di Indonesia, reformasi sejak 1998 memang telah membangkitkan desentralisasi dan demokrasi lokal, yang menggerogoti struktur politik yang hirarkhis, sentralistik, feodalistik dan otoriter. Locus politik telah bergeser dari pusat ke daerah, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari bureaucratic government ke party government, dan dari executive heavy ke legislative heavy. Tetapi, seperti akan diuraikan di bawah, demokrasi lokal yang berlangsung masih sebatas eforia, bukan sebagai proses konsolidasi menuju demokrasi lokal yang kokoh, beradab dan terpercaya. Eforia demokrasi lokal sangat bermasalah, dan tetap akan bermasalah sampai pasca pemilu 2004 karena fondasi yang sangat rapuh.
Eforia Demokrasi Lokal
Praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah eforia yang masih sangat rapuh. Pertama, eforia demokrasi elektoral. Masyarakat Indonesia, kini, tengah terjangkit demam perayaan demokrasi elektoral. Ada kesan kuat bahwa demokrasi hanya terfokus pada pemilihan, sebuah perayaan politik yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, perdukunan, dan seterusnya. Di zaman dulu, penentuan kepala daerah berlangsung secara tertutup dan memperoleh pengawasan yang ketat dari Jakarta. Hanya tentara dan birokrat yang punya peluang untuk menduduki jabatan kepala daerah. DPRD dalam posisi yang sangat lemah, tidak mempunyai otoritas untuk menentukan pilihan mereka. Sekarang proses pemilihan lebih terbuka, yang membuka kesempatan bagi hadirnya aktor-aktor baru di luar tentara dan birokrat. DPRD mempunyai kuasa penuh untuk menentukan pilihan mereka terhadap kepala daerah. Tetapi proses dan hasil pemilihan kepala daerah tidak lebih baik daripada sebelumnya. Setiap pemilihan selalu diwarnai dengan permainan politik uang, kekerasan, mobilisasi massa dan seterusnya. Proses yang buruk itu mesti membuahkan hasil yang buruk. Tidak sedikit kepala daerah yang bermasalah, rakus, dan korup untuk mengembalikan modal yang telah dimainkan melalui politik uang. Rakyat kecewa, tetapi setiap pemilihan politik uang tetap bermain. Konyol betul!
Dari kasus-kasus ini kita bisa belajar bahwa demokrasi lokal bukan sekadar proses elektoral, atau proses pemilihan kepala daerah, tetapi yang lebih penting adalah relasi yang demokratis sehari-hari antara pemerintah daerah dengan warga masyarakat. Akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah jauh lebih penting dari sekadar proses elektoral. Proses elektoral sebenarnya merupakan langkah awal untuk menghasilkan pemimpin lokal yang mempunyai visi dan komitmen serius pada akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah. Tetapi kalau isu-isu ini dikalahkan oleh jumlah massa, popularitas, apalagi oleh politik uang, maka demokrasi lokal akan hancur dan rakyat terus-menerus akan kecewa.
Kedua, eforia semangat keasilan (nativisme). Sekarang di setiap daerah bergelora isu "putera daerah" terutama ketika terjadi pemilihan kepala daerah. "Masyarakat" lokal sekarang secara keras berani menentang kehadiran calon-calon yang bukan putera daerah untuk menduduki jabatan kepala daerah. Di masa Orde Baru, istilah itu memang sangat berguna untuk menentang intervensi Jakarta atau menolak calon titipan dari Jakarta. Tetapi yang berkembang sekarang, istilah putera daerah tidak mempunyai otentisitas yang kuat, karena istilah itu cenderung hanya sebagai pasport politik untuk menjustifikasi kedudukan seseorang, tanpa melihat visi dan kualifikasinya. Setelah "putera daerah" itu berkuasa, ternyata juga bertindak menyimpang dari prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.
Ketiga, eforia parlemen lokal. Di bawah UU No. 22/1999, DPRD sangat powerful ketimbang kepala daerah. Publik berharap, bahwa DPRD yang powerful itu menjadi modal politik untuk memainkan check and balances dengan baik di hadapan kepala daerah, sehingga pemerintahan daerah bisa berjalan secara akuntabel, transparan dan responsif. Tetapi DPRD yang kuat itu justru menimbulkan banyak masalah: DPRD menjadi oligarki baru yang korup, berkapasitas rendah, tidak bertanggungjawab, tidak peka pada aspirasi rakyat, lebih mengutamakan kepentingan sendiri. DPRD, kata publik, bukan sebagai panggilan hidup dan komitmen untuk berjuang, melainkan seperti lowongan kerja untuk mencari nafkah dan kedudukan. Akibatnya, rakyat kecewa dan tidak percaya pada DPRD. Sayangnya, besok dalam pemilihan umum 2004, rakyat tetap akan memilih lagi calon-calon DPRD. Besok kecewa lagi.
Keempat, eforia kepialangan politik. Otonomi daerah memang telah memberi kesempatan yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, termasuk para broker politik. Latar belakang mereka sangat bermacam-macam: bisa kyai, akademisi, mahasiswa, LSM, pengusaha, tokoh adat, tokoh masyarakat, preman, dan seterusnya. Setiap ada pemilihan kepala daerah, para broker politik itu menjadi pemain yang penting, entah dalam membuat opini publik atau mengerahkan massa, dengan tujuan untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker tersebut bukan rakyat, warga atau publik yang sejati, melainkan gerombolan massa (the mob) yang sebenarnya merusak demokrasi lokal, misalnya dengan cara permainan politik uang maupun kekerasan.
Kelima, eforia NGO lokal. Era reformasi dan otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak NGO lokal yang bersifat instan. Sebagian besar NGO lokal lahir bukan dalam konteks gerakan sosial dan jaringan sosial yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas proyek-proyek pemerintah sejak JPS maupun sebagai bentuk "gerakan politik" untuk memainkan kepialangan politik. NGO lokal yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk mencari proyek, entah melalui lobby atau melontarkan kritik keras kepada Pemda agar mereka memperoleh proyek. NGO "gerakan politik" sangat rajin melakukan kasak-kusuk menjadi broker politik dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan DPRD maupun pejabat teras di daerah.
Keenam, eforia protes sosial atau pembangkangan sipil. Sejak Soeharto jatuh di tahun 1998, protes sosial (pembangkangan sipil) mengalami perluasan, sebagai senjata untuk menggerakkan reformasi politik. Protes sosial atau pembangkangan sipil memang merupakan kekuatan alternatif bagi civil society untuk melawan penguasa. Tetapi harap diingat, bahwa protes sosial yang terjadi di Indonesia selama ini lebih bersifat kegembiraan sesaat atau sebagai partisipasi ad hoc yang hanya sangat efektif untuk menjatuhkan penguasa otoriter bermasalah, tetapi tidak efektif untuk membangun demokrasi lokal. Membangun demokrasi lokal tentu membutuhkan penguatan gerakan sosial masyarakat sipil dan partisipasi warga masyarakat secara berkelanjutan.
Keenam eforia di atas memberi gambaran yang suram tentang demokrasi lokal, yang tampaknya masih akan berlanjut ke depan. Apalagi ke depan, kepala daerah akan dipilih secara langsung, yang kian menyuburkan eforia politik. Eforia adalah kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjuta, kecuali hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan. Eforia akan come and go berbarengan dengan pesta politik. Eforia akan berubah menjadi kekecewaan bila pesta sudah usai, tetapi ia akan datang lagi kalau pesta bakal digelar kembali.
Fondasi Rapuh
Lingkaran setan eforia demokrasi lokal di atas terjadi karena fondasi yang betul-betul rapuh. Pertama, perubahan yang belum sempurna dari floating-mass society menuju civil society. Sekarang Indonesia masih dalam sekuen masyarakat transisi, yakni yang kita sebut sebagai mass-politics society. Proses politik dan demokrasi di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun organized mass.
Kedua, daerah-daerah di Indonesia mewarisi kuatnya tradisi politik feodal, otoritarian, birokratis dan sentralistik. Tradisi yang relatif kekal ini membentuk paradigma kolot para elite dalam mengelola kekuasaan, mengatur rakyat dan menguasai sumberdaya ekonomi. Para gubernur misalnya, sangat berang karena kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli oleh UU No. 22/1999. Gubernur sekarang tidak bisa lagi memerintah bupati, memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-pajak daerah seperti dulu. Bahkan sekadar undangan pun diabaikan oleh bupati. Karena itu para gubernur menuntut agar otonomi daerah diletakkan di provinsi atau meminta agar kekuasaan dan kewenangan mereka dipulihkan seperti sedia kala. Sementara, bupati sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Mereka di atas angin, ibarat raja-raja kecil yang secara leluasa bisa menguasai sumberdaya politik dan ekonomi daerah. "Otonomi daerah berhenti di tangan saya", demikian ungkap arogan seorang bupati ketika menanggapi masalah otonomi desa. "Bupati bukanlah seorang pemimpin yang betul-betul mengayomi masyarakat, melainkan hanya seorang pejabat yang pekerjaannya adalah tandatangan, marah-marah dan jalan-jalan", demikian ungkap seorang pegawai di Boyolali. DPRD Kabupaten/kota sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang luar biasa, yang mereka gunakan untuk menekan bupati/walikota dengan senjata Laporan pertanggungjawaban. Tetapi ulah DPRD yang tidak bertanggungjawab itu dengan mudah bisa dipadamkan oleh bupati/walikota setelah memperoleh kucuran duit, proyek dan fasilitas.
Paradigma K-3 (kekuasaan, kewenangan dan kekayaan) dipegang betul oleh para pemegang jabatan politik. Mereka tidak mempunyai visi bagaimana memanfaatkan kekuasaan untuk memperjuangkan nilai, melainkan hanya berorientasi bagaimana mencari dan mempertahankan kekuasaan. Setiap penguasa, dari presiden hingga bupati dan kepala desa, selalu berupaya keras agar tetap menduduki jabatan yang kedua kalinya. Ini tidak lain hanya untuk memelihara status quo. Kalau dinalar secara sehat, setiap penguasa sebenarnya tidak mempunyai alasan lagi untuk menduduki jabatan yang kedua kalinya. Kalau mereka menampilkan visi, publik bisa bertanya: lalu ngapain selama lima tahun berkuasa.
Ketiga, fragmentasi masyarakat sipil dan modal sosial. Organisasi masyarakat sipil dan modal sosial yang kian semarak, memang tidaklah tunggal. Di balik kemajuan dalam organisasi nonpemerintah, kita juga menyaksikan banyak sisi paradoksal dalam modal sosial. Secara horizontal kemajemukan masyarakat menyajikan konflik ketimbang pluralisme dan kohesivitas. Ruang publik civil society memang menghadirkan wacana dan gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih menonjol. Inilah yang saya sebut sebagai fragmented social capital. Gerakan demokratisasi yang didorong oleh aktor-aktor civil society harus berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat lainnya. Bahkan gerakan demokratisasi yang terus maju tidak didukung oleh elemen-elemen partai oposisi yang pro perubahan. Di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah, partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi melainkan sebagai bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi. Di banyak daerah, gerakan demokratisasi civil society terus bergelora menentang "raja-raja kecil" yang bermasalah, tetapi gerakan itu dengan mudah dilumpuhkan oleh para preman bayaran maupun paramiliter yang dipelihara oleh partai politik. Semua ini memang tidak mengehentikan gerakan demokratisasi meski harus dibayar dengan risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society terseok-seok, tunggang-langgang dan menghadapi anomalie yang serius.

Beridentitas Warna Hijau

Laode Ida
Wakil Ketua DPD RI

Banyaknya partai politik (parpol) yang berdiri dalam suatu negara memang merupakan indikasi berkembangnya demokrasi. Tidak mengherankan kalau kenyataan seperti ini juga terjadi di Indonesia baik di awal kemerdekaan maupun setelah reformasi. Indonesia hanya melewati suatu masa depolitisasi di era orde baru, di mana secara paksa dilakukan pemangkasan terhadap jumlah parpol. Di era reformasi terjadi euforia para politisi sehingga parpol bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan.
Di saat yang sama, para politisi pun semakin gencar melakukan berbagai manuver untuk merebut kekuasaan. Pemilu legislatif yang kurang lebih akan berlangsung satu setengah tahun lagi dan pemilihan presiden/wapres yang akan berlangsung tiga bulan setelah itu, menjadi salah satu fokus utama mereka. Ini juga terjadi di kalangan pejabat penyelenggara negara, sehingga sangat terasakan bahwa kita berada dalam negara yang sarat intrik politik. Setiap hari pun media massa tak luput dari liputan atau pemberitaan tentang berbagai intrik politik itu.
Pertanyaannya, ideologi apa yang tersirat dalam permainan politik seperti itu? Sama sekali tak jelas. Ini sekaligus mempertegas bahwa para parpol dan politisi yang ada sekarang ini memang tanpa ideologi sebagai warna atau identitas fundamental dari agenda yang akan diperjuangkan.
Miskin ideologiTak berlebihan kalau dikatakan bahwa identitas parpol sekarang hanyalah warna baju. Yang dikejar oleh para parpol dan atau politisi juga seperti yang dikatakan sosiolog Max Weber, yakni status, kekuasaan dan materi, melalui perebutan kekuasaan. Makanya tak heran kalau para politisinya pun bisa dengan mudah lompat pagar, atau bisa dengan mudah melakukan berbagai kompromi dalam rangka memenuhi nafsu kekuasaan dan materi.
Yang lebih parah lagi adalah muncul dan bertahannya parpol yang berwatak keluarga, seperti perusahaan keluarga atau firma. Lihat saja beberapa parpol, ada yang istrinya jadi ketua umum, sementara suaminya menjadi dewan pembina. Ada juga yang yang bapaknya penentu utama, sementara ponakannya sebagai instrumen pelaksana.
Tepatnya, semua yang jadi penentunya adalah jajaran keluarga, sementara para pengurus lainnya tak ubahnya sebagai hamba yang harus 'bertuan' terhadap para majikan dari jajaran keluarga itu. Tak perlu heran kalau dalam parpol seperti itu sama sekali demokrasi tak bisa berjalan, karena barang siapa yang mau coba-coba bersikap bebas berekspresi memperjuangkan kepentingan rakyat atau apalagi menyangkut rasionalisasi parpol, maka seketika mereka akan disingkirkan.
Demikian juga dengan kehidupan sehari-hari para politisi, sungguh sudah tanpa karakter. Kalau ada isu, agenda dan atau masalah di tingkat rakyat yang hendak diperjuangkan, termasuk di dalamnya berupa pelanggaran aturan atau undang-undang oleh pihak tertentu, maka sangat minim politisi yang secara konsisten memperjuangkannya. Kalau pun ada beberapa orang, maka pastilah mereka tak berdaya menghadapi kekuatan massif para politisi dari berbagai kekuatan yang secara pragmatis saling berkompromi. Bahkan tak jarang juga di antara mereka yang larut dan menikmati hasil kompromi itu.
Dalam konteks ini, rakyat atau umumnya publik bangsa ini tampak terus-menerus hendak dibodohi oleh para elite politik, dengan terus dibangun kesan bahwa mereka adalah representasi atau pejuang kepentingan rakyat. Celakanya, kerap di antara mereka menjual atau mengangkat isu agama tertentu, memangun pencitraan sebagai parpol atau politisi yang agamis dan berjuang untuk terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih. Padahal ternyata praktik politik yang dilakukan sangat jauh dari nilai-nlai agamis yang menjadi simbol-formalitasnya. Misalnya, mereka bukan saja menutup mata terhadap praktik-praktik yang korup, melainkan juga terlibat menikmati hasil yang haram itu dan atau mendukung para pejabat, baik di level nasional maupun daerah, yang ternyata korup.
Kasus salah satu anggota KPU hasil seleksi para politisi di DPR yang ternyata masih dalam status sebagai terdakwa korupsi itu, merupakan salah satu contoh aktual yang paling konkret. Belum lagi dalam proses-proses pencalonan kepala daerah, di mana sejumlah parpol yang membawa simbol agama itu ternyata mencalonkan figur yang korup dengan rekam jejak hitam. Bukankah kenyataan seperti ini sekaligus merupakan penghinaan terhadap agama yang menjadi simbol formalnya itu.
Lalu pertanyaannya, untuk apa memperbanyak parpol? Pada tataran ideal, sebenarnya mungkin bukan saja kita tak memerlukan tambahan parpol, melainkan juga sekaligus memperkecil jumlah parpol yang ada sekarang ini. Tetapi dengan kecenderungan praktik politisi tanpa identitas dan ideologi sekarang ini jugalah sehingga masih terasakan memerlukan parpol alternatif dengan orang-orang yang bisa secara konsisten dan percaya diri memperjuangkan kepentingan rakyat.
Tepatnya, yang dicari dan dibutuhkan sekarang ini adalah parpol yang secara nyata bisa mengusung ideologi kerakyatan. Mungkin inilah salah satu yang hendak ditawarkan dan oleh para parpol baru itu, suatu agenda yang kalau diwujudkan akan begitu ideal dan didambakan.
Melihat lebih kritisTetapi keraguan kembali muncul karena para parpol baru itu, menurut Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, masih dominan diisi oleh wajah-wajah lama. Mereka hanya ingin tetap eksis di panggung politik dengan mendirikan dan membawa bendera baru. Padahal kalau dalam Pemilu Legislatif 2009 nanti memperoleh kursi dengan tetap memiliki watak parpol dengan politisinya tanpa ideologi, maka sudah pasti pula mereka akan turut praktik pragmatis Keberadaan parpol yang banyak sekarang ini, sekali lagi memang harus dilihat sebagai produk demokrasi yang tak bisa dihalangi, apalagi dijamin dalam konstitusi kita.
Tetapi seharusnya kita juga berpikir kritis bahwa bukan pembelajaran politik yang baik bagi publik bangsa ini kalau ternyata perlombaan membuat parpol hanya dijadikan lahan untuk berkumpul dan berkompromi dengan turut berperan melanggengkan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang buruk.
Cobalah cermati dengan saksama. Arena parpol sering dengan para politisinya yang pragmatis, hanyalah dijadikan lapangan kerja. Kalau tidak menjadi anggota legislatif atau masuk pada jajaran eksekutif dengan rekomendasi parpol minus misi perjuangan rakyat, maka parpolnya sendiri dijadikan komoditas untuk dengan mudah sewaktu-waktu bisa memperoleh materi.
Kasus jual beli 'kendaraan' dalam proses-proses pemilihan kepala daerah yang berlangsung lebih dua tahun ini, misalnya, sebagai bukti yang tak terbantahkan untuk itu. Maka para aktivis yang dulu bersifat idealis pun kemudian tak bertahan lama, larut dalam perebutan kekuasaan dan materi melalui parpol. Jadi, kalau ternyata parpol-parpol yang bertemu membangun liga, aliansi, atau koalisi, dengan para politisi yang mengisinya tanpa ideologi, maka sudah dapat dibayangkan hasilnya pun adalah bukan untuk rakyat, melainkan untuk diri mereka sendiri. Dan sekarang ini kita sedang menonton permainan yang sarat dengan kemudharatan itu.
Ikhtisar- Munculnya banyak parpol merupakan sebuah risiko yang harus dihadapi dalam proses demokrasi.- Kecenderungan di Indonesia saat ini, menjamurnya parpol tidak diimbangi dengan idealisme para elitenya.- Orientasi materi dan kekayaan pribadi maupun kelompok masih jauh lebih menonjol ketimbang semangat membela rakyat.- Dominasi wajah lama dalam parpol-parpol baru saat ini harus dilihat lebih kritis. ( )

MEMPERTEGAS KEMBALI; DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT

Oleh. Dipl. DNP. Lathif Hakim, LSq. BEc.
Wacana demokrasi pada akhir-akhir ini sering dikumandangkan untuk menata ulang system pemerintahan/negara agar benar-benar terjadi reformasi total untuk kemakmuran rakyat. Walaupun istilah demokrasi sendiri mengandung berbagai penafsiran yang memicu antara pro dan kontra di kalangan cendekiawan dan negarawan. Sebagaimana seorang negarawan memahami demokrasi adalah konsep yang paling cocok untuk menata ulang system pemerintahan dengan bertujuan membebaskan system dictator dan otoriter menuju kebebasan masyarakat dalam berekspresi, berprilaku, berkumpul. Sedangkan negarawan muslim menambahkan demokrasi yang cocok bagi masyarkat muslim adalah demokrasi religius. Karena demokrasi diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya akibat faham dictator yang panjang sehingga menimbulkan gejolak yang melampui batas norma setelah dibuka kran demokrasi. Maka disinilah membutuhkan peranan etika yang mengatur kebebasan berekspresi masyarakat dengan sebuah perangkat undang-undang untuk memfasilitasi kebebasan itu.
Walaupun istilah demokrasi merupakan istilah yang klasik, akan tetapi hal ini masih dianggap mendekati kebenaran dalam pandangan Islam. Karena dalam Islam istilah demokrasi yang relevan dengan kondisi sekarang adalah dengan system syura (musyawarah). Kedua system ini mempunyai persamaan dan perbedaan: konsep demokrasi bersumber dari Barat melalui pencetusnya Socrates yang berasal dari kata demos dan cratos yang berarti: Dari Rakyat Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Sedangkan system syura (musyawarah) berasal dari umat Islam yang diambil dari Al Qur'an (QS. Al Imran; 159, QS. Al-Baqarah; 233, QS. As-Syura; 38). Yang berbunyi: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 42:38). Dari ayat ini mengandung tiga hal dalam konsep syura: Pertama, dimensi ketuhanan, yaitu dengan mematuhi undang-undang (aturan-aturan) Tuhan dan implementasinya dimisalkan dalam bentuk sholat karena sholat adalah sebagai tiang agama dan juga merupakan jalur komunikasi langsung manusia dengan Tuhannya. Kedua, adalah dimensi kemanusiaan, yang diimplementasikan dengan system musyawarah antar manusia. Artinya, system musyawarah adalah jalan yang tepat untuk menyelesaikan semua permasalahan. Maka karena PEMILU adalah gawe semua masyarakat, maka pemilihan secara langsung dari semua lapisan masyarakat adalah sesuai dengan konsep syura, karena mereka lah yang akan merasakan dari semua kebijakan pemimpinnya. Dan konsep ini yang diambil dalam negara demokrasi. Ketiga, dimensi social manusia, hal ini tercermin dalam bentuk kerja sama, saling bantu-membantu dan takaful ijtima'I yang dimisalkan zakat, sedekah dan lain sebagainya yang bertujuan pada kemakmuran rakyat baik secara mental spiritual maupun matriil, sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, karena pemberi kemakmuran ini adalah Allah maka kemakmuran ini digunakan untuk beribadah kepada Allah .
Setelah kita bandingkan dalam tataran nilai yang dikandung dalam dua konsep ini maka demokrasi konvensional hanya mengadopsi nilai yang kedua dan nilai kedua ini juga tidak diambil secara penuh dengan hati nurani kemanusiaan secara utuh yang akan berujung pada demokrasi merkantilisme istilah Pak Muslimin Nasution (demokrasi dagang sapi) yang mengusung materiilisme, maka untuk memenangkan suatu permasalahan hanya dihitung dari dimensi materialisme sehingga nilai hati nurani musyawarah dan mufakat itu dimatikan oleh segelintir matrealisme tadi, inilah yang dikatakan oleh Morena Hertz dengan istilah "The Deth Of Democrasi". sedangkan dalam Islam (syura) lebih comprehensip yang mencakup tiga dimensi; nilai ketuhanan, kemanusiaan dan social kemanusiaan dalam bentuk takaful ijtima'i.
Kemudian apakah kita memakai istilah syura atau demokrasi? Dari sini boleh saja mengambil istilah syura atau demokrasi yang penting substansi tiga dimensi itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan system demokrasi atau syura.
Dalam konteks Indonesia yang telah mengalami reformasi pada tahun 1998, maka pada waktu itu isu-isu yang yang diusung adalah tentang kebebasan karena kebebasan pada masa Orde Baru dibungkam rapat-rapat sehinnga melahirkan diktatorisme yang berkepanjangan dan hal ini juga tidak sesuai dengan Pancasila walaupun pada waktu itu mengusung Asas Tunggal Pancasila, karena "Pancasila" baik tafsir maupun implementasi dari Pancasila tidak menjiwai sila-sila yang ada dalam Sila Pancasila dan Pancasila identik dengan otoriter dan dictator. Maka secara otomatis konsep Dasar Pancasila yang sejatinya adalah sangat baik kalau ditafsirkan dengan nilai-nilai Islam akan tetapi setelah masa reformasi konsep ini kurang digemari oleh Rakyat Indonesia karena implementasi pada zaman orde baru sangat mengekang dan dictator maka menimbulkan phobia dalam masyarakat Indonesia secara luas. Maka demokrasi inilah yang tepat agar kebebasan berekpresi ini dapat dijamin dalam undang-undang, maka partai-partai pun subur dengan berbagai macam ideology dan asas dasarnya.
Maka pada kisaran tahun 1998-2009 adalah masa pembenahan dalam berdemokrasi. Dan demokrasi ini agar segera diarahkan pada rel yang benar agar tujuan reformasi ini dapat tercapai, dan jangan sampai terulang lagi seperti masa-masa orde lama dan orde baru. Maka pembenahan demokrasi yang sudah berumur 10 tahun ini, jangan sampai mengalami stagnanisasi demokrasi. Artinya harus ada pelestarian dan peningkatan demokrasi.
Maka fase peningkatan demokrasi berikutnya sesuai dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dimulai tahun 2009-2019 adalah peningkatan demokrasi untuk kemakmuran rakyat, artinya adalah bentuk demokrasi yang bertitik tolak dari tiga substansi di atas, yaitu: dimensi ketuhanan, dimensi kemanusiaan dan dimensi keadilan social, sehingga akan terwujud kemakmuran lahiriyah dan bathiniyah.
Maka dalam mewujudkan demokrasi untuk kemakmuran rakyat yang digalakkan adalah reformasi pembangunan dalam segala bidang dan semua sektor baik reformasi pembangunan SDI, Investasi SDA, Tata Pengelola Pemerintahan dan Birokrasi dan Kemajuan Modal Sosial Masyarakat. Maka reformasi pembangunan dalam segala bidang itu didasarkan pada tiga dimensi substansi demokrasi di atas dan diimplementasikan untuk kemakmuran semua lapisan masyarakat.
Maka relevan sekali kalau system ekonomi Indonesia sekarang adalah sistem ekonomi yang berkeadilan sosial, artinya keadilan sosial yang dalam konsep dan implementasinya mengamalkan kebebasan berekonomi, pemerataan, persamaan, kemudahan dan takaful sosial. Maka nilai-nilai keadilan social ini tidak akan terwujud kalau tidak mengimplementasikan subtansi tiga dimensi demokrasi di atas.
Di sisi lain untuk mewujudkan kemakmuran rakyat yang perlu diperhatikan (1) selain konsep keadilan social, adalah (2) konsep kemandirian dan kerja sama kolektif, (3) konsep prioritas pembangunan dan pemenuhan kebutuhan primer untuk mewujudkan konsep kecukupan ekonomi rakyat dan (4) yang terakhir adalah konsep pembiayaan pembangunan yang disaranai oleh sector keuangan dan perbankan yang berdimensi syariah.
Maka dari keempat konsep di atas dalam praktek pembangunan demokrasi di Indonesia, masih berjalan setengah-setengah yang berakhir pada "Hidup segan mati pun tak mau" maka imbasnya adalah penderitaan rakyat walaupun sudah ada perbaikan disana sini. Maka perlu mempertegas kembali Pembangunan Demokrasi di Indonesia untuk memakmurkan rakyat. Artinya kemakmuran itulah yang harus diusung yaitu dengan mengimplementasikan empat konsep kebijakan di atas yang selalu berilhamkan tiga substansi demokrasi. Maka apabila empat konsep tersebut dapat diimplementasikan secara serius maka dampak yang semula penderitaan menjadi kemakmuran rakyat dengan hilangnya masyarakat dari kemiskinan dan pengangguran.
Untuk mempertegas kembali "Demokrasi Untuk Kemakmuran Rakyat" dengan mengimplementasikan empat konsep kebijakan di atas, maka mekanisme yang digulirkan adalah mereformasi system pembangunan ekonomi dengan memberdayakan semua potensi negara baik dari sisi sumber daya insaninya (SDI), memaksimalkan semua potensi SDA negara dengan investasi, Pembangunan di semua sector dan wilayah serta kemajuan asset social.
Maka karena Indonesia mempunyai kekayaan dalam SDI dan SDA, maka prioritas untuk memakmurkan rakyat ini melalui Pembangunan SDI dengan segala aspeknya dan Memberdayakan semua kekayaan SDA agar semuanya menghasilkan produktifitas dan tidak ada lahan SDA (Kekayaan bumi yang terkandung di atas dan di bawahnya) yang menganggur.
Dalam membangun sumber daya Insani yang unggul, maka aspek pertama yang harus dibangun adalah: Pertama; pada landasan Penguatan aqidah dan mental prilaku (akhlaq), Kedua; Keilmuan, Pengalaman, Ketrampilan dan Teknologi Ketiga; Penguatan Fisik melalui Gizi sehat dan Kesehatan Badan, Keempat; Kemampuan managemen yang baik dengan menghargai waktu, Kelima; Memperkuat Kesadaran Sosial dakwah individu dan masyarakat.
Contoh kongkrit dalam pesta demokrasi Indonesia dengan Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 yang akan menelan anggaran yang sangat besar sampai Rp. 47,9 triliun. Merupakan tindakan pemborosan keuangan negara yang harus dihitung ulang seperti yang dikatakan oleh Pak Ginanjar Kartasasmita (baca: Media Indonesia; 3 November 2007). Karena pesta demokrasi ini, peralatan dan prasarananya masih ada dan tidak perlu dibeli kembali, cukup direparasi apabila ada yang rusak, disisi lain dalam menempatkan kepanitiaan KPU, maka apabila mereka yang telah menjadi PNS maupun Aparat TNI/POLRI dari sisi biaya gajinya harus dipangkas agar tidak terjadi overlapping dalam pembiayaan karena hal ini sebagai penugasan negara dan ditambah uang lemburan sedikit itu tidak jadi maslah, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pembengkakan dana. Maka pesta demokrasi seperti ini merupakan bentuk dari kekuatan kemampuan SDI, apabila manegemennya bagus (SDI nya bagus) tidak ada korupsi dana, korupsi data, korupsi suara. Itu adalah karena bagusnya pembangunan SDI dengan kelima aspek di atas. Jadi inti dari semua keberhasilan proyek dalam semua bentuknya adalah factor manusia dengan kemampuan dalam lima aspek di atas.
Maka manusia adalah sebagai factor pertama untuk mengubah dan mereformasi dari tertindas menjadi makmur. Dan sejatinya kemiskinan masyarakat dan individu itu karena factor manusia yang tidak memaksimalkan pembangunan dalam lima aspek manusia di atas.
Dan seandainya Rakyat Indonesia unggul dalam lima aspek di atas pasti Indonesia akan maju seperti; Jepang, Swiss dan Singapura, yang mana dengan keterbatasan SDA yang ada mereka bisa mengimpor bahan mentah diolah lagi menjadi bahan industri dan mereka ekspor dengan nilai yang lebih dan mereka bisa makmur dan maju.
Renungkan apabila kemampuan SDI Indonesia seperti mereka dengan ditopang melimpahnya SDA Indonesia yang dimiliki, kita tidak perlu mengimpor, tapi kita dapat mengolah sendiri SDA kita dan menjadikannya dari bahan mentah menjadi bahan baku kemudian dimodifikasi dengan menggunakan teknologi industri yang modern untuk menjadi barang jadi dan siap dikonsumsi sendiri di dalam negeri ataupun diekspor untuk menambahkan devisa. Dari sini, pasti kita dapat mengalahkan mereka lebih dari satu langkah. Karena kita memiliki kekayaan sendiri sedangkan mereka impor dari luar negeri.
Maka inilah yang harus dicermati Pemerintah/Negara dalam rangka menegakkan "Demokrasi Untuk Kemakmuran Rakyat", maka Pembangunan Kemanusiaan dalam lima aspeknya inilah yang harus diprioritaskan dari yang lainnya. Disamping memberdayakan semua potensi kekayaan negara agar jangan sampai ada yang menganggur dari kekayaan SDA dan Aset Negara, tidak lain dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, Swt..