Monday, January 14, 2008

Demokrasi dan Pembangunan


Dalam satu dekade terakhir studi-studi yang berupaya menemukan hubungan (positif-negatif) antara demokrasi dan pembangunan ekonomi kembali bermunculan, menyaingi dominasi perspektif "agen" dan "proses" yang mengemuka sejak karya monumental O’Donnell dan kawan-kawan. Kemunculan ini berkaitan dengan dua macam perkembangaan. Pertama, sebagian besar proses transisi dan konsolidasi demokrasi yang terjadi sepanjang tiga dekade menjelang abad ke-21 tidak bisa dibicarakan tanpa melibatkan faktor-faktor ekonomi seperti pertumbuhan, pemerataan dan tingkat kesejahteraan. Kedua, di tingkat wacana, demokrasi sedang menjadi buzzword baru terutama sepanjang dekade 1990-an secara ironik merupakan jawaban terhadap kegagalan pembanguan yang menjadi buzzword hegemonik selama dasawarsa 1970-an dan 1980-an.
Sejak tahun-tahun 1960-an, studi-studi demokrasi dan pembangunan melibatkan perdebatan abadi antara pendekatan cross national comparison (CNC) yang dipelopori Seymour Martin Lipset dan comparative historical studies (CHS) yang dimotori Barrington Moore. Perspektif CNC umumnya meyakini korelasi positif antara pembanguan ekonomi dan perkembangan demokasi. Sebaliknya CHS, meski tidak sepenuhnya skeptis, bersikap amat hati-hati dalam memperkirakan kemungkinan munculnya demokrasi dalam sebuah masyarakat yang sedang menggalakkan modernisasi ekonomi.
Yang menarik, dalam perkembangan terakhir, tampil sebuah pendekatan alternatif yang mengedepankan beberapa ciri yang berbeda dengan CNC dan CHS. Pertama, perhatian lebih besar diberikan pada aspek peskriptif ketimbang eksplanatif. Pertanyaan-pertanyaan sejenis mengapa industrialisasi di Inggris bisa melahirkan demokrasi, sedangkan di Korea Selatan menghasilkan otoriterisme ditinggalkan. Gantinya, muncul pertanyaan apakah demokasi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi; dan kalau bisa, bagaimana caranya.
Kedua, pendekatan alternatif menerima demokrasi sebagai "sebuah kebijakan intrinsik" yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Bubarnya Uni Sovyet menandai berakhirnya komunisme, satu-satunya pesaing utama demokrasi yang masih tersisa sejak berakhirnya PD II. Di saat bersamaaan, pendekatan ini, juga dalam banyak hal, menerima pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan sebagai tak terelakkan. Sudah tentu model pertumbuhan memiliki sejumlah kekurangan. Hanya saja persoalannya tidak lagi mengganti model itu dengan model lain, tetapi melengkapi gagasan pertumbuhan dengan pendekatan pemerataan atau partisipatif.
Boleh dibilang pendekatan alernatif mendukung wacana yang sedang dominan yang meyakini demokrasi sebagai prakondisi yang tak terbantahkan bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut keyakinan ini, demokrasi mengutamakan kebebasan, kompetisi, rule of law, transparansi dan akuntabilitas publik. Unsur-unsur demokrasi itu merupakan prasyarat yang diperlukan sebuah ekonomi pasar agar bisa bekerja secara optimal. Jika pasar bisa bekerja optimal dan menghasilkan pertumbuhan, maka pembangunan ekonomi akan memproduksi kesejahteraan yang amat diperlukan bagi keberlangsungan demokrasi.
Keyakinan semacam ini juga menjadi wacana dominan di Indonesia. Sementara krisis ekonomi masih terus membelit, ada kepercayaan kuat yang berlaku dimana-mana, salah satu kendala pokok yang perlu segera diselesaikan adalah pembenahan mekanisme politik agar sesuai prinsip-prinsip kepastian hukum, keterbukaan dan pertangungjawaban publik. Prestasi pemerintah dalam menampilkan transparansi, akuntabilitas dan kepastian hukum akan menentukan datang tidaknya investasi, setidaknya kapital-kapital yang melarikan diri ke luar negeri saat krisis mendera. Selanjutnya, jika investasi kembali bergairah maka pertumbuhan ekonomi yang terpuruk akan segera pulih.
Sebenarnya, dominnasi wacana yang mempercayai hubugan tak terelakkaan demokrasi dan pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan bisa dirunut kembali pada reinkarnasi gagasan-gagasaan (neo) liberalisme. Melalui Thatcherism dan Reagenomics (atau boleh juga dibaca dengan Hayekism dan Friedmanomics) neo-liberalisme bertujuan memulihkan efisiensi pasar sebagai jawaban terhadap krisis yang ditimbulkan fordisme dan kebijakan Keynesian. Upaya memulihkan pasar melahirkan semacam new mode of production yang tercermin, diantaranya, dalam post-fordisme. New mode of production pada gilirannya memerlukan mode of regulation yang befungsi, misalnya, sebagai basis legal dan politik post-fordisme. Keperluan ini kemudian dipenuhi gagasan, model dan praktik demokrasi liberal.
Kampanye demokrasi liberal dan pembangunan ekonomi yang juga mengambil jalan liberal gencar dlakukan sejak berakhirnya perang dingin. Dua saudara kembar dari Bretton Woods, IMF dan World Bank, merupakan agen-agen pelopor. Biasanya, kesulitan ekonomi yang menimpa suatu negara menjadi pintu masuk yang bisa digunakan kedua lembaga itu memaksa pelaksanaan demokrasi liberal di satu sisi, dan ekonomi yang menekankaan pertumbuhan di sisi lainnya.
Yang jadi masalah, pendekatan alternatif ini, seperti yang bisa dibayangkan, mengandung banyak kelemahan. Pertama, demokrasi hanya dipahami sebatas institusi dan prosedur seperti pemilu, sistim multi-partai dan mekanisme check and balance antara presiden dan parlemen. Transparansi dan akuntabilitas berkenaan dengan soal perbaikan kualitas institusi dan prosedur. Karena itu, perhatian yang amat besar diberikan pada upaya bongkar pasang sistem pemilu agar lebih luber dan jurdil, atau manipulasi UU untuk melahirkan sistem kepartaian yang mengoptimalkan pertanggungjawaban publik..................dst

No comments: