Laode Ida
Wakil Ketua DPD RI
Banyaknya partai politik (parpol) yang berdiri dalam suatu negara memang merupakan indikasi berkembangnya demokrasi. Tidak mengherankan kalau kenyataan seperti ini juga terjadi di Indonesia baik di awal kemerdekaan maupun setelah reformasi. Indonesia hanya melewati suatu masa depolitisasi di era orde baru, di mana secara paksa dilakukan pemangkasan terhadap jumlah parpol. Di era reformasi terjadi euforia para politisi sehingga parpol bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan.
Di saat yang sama, para politisi pun semakin gencar melakukan berbagai manuver untuk merebut kekuasaan. Pemilu legislatif yang kurang lebih akan berlangsung satu setengah tahun lagi dan pemilihan presiden/wapres yang akan berlangsung tiga bulan setelah itu, menjadi salah satu fokus utama mereka. Ini juga terjadi di kalangan pejabat penyelenggara negara, sehingga sangat terasakan bahwa kita berada dalam negara yang sarat intrik politik. Setiap hari pun media massa tak luput dari liputan atau pemberitaan tentang berbagai intrik politik itu.
Pertanyaannya, ideologi apa yang tersirat dalam permainan politik seperti itu? Sama sekali tak jelas. Ini sekaligus mempertegas bahwa para parpol dan politisi yang ada sekarang ini memang tanpa ideologi sebagai warna atau identitas fundamental dari agenda yang akan diperjuangkan.
Miskin ideologiTak berlebihan kalau dikatakan bahwa identitas parpol sekarang hanyalah warna baju. Yang dikejar oleh para parpol dan atau politisi juga seperti yang dikatakan sosiolog Max Weber, yakni status, kekuasaan dan materi, melalui perebutan kekuasaan. Makanya tak heran kalau para politisinya pun bisa dengan mudah lompat pagar, atau bisa dengan mudah melakukan berbagai kompromi dalam rangka memenuhi nafsu kekuasaan dan materi.
Yang lebih parah lagi adalah muncul dan bertahannya parpol yang berwatak keluarga, seperti perusahaan keluarga atau firma. Lihat saja beberapa parpol, ada yang istrinya jadi ketua umum, sementara suaminya menjadi dewan pembina. Ada juga yang yang bapaknya penentu utama, sementara ponakannya sebagai instrumen pelaksana.
Tepatnya, semua yang jadi penentunya adalah jajaran keluarga, sementara para pengurus lainnya tak ubahnya sebagai hamba yang harus 'bertuan' terhadap para majikan dari jajaran keluarga itu. Tak perlu heran kalau dalam parpol seperti itu sama sekali demokrasi tak bisa berjalan, karena barang siapa yang mau coba-coba bersikap bebas berekspresi memperjuangkan kepentingan rakyat atau apalagi menyangkut rasionalisasi parpol, maka seketika mereka akan disingkirkan.
Demikian juga dengan kehidupan sehari-hari para politisi, sungguh sudah tanpa karakter. Kalau ada isu, agenda dan atau masalah di tingkat rakyat yang hendak diperjuangkan, termasuk di dalamnya berupa pelanggaran aturan atau undang-undang oleh pihak tertentu, maka sangat minim politisi yang secara konsisten memperjuangkannya. Kalau pun ada beberapa orang, maka pastilah mereka tak berdaya menghadapi kekuatan massif para politisi dari berbagai kekuatan yang secara pragmatis saling berkompromi. Bahkan tak jarang juga di antara mereka yang larut dan menikmati hasil kompromi itu.
Dalam konteks ini, rakyat atau umumnya publik bangsa ini tampak terus-menerus hendak dibodohi oleh para elite politik, dengan terus dibangun kesan bahwa mereka adalah representasi atau pejuang kepentingan rakyat. Celakanya, kerap di antara mereka menjual atau mengangkat isu agama tertentu, memangun pencitraan sebagai parpol atau politisi yang agamis dan berjuang untuk terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih. Padahal ternyata praktik politik yang dilakukan sangat jauh dari nilai-nlai agamis yang menjadi simbol-formalitasnya. Misalnya, mereka bukan saja menutup mata terhadap praktik-praktik yang korup, melainkan juga terlibat menikmati hasil yang haram itu dan atau mendukung para pejabat, baik di level nasional maupun daerah, yang ternyata korup.
Kasus salah satu anggota KPU hasil seleksi para politisi di DPR yang ternyata masih dalam status sebagai terdakwa korupsi itu, merupakan salah satu contoh aktual yang paling konkret. Belum lagi dalam proses-proses pencalonan kepala daerah, di mana sejumlah parpol yang membawa simbol agama itu ternyata mencalonkan figur yang korup dengan rekam jejak hitam. Bukankah kenyataan seperti ini sekaligus merupakan penghinaan terhadap agama yang menjadi simbol formalnya itu.
Lalu pertanyaannya, untuk apa memperbanyak parpol? Pada tataran ideal, sebenarnya mungkin bukan saja kita tak memerlukan tambahan parpol, melainkan juga sekaligus memperkecil jumlah parpol yang ada sekarang ini. Tetapi dengan kecenderungan praktik politisi tanpa identitas dan ideologi sekarang ini jugalah sehingga masih terasakan memerlukan parpol alternatif dengan orang-orang yang bisa secara konsisten dan percaya diri memperjuangkan kepentingan rakyat.
Tepatnya, yang dicari dan dibutuhkan sekarang ini adalah parpol yang secara nyata bisa mengusung ideologi kerakyatan. Mungkin inilah salah satu yang hendak ditawarkan dan oleh para parpol baru itu, suatu agenda yang kalau diwujudkan akan begitu ideal dan didambakan.
Melihat lebih kritisTetapi keraguan kembali muncul karena para parpol baru itu, menurut Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, masih dominan diisi oleh wajah-wajah lama. Mereka hanya ingin tetap eksis di panggung politik dengan mendirikan dan membawa bendera baru. Padahal kalau dalam Pemilu Legislatif 2009 nanti memperoleh kursi dengan tetap memiliki watak parpol dengan politisinya tanpa ideologi, maka sudah pasti pula mereka akan turut praktik pragmatis Keberadaan parpol yang banyak sekarang ini, sekali lagi memang harus dilihat sebagai produk demokrasi yang tak bisa dihalangi, apalagi dijamin dalam konstitusi kita.
Tetapi seharusnya kita juga berpikir kritis bahwa bukan pembelajaran politik yang baik bagi publik bangsa ini kalau ternyata perlombaan membuat parpol hanya dijadikan lahan untuk berkumpul dan berkompromi dengan turut berperan melanggengkan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang buruk.
Cobalah cermati dengan saksama. Arena parpol sering dengan para politisinya yang pragmatis, hanyalah dijadikan lapangan kerja. Kalau tidak menjadi anggota legislatif atau masuk pada jajaran eksekutif dengan rekomendasi parpol minus misi perjuangan rakyat, maka parpolnya sendiri dijadikan komoditas untuk dengan mudah sewaktu-waktu bisa memperoleh materi.
Kasus jual beli 'kendaraan' dalam proses-proses pemilihan kepala daerah yang berlangsung lebih dua tahun ini, misalnya, sebagai bukti yang tak terbantahkan untuk itu. Maka para aktivis yang dulu bersifat idealis pun kemudian tak bertahan lama, larut dalam perebutan kekuasaan dan materi melalui parpol. Jadi, kalau ternyata parpol-parpol yang bertemu membangun liga, aliansi, atau koalisi, dengan para politisi yang mengisinya tanpa ideologi, maka sudah dapat dibayangkan hasilnya pun adalah bukan untuk rakyat, melainkan untuk diri mereka sendiri. Dan sekarang ini kita sedang menonton permainan yang sarat dengan kemudharatan itu.
Ikhtisar- Munculnya banyak parpol merupakan sebuah risiko yang harus dihadapi dalam proses demokrasi.- Kecenderungan di Indonesia saat ini, menjamurnya parpol tidak diimbangi dengan idealisme para elitenya.- Orientasi materi dan kekayaan pribadi maupun kelompok masih jauh lebih menonjol ketimbang semangat membela rakyat.- Dominasi wajah lama dalam parpol-parpol baru saat ini harus dilihat lebih kritis. ( )
No comments:
Post a Comment