Gagasan

 Konflik dan Kesantunan Politik
By Asep Koswara ( Direktur Kajian Politik The Sultan Center)

Hiruk pikuk politik di Banten khususnya di Cilegon, akhir-akhir ini sangat menarik untuk di perbincangkan. Apalagi jika merangkai aktivitas dan prilaku para elit politik lokal yang asyik mempertontonkan manuver politiknya, menghiasi wajah dinamika masyarakat bagai selebritis yang baru naik daun. Berbagai macam isu dan sensasi politik seolah tak ada habisnya di ciptakan agar menjadi komoditi berita dan menjadi wacana publik dengan harapan dapat membantu popularitas dan pecitraan politik secara gratis.

" Ganyang Fira’un”” misalnya, beberapa hari kebelakang menjadi isu aktual yang membuat “geger” masyarakat di kota Cilegon. Padahal jika dicermati secara cerdik pernyataan tersebut kalau tidak ditanggapi berlebihan sama sekali tidak akan berdampak serius. Justru sebaliknya semakin dibesar-besarkan maka popularitas dan pesan –pesan politik yg ada dalam rangkaian CD “ganyang fira’un” akan memancing orang untuk bertanya dan mencari untuk memenuhi rasa keingintahuannya. Implikasi dari isu tersebut setuju atau tidak, telah meningkatkan populeritas H. Ali Mujahidin dan kawan-kawan.

Konflik antar elit

Isu “” ganyang Firaun”” meningkatkan suhu politik di Cilegon semakin memanas, rangkaian kegiatan yang bernuansa politik bergulir dan bermuara pada konflik elit politik local. Para elit lokal cenderung mengabaikan kesantunan dalalam berpolitk justru mengutamakan emosi, dan kepentingan kelompok. Akibatnya muncul isu penyerangan pada pribadi antar elit dengan menyerempet pada pembunuhan karakter.

Konflik antar elit local tersebut menurut hemat penulis lebih disebabkan pada pemaknaan politik yang ditafsirkan oleh para elit sebagai upaya perebutan kekuasaan ( struggle of power). Dan Kekuasaan politik di pergunakan untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan minimnya pendidikan politik santun di kota ini.

Dalam literatur ilmu politik, memang banyak ragam dan pendapat tentang arti politik. Namun yang paling akrab, di masyarakat “Politik sering diidentikkan dengan kekejaman dan kekotoran”. Citra negatif politik ini sangat berkaitan erat dengan prilaku elit politik dalam perebutan kekuasaan yang dalam konteks kekinian di pertontonkan dengan cara yang kurang elegan dan santun.

Pernyataan “Ganyang Firaun”” sesungguhnya ungkapan biasa jika di tempatkan dan di terima pada situasi biasa. Namun menjadi luar biasa dan seolah aneh jika masuk pada ranah politik yang tingkat sensitifitasnya tinggi, terlebih diawali dengan kalimat-kalimat pengantar yang mengkritisi kepemimpinan yang tengah berkuasa. Tentunya sangat wajar jika pernyataan tersebut mengundang tanggapan beragam dari masyarakat.

Hemat penulis biarkanlah fenomena itu berkembang, sebagai bagian dari dinamika politik lokal yang tengah belajar demokrasi. Namun tetap kesantunan adalah keniscyaan yang mesti menjadi sandaran tingkah laku dalam berpolitik. Sebab, dalam politik perbedaan adalah hal yang lumrah. Akan tetapi memaknai perbedaan tanpa memahami makna kandungan aplikasinya justru akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Politik Santun

Rangkaian kegiatan yang bernuansa persaingan, perlu diakui sering kali ditandai dengan prilaku yang kurang santun. Meng¬eksploitasi ke¬le¬mahan lawan, men¬cela, dan saling menjatuhkan. Itulah politik, yang menurut Harold Lasswell (1972) hanyalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.

Dalam konteks politik, perkawanan hanya bisa dirajut sepanjang ada persamaan kepentingan. Pada saat berbeda kepentingan kawan akan berbalik menjadi lawan. Maka tak salah jika ada yang mengatakan, dalam politik tak ada kawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.

Mencermati fenomena politik yang semata-mata berlandaskan pada kepentingan pragmatis, adakah harapan akan prilaku politik elit lokal yang didasarkan pada fatsoen (tatakrama) sehingga makna politik yang sejatinya sangat positif itu tidak menjadi negatif. Tentunya kita sebagai entitas budaya, politik sangat membutuhkan fatsoen yang menuntut ketaatan para politikus.

Socrates menjelaskan bahwa politik adalah martabat dan harga diri sehingga dalam berpolitik seseorang harus memiliki keutamaan moral. Prakteknya, politik adalah ilmu dan seni yang berorientasi pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, manakala kepentingan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat terabaikan maka sesungguhnya hal ini telah menodai politik itu sendiri.

Kesantunan politik adalah suatu hal yang penting dan patut dijadikan sandaran dalam berpolitik. Sebab, kesantunan akan menuntun seseorang untuk menghargai arti sebuah perbedaan. Kesantunan akan membimbing makna sebuah komitmen.

Dapat dibayangkan jika kepentingan politik yang dilanggengkan itu menubruk rambu-rambu dan menabrak susila kehidupan bermasyarakat. Yang kemudian perilaku elit politik tidak mengedepankan kesantunan, maka adegan yang memalukan pun akan terjadi saling hujat bukanlah sebuah kesalahan, perang kata-kata berujung pada adu fisik sepertinya menjadi hal yang biasa, atau saling oncog dan saling klaim dengan mengusung nama kepedulian menjadi identitas yang bermuara pada egosentris.
Realitas ini merupakan cermin dinamika politik kita, meskipun hanya ditampilkan oleh segelintir elit saja.
Namun kalu tidak segera dibenahi akan melahirkan (dis trush) atau mosi tidak percaya rakyat terhadap politisi.

Oleh karenanya politik santun dan kesantunan dalam berpolitik perlu di realisasikan bukan sekadar gincu atau wacana. Ini perlu segera diwujudkan dengan niatan yang tulus untuk mempraktekan politik yang bermoral dalam bingkai kesungguhan hati dan keberanian untuk memulai.

Jika saja politik santun ini di implementasikan dalam kehidupan berpolitik, maka para elit politik akan mejadi tuntunan bagi masyarakat. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya politik masyarakat kita masih bersifat patron-clien. Artinya, bahwa elit politik adalah contoh teladan bagi pengikutnya (masyarakatnya). Dalam bahasa psikologi elit politik menjadi model bagi masyarakatnya. Jika elit politiknya tidak layak untuk diteladani lantas masyarakat mencontoh sama siapa?..(Tulisan ini dimuat di Banten Raya Post Edisi 11 November 2009)