Tuesday, November 13, 2007

ETIKA PROFESI

Apakah etika, dan apakah etika profesi itu? Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran -- yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi -- yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat "built-in mechanism" berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.

Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi

Oleh : Jangkung Handoyo Mulyo
Di antara tugas berat pemerintahan baru dibawah Presiden SBY adalah bagaimana membangkitkan kembali dan sekaligus mengakselerasikan pertumbuhan ekonomi nasional pasca krisis moneter. Ekonomi kerakyatan sebagai suatu sistem ekonomi yang memberikan pemihakan kepada pelaku ekonomi lemah kiranya pantas mendapatkan prioritas utama penanganan. Hal ini bukan saja karena ekonomi kerakyatan memiliki pijakan konstitusional yang kuat, namun juga karena ia gayut langsung dengan nadi kehidupan rakyat kecil yang secara obyektif perlu lebih diberdayakan agar mampu menjadi salah satu ‘engine’ bagi peningkatan kesejahteraan rakyat (social welfare) dan sekaligus alat ampuh untuk lebih memeratakan ‘kue pembangunan’ sejalan dengan program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation).
1. Pengantar
Krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia ) pada tahun 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus memberikan pelajaran sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerakyatan (diantara mereka adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi, mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai krisis moneter yang melanda Indonesia.
Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persaingan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala internasional. Banyak pihak mengkritik, antara lain Baswir (2003), bahwa konsep perdagangan bebas cenderung mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan mengabaikan perbedaan kepentingan ekonomi antara berbagai strata sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam sistem perdagangan bebas tersebut, perusahaan-perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan, antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Oleh karena itu agar tetap survive, maka koperasi yang oleh Anthony Giddens (dalam Rahardjo, 2002) dipopulerkan sebagai the third way, perlu diberdayakan dan melakukan antisipasi sejak dini, apakah dengan membentuk jaringan kerjasama antar koperasi dari berbagai negara, melakukan merger antar koperasi sejenis, atau melakukan langkah antisipatif lainnya.
2. Koperasi Sebagai Penjelmaan Ekonomi Rakyat
Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002). Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan.
Secara operasional, jika koperasi menjadi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi. Inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.
3. Citra dan Peran Koperasi di Berbagai Negara
Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia (bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang kinerjanya belum seperti yang kita harapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban psikis, handycap dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi.
Oleh karena itu, disini perlu dipaparkan beberapa contoh untuk lebih meyakinkan kita semua bahwa sesungguhnya sistem koperasi mampu untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan anggotanya dan sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power) dalam sistem ekonomi.
Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya.
Di Indonesia, menurut Ketua Umum Dekopin, saat ini terdapat sekitar 116.000 unit koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar dan potensial untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30% saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi perekonomian nasional akan sangat signifikan.
Sementara itu di Amerika Serikat jumlah anggota koperasi kredit (credit union) mencapai sekitar 80 juta orang dengan rerata simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat dan Kanada sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai people’s bank, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula.
Di Jepang, koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai ‘bank rakyat’ karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan (Rahardjo, 2002).
Contoh lain adalah perdagangan bunga di Belanda. Mayoritas perdagangan bunga disana digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga Koperasi Sunkis di California (AS) yang mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari Koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001). Di Indonesia, banyak juga kita jumpai koperasi yang berhasil, misalnya GKBI yang bergerak dalam bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak dalam bidang usaha tahu dan tempe (Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita di Surabaya, dan KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis koperasi yang berbasis di perguruan tinggi, dan masih banyak contoh lagi.
4. Pemberdayaan Koperasi: Menggali Key Success Factor
Mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi, terutama koperasi di Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci yang urgent dalam pengembangan dan pemberdayaan koperasi. Diantara faktor penting tersebut, antara lain:
a. Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang antara lain dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap ‘tiga serangkai’ koperasi, yaitu pengertian koperasi (definition of co-operative), nilai-nilai koperasi (values of co-operative) dan prinsip-prinsip gerakan koperasi (principles of co-operative) (International Co-operative Information Centre, 1996). Pemahaman akan jati diri koperasi merupakan entry point dan sekaligus juga crucial point dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas koperasi. Sebagai catatan tambahan, aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar persoalan koperasi, seperti kritik yang pernah dilontarkan oleh berbagai kalangan, diantaranya oleh Baga (2003).
b. Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya (collective need of the member) dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi, memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran produk.
c. Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.
d. Kegiatan (usaha) koperasi bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.
e. Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi.
5. Penutup
Sebagai sesama anak bangsa, kita terpanggil untuk secara bersama-sama memberdayakan koperasi sehingga koperasi bukan hanya berperan sebagai lembaga yang menjalankan usaha saja, namun koperasi bisa menjadi alternatif kegiatan ekonomi yang mampu menyejahterakan anggota serta sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang dalam sistem perekonomian. Dengan kata lain, kita mengharapkan tumbuh berkembangnya koperasi yang memiliki competitive advantage dan bargaining position yang setara dengan pelaku ekonomi lainnya.
Upaya untuk lebih memberdayakan koperasi diawali dengan mengembalikan koperasi sesuai dengan jatidirinya. Selain itu diperlukan upaya serius untuk mendiseminasikan dan mensosialisasikan koperasi dalam format gerakan nasional berkoperasi secara berkesinambungan kepada warga masyarakat, baik melalui media pendidikan, media masa, maupun media yang lainnya.
Semoga koperasi sebagai salah satu representasi dari ekonomi kerakyatan yang bersendikan demokrasi ekonomi dapat tumbuh, berkembang dan berdaya guna serta mampu menjadi salah satu pilar penting perekonomian bangsa.

Monday, November 12, 2007

Nasionalisme dalam Pusaran Globalisasi

NASIONALISME merupakan suatu bentuk ideologi, demikian pendapat James G. Kellas (1998: 4). Sebagai suatu ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa. Nasionalisme Indonesia muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
Kebijakan pendidikan nasional di awal abad XX telah menciptakan inti dari elite baru Indonesia yang terdiri dari para dokter, guru, dan pegawai sipil pemerintah. Bersamaan dengan itu, kebencian yang laten terhadap dominasi kolonial timbul di atas ambang kesadaran nasional. Berdirinya Boedi Oetomo (1908) menjadi tanda kebangkitan nasionalisme Indonesia yang kemudian diikuti organisasi-organisasi nasional lainnya.
Jiwa nasionalisme kaum elite dari hari ke hari semakin meluas dan menguat di hati rakyat. Tekanan ekonomi yang teramat berat selama pendudukan Jepang memperkuat semangat nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Pada kurun waktu 1945-1950, jiwa nasionalisme diperteguh oleh semangat mempertahankan kemerdekaan, serta persatuan dan kesatuan Indonesia yang dirongrong oleh perlawanan kedaerahan dari negara-negara boneka bentukan Belanda.
**
KINI nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran peradaban baru bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive serta elan vital dari sebuah bangsa bernama Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya, dalam arti kemampuan untuk berubah sehingga selalu akurat dalam menjawab tantangan zaman. Fleksibilitas tidaklah mengurangi jiwa nasionalisme, justru sebaliknya, fleksibilitas menunjukkan begitu dalamnya nasionalisme mengakar sehingga dalam waktu bersamaan dia tetap hidup dan terus-menerus bermetamorfosis.
Pusaran ekonomi global menendang nasionalisme jauh ke pinggiran. Nasionalisme menjadi tidak relevan lagi. Di masa lalu modal terkait erat dengan rakyat. Dia memiliki tanggung jawab sosial untuk menghidupi seluruh anggota komunitas (bangsa). Namun kini, privatisasi terus-menerus menyeret modal menjauh dari dimensi sosial atau komunitasnya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya modal dengan cepat berlari (capital flight) ke (negara) mana pun yang disukainya.
Apakah negara hancur lebur karena krisis ekonomi atau rakyat mati kelaparan, tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab para pemilik modal. Banyaknya perusahaan yang melarikan modalnya ke negara lain pada saat krisis ekonomi di pertengahan 1997 dan tahun-tahun sesudahnya memberi gambaran konkret atas persoalan tersebut. Kenyataan demikian memunculkan persoalan, apakah nasionalisme masih relevan dalam pusaran ekonomi global saat ini, sebab modal finansial melepaskan diri dari keterikatannya dengan nation-state, sehingga bangsa sebagai komunitas solidaritas menjadi utopia.
Globalisasi sebagai proses de-teritorialisasi tidak hanya menimbulkan persoalan di bidang ekonomi, tetapi juga kebudayaan. Kebudayaan kerap dikaitkan dengan teritori tertentu. Ruang membentuk identitas budaya. Ini berarti nasionalisme Indonesia pun dibangun oleh kebudayaan Indonesia yang berada dalam batas-batas geografis tertentu. Itu pemahaman kebudayaan di masa lalu.
Globalisasi sebagai proses de-teritorialisasi telah mengubah semua itu. Kebudayaan tidak lagi terkungkung dalam teritori tertentu. Kini tidak sedikit anak-anak muda Kota Kembang yang lebih terampil break dance daripada jaipongan; atau lebih mahir bermain band, daripada menabuh gamelan. Kita juga bisa menyaksikan orang barat yang menjadi dalang dan piawai memetik kecapi. Kita bisa menyaksikan ibu-ibu yang setia berkebaya serta bapak-bapak yang bersarung atau berpeci, pada waktu bersamaan begitu menikmati fast food bermerek global. Kebudayaan telah melepaskan diri dari keterikatannya pada nation-state. Kenyataan ini menghadapkan nasionalisme dengan persoalan, manakah kebudayaan yang akan menjadi media berurat-akarnya nasionalisme?
Bersamaan dengan proses de-teritorialisasi dan mengglobalnya kebudayaan terjadi gerak sebaliknya berupa pencarian identitas lokal yang semakin intensif.
Proses mengglobal dan melokal janganlah dipandang sebagai penyakit atau kelainan dalam budaya masyarakat tetapi mesti diterima sebagai keutamaan hidup manusia; semakin mengglobal semakin rindu akan identitas lokalnya. Gerak paradoks tersebut tampak jelas dalam bangkit dan menguatnya gerakan-gerakan etnis serta agama. Nation-state menghadapi ancaman dari berbagai gerakan partikular sehingga memicu domestic conflicts yang dapat membawa pada runtuhnya nation-state seperti yang dialami oleh bekas negara Uni Soviet. Pada titik ini nasionalisme pun dipertanyakan eksistensi dan relevansinya.
Globalisasi bidang politik mendatangkan persoalan serupa atas nasionalisme. Globalisasi telah mereduksi pentingnya lingkup politik dari nation-state yang merupakan basis bagi pembangunan sosial-politik. Peran nation-state menjadi subordinat karena diambilalih oleh lembaga-lembaga ekonomi transnasional. Jika eksistensi nation-state terpinggirkan, halnya sama dengan nasionalisme, nasionalisme menjadi ideologi yang kedaluarsa.
**
DARI perspektif ekonomi, budaya, dan politik global tampak bahwa nasionalisme menghadapi tantangan yang sangat besar di tengah pusaran globalisasi saat ini. Apakah ini berarti nation-state tidak relevan lagi, yang berarti tidak relevan pula membicarakan nasionalisme? Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini kewarganegaraan modern dengan berbagai hak sosial, politik, dan sipilnya tidaklah melampaui batas-batas nasional. Meski kini berkembang berbagai komunitas transnasional, Uni Eropa misalnya, namun seseorang yang hendak menjadi anggota terlebih dahulu mesti memperoleh kewarganegaraan dari salah satu negara anggotanya. Ini berarti di tengah arus globalisasi, peran nation-state serta nasionalisme tetap relevan dan signifikan.
Pertanyaan yang segera muncul, nasionalisme yang mana? Jika ditempatkan dalam ketegangan lokal-global, nasionalisme merupakan pencarian identitas lokal (nasional) di tengah pusaran globalisasi.
Nasionalisme sebagai identitas bukanlah "kata benda" yang bentuk dan wujudnya sudah jadi dan final. Nasionalisme merupakan "kata kerja", artinya dia adalah suatu projek yang mesti terus-menerus dikerjakan, dibangun, serta diberi dasar dan makna baru pada setiap kesempatan. Proses kerjanya dijalani lewat public critical rational discourse yang melibatkan seluruh bagian anak negeri sebagai yang sederajat tanpa mengecualikan siapapun.
Di tengah pusaran globalisasi, nasionalisme Indonesia bukan lagi memanggul senjata atau bambu runcing dengan semangat "merdeka atau mati". Nasionalisme Indonesia bukanlah patriotisme gaya Hitler atau Mussolini, juga melampaui semboyan termashur dari Perdana Menteri Britania Raya, Disraeli, "benar atau salah, negeriku selalu benar". Nasionalisme demikian oleh Mangunwijaya dimaknai sebagai nasionalisme pasca-Indonesia.
Arah nasionalisme pasca-Indonesia, menurut Mangunwijaya, akan berkembang dengan mengambil sumber dari semangat dasar nasionalisme generasi 1928; suatu nasionalisme yang berpedoman "right or wrong is right or wrong" bukan "right or wrong is my country". Hakikat nasionalisme Generasi 1928 merupakan perjuangan dan pembelaan kawanan manusia yang terbelenggu penjajahan, tertindas, miskin kemerdekaan dan hak menentukan diri sendiri.
Nasionalisme pasca-Indonesia seperti juga nasionalisme 1928 diarahkan untuk memperjuangkan hidup manusia yang termarginalisasi, teralienasi serta tak berdaya menghadapi penguasa ekonomi, politik, budaya yang lalim dan sewenang-wenang.
Bedanya, nasionalisme generasi 1928 ditujukan ke arah lawan asing dari luar, sedangkan bagi nasionalisme pasca-Indonesia yang hidup dalam pusaran globalisasi, batas-batas geopolitis semakin kabur. Perjuangan kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan dari nasionalisme pasca-Indonesia tidak hanya diarahkan ke pihak-pihak asing tetapi juga ke dalam negeri sendiri, bahkan diri sendiri. Nasionalisme pasca-Indonesia merupakan perjuangan untuk meniadakan segala bentuk eksploitasi manusia (juga lingkungan hidup beserta semua penghuninya) oleh siapa pun, dari manapun dan dalam bentuk apa pun.
Nasionalisme pasca-Indonesia tidak menghabiskan "hidupnya" untuk memaksakan memilih salah satu pro atau kontra globalisasi. Bagi nasionalisme pasca-Indonesia, globalisasi merupakan proses sejarah yang tak terelakan (unevitable). Kita tidak mungkin lari apalagi menolak serta menghentikan proses globalisasi. Nasionalisme pasca-Indonesia lebih concern dengan persoalan yang lebih mendasar, yaitu bagaimana "mengawal" globalisasi supaya semakin manusiawi.***
Oleh C. LILI ALIKA , staf pengajar Universitas Parahyangan Bandung .

MEMBANGUN PARTAI DEMOKRAT KE DEPAN

Membangun Partai Demokrat Ke Depan[1]
Oleh: Achmad Rozi [2]

Di usianya yang memasuki 6 (enam) tahun, Partai Demokrat telah menjelma menjadi satu kekuatan partai politik yang diperhitungkan oleh partai-partai lain yang sudah ada. Dengan modal 7, 46% perolehan hasil pemilu 2004 membuktikan bahwa Partai Demokrat merupakan partai alternatif bagi rakyat Indonesia yang diharapkan dapat membawa perubahan dalam dinamika perpolitikan nasional. Walaupun harus diakui bahwa perolehan angka 7,46% tersebut lebih banyak ditentukan oleh sosok figur Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Pendiri Partai Demokrat sekaligus sebagai symbol perubahan yang sangat populer. Dimana berdasarkan survey yang banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga survey di Indonesia, popularitas SBY diawal tahun 2004 berkisar antara 60% sampai 70%. Dengan angka popularitas SBY yang demikian besar, maka Partai Demokrat menjadi terbantu popularitasnya, hingga akhirnya memperoleh kepercayaan dari masyarakat sebesar 7, 46% pada Pemilu 2004.
Untuk terus mampu mengemban cita-cita dan tujuan besar Partai Demokrat, sebagaimana yang tertuang dalam AD/ART, maka Partai Demokrat ke depan harus menata diri menjadi partai modern dan maju. Prestasi yang sudah diraih semestinya menjadi modal dasar bagi Partai Demokrat dalam mengembangkan diri menjadi Partai Alternatif bagi rakyat, dan sarana untuk mewujudkan hal tersebut pada tingkat strategis adalah Partai Demokrat harus mengembangkan visi perkaderan, dimana ini merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi seluruh pengurus partai dari tingkat DPP sampai pada tingkat Pengurus Anak Ranting. Mengapa hal ini penting untuk diajukan? Menurut penulis, ada tiga alasan strategis yang dapat dijadikan sebagai rasionalisasi dari pernyataan diatas, khususnya pilihan menjadi partai kader. Pertama, Partai Demokrat tidak terjebak pada rutinitas kegiatan-kegiatan partai menjelang persiapan Pemilu, Pilpres dan Pilkada saja tetapi lebih luas dari itu yaitu Partai Demokrat juga bertanggung jawab atas terbentuknya sumberdaya manusia (SDM) partai yang tangguh dan unggul sesuai dengan kompetensi kader itu sendiri, sehingga akan lebih optimal dalam menjalankan misi partai ditengah-tengah masyarakat.
Kedua, dimungkinkan tidak setiap orang/individu dapat keluar masuk partai, yang pada akhirnya akan mereduksi nilai idealisme partai itu sendiri. Banyak kita lihat bahwa partai-partai yang saat ini bermunculan, didominasi oleh orang/individu yang secara ideologi dan idealisme bertolak belakang dengan ideologi partai. Maka tidak heran kita jumpai didalam sebuah partai sering terjadi konflik; perpecahan, perkelahian bahkan perseteruan diantara para pengurus yang mengakibatkan partai menjadi tidak berkembang.
Ketiga, estafeta kepemimpinan akan terus terjaga secara natural. Artinya disetiap tingkatan kepengurusan partai, tidak bisa tidak kepemimpinan harus diserahkan kepada orang/individu yang betul-betul kader Partai Demokrat, yang telah dilahirkan melalui proses pendidikan, pelatihan dan pengembangan di arena perkaderan Partai Demokrat. Dengan demikin ini akan menjamin tetap sterilnya tujuan besar partai dari kepentingan-kepentingan orang yang tidak memahami arah dan perjuangan Partai Demokrat. Dan juga partai akan terhindar dari para kutu loncat/oportunis partai. Sekaligus bahwa dengan perkaderan haruslah merupakan lingkungan bersemainya calon-calon pemimpin masa depan yang mampu menumbuhkan daya kritisisme kader serta semangat idealisme sehingga kader Partai Demokrat senantiasa memiliki kepedulian pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Ketiga alasan tersebut menurut penulis akan sangat mudah di mengerti oleh pengurus disemua tingkatan jika memiliki komitmen yang tinggi terhadap Visi dan Misi Partai Demokrat. Ingat, Partai Demokrat dilahirkan bukan untuk kepentingan jangka pendek yaitu merebut kekuasaan didalam Parlemen atau Eksekutif. Tetapi lebih mulia dari itu, yaitu bagaimana Partai Demokrat mampu mengaktualisasikan Tujuan Partai Demokrat, yaitu; Pertama, menegakkan, mempertahankan dan mengamankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai jiwa Proklamasi, Kedua Mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Ketiga melakukan segala usaha dan ikhtiar untuk membangun masyarakat Indonesia baru yang berwawasan nasionalisme, pluralisme dan humanisme, dan Keempat meningkatkan partisipasi seluruh potensi bangsa dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang memiliki pemerintah yang bersih,efektif,efisien serta dinamis menuju terwujudnya Indonesia yang demokratis, sejahtera, maju dan modern dalam suasana aman dan penuh kedamaian lahir dan bathin.
Dan langkah taktis yang dapat ditempuh serta di kembangkan oleh Partai Demokrat menuju Partai yang Modern dan Maju di masa depan, yaitu melakukan Refungsionalisasi Manajemen Partai secara sistematis, terukur dan rasional. Refungsionalisasi meliputi; pertama, Manajemen Organisasi, kedua Manajemen Keanggotaan, ketiga, Manajemen Kaderisasi, keempat, Manajemen Pencitraan, kelima, Manajemen Kampanye, dan keenam Manajemen Logistik.
1. Manajemen Organisasi
Persoalan mendasar yang harus dibenahi secara internal adalah Manajemen Organisasi Partai, artinya sehebat apapun strategi yang telah dirumuskan tanpa dibarengi dengan penguatan pada sisi manajemen organisasi partai, maka yang terjadi adalah kegagalan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, agar Partai Demokrat tidak mengalami kegagalan, perlu kiranya merevitalisasi manajemen organisasi yang ada saat ini. Merevitalisasi dalam konteks fungsi-fungsi yang ada didalam Manajemen Organisasi itu sendiri.
Langkah kongkrit dari Revitalisasi Manajemen Organisasi adalah terkait dengan fungsi-fungsi dasar manajemen, yaitu; Pertama, Perencanaan, bagaimana Partai demokrat mampu menrumuskan semua aktifitas manajerial dan organisasional yang berkaitan dengan persiapan menghadapi masa depan. Tugas spesifiknya meliputi meramalkan, menetapkan sasaran, menetapkan strategi, mengembangkan kebijakan dan menetapkan sasaran. Kedua, Pengorganisasian, yaitu bagaimana Partai Demokrat mampu menghasilkan struktur tugas dan hubungan wewenang. Dimana tugas spesifik yang harus dilakukan adalah, disain organisasi, spesialisasi pekerjaan, uraian pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, rentang kendali, kesatuan komando, dan analisis pekerjaan secara efektif dan efisien.
Ketiga, pemotivasian, yaitu usaha yang diarahkan untuk membentuk tingkah laku anggota organisasi. Yaitu meliputi kepemimpinan, komunikasi, kerja kelompok, modifikasi tingkah laku, moral anggota organisasi termasuk moral pimpinan,perubahan organisasi dan pemenuhan kebutuhan. dan Kempat adalah Pengendalian, yaitu merujuk pada semua aktifitas manajemen yang diarahkan untuk memastikan hasil yang didapat konsisten dengan hasil yang direncanakan.
2. Manajemen Keanggotaan
Manajememen keanggotaan, yaitu bagaimana partai mampu menata ulang system rekruitmen anggota, pengembangan sumber-sumber rekruitmen anggota, pengembangan jaringan, kreteria calon anggota, dan kualitas calon anggota. Dengan menetapkan variabel tersebut, langkah selanjutnya adalah bagaimana Partai melakukan pembinaan dan pengembangan Anggota melalui wadah perkaderan yang terprogram secara sistematis. Harus diakui bahwa banyaknya jumlah anggota partai politik akan sangat menentukan eksistensinya dikemudian hari, dan menjadi asset yang sangat berharga. Namun jika tidak dilakukan pemeliharaan terhadap potensi anggota yang ada, jangan harap anggota yang ada dapat melanjutkan cita-cita perjuangan Partai Demokrat ke depan.
Sebagai sebuah gambaran sederhana, jika satu DPC Partai Demokrat Kabupaten/Kota mampu merekrut Anggota baru minimal 10% dari jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih, dengan asumsi jumlah hak pilih penduduk setiap Kabupaten/Kota itu adalah 500.000 jumlah penduduk, maka akan terekrut sebanyak 50.000 anggota baru, dan itu akan menjadi anggota inti Partai Demokrat untuk tingkat satu DPC. Dari jumlah anggota tersebut, sudah dipastikan mereka akan menjadi asset bagi Partai Demokrat.
3. Manajemen Kaderisasi
Setelah manajemen keanggotaan tertata dengan baik, maka pada tingkat selanjutnya adalah bagaimana Partai mampu melakukan proses kaderisasi secara konsisten dengan didukung oleh seperangkat system, metode, dan teknologi yang dimiliki. Dalam mengelola kader, Persepsi yang harus dibangun oleh pengurus Partai Demokrat adalah bahwa kaderisasasi merupakan kebutuhan bersama tidak saja untuk kepentingan jangka pendek pemilu dan pilkada, tetapi untuk kepentingan jangka panjang yaitu membesarkan partai menjadi besar dan berkembang.
Langkah kongkrit dari Manajemen Perkaderan adalah dengan membentuk sebuah badan otonom yang terpisah dari struktur Partai Demokrat, dimana Badan tersebut memiliki peraturan-peraturan organisasinya sendiri. Artinya biarkan lembaga tersebut (baca: Badan Perkaderan Demokrat) secara mandiri mendisain dan merumuskan arah dan pola perkaderan yang ideal sesuai dengan Visi dan Misi Partai Demokrat. Disamping itu berikan hak dan wewenang yang luas kepada Badan tersebut untuk mengurus dan mengelola perkaderan partai Demokrat atau dalam istilah yang lain tempatkan Badan Perkaderan Demokrat hanya bertugas mengkader anggota-anggota Partai di semua tingkatannya, dan lembaga tersebut harus steril dari kepentingan-kepentingan elit politik partai itu sendiri.
Yang harus diingat adalah, Lembaga tersebut harus secara nasional terbentuk di setiap DPC dan DPD Partai Demokrat. Dan untuk tingkat DPP berfungsi sebagai Badan Koordinasi Lembaga tersebut. Tugas DPP, DPD dan DPC Partai Demokrat adalah memfasilitasi dan supporting seluruh kebutuhan yang diinginkan oleh Lembaga tersebut.
4. Manajemen Pencitraan
Membangun citra partai yang positip dimata Masyarakat merupakan tugas dan tanggung jawab semua kader partai untuk mengaktualisasikannya secara berkesinambungan dan terus menerus. Mengapa? Karena semakin positif citra suatu partai, maka semakin menguntungkan, dan begitu sebaliknya.
Kalau kita melihat secara obyektif, bahwa untuk membangun sebuah citra partai yang positif dimata masyarakat, diperlukan berbagai alat (tools) yang efektif dan efisien, sehingga pencitraan yang akan dilakukan dapat tepat sasaran sesuai dengan yang diharapkan. Disamping itu, diperlukan manajemen yang cerdas dalam pengelolaan citra partai, atau dalam kontek ini adalah diperlukannya manajemen pencitraan.
Dalam Manajemen Pencitraan, terdapat enam tools kritis yang harus diperhatikan oleh segenap pengurus Partai Demokrat disemua tingkatan, yaitu Publication, Event, News, Community, Identity dan Lobby, atau disingkat PENCIL. Enam faktor tersebut harus secara integrated diimplementasikan oleh kader dan Pengurus Partai Demokrat. Baik yang ada di Legislatif maupun yang ada di Eksekutif, baik yang ada di struktur Partai maupun ada diluar struktur partai.
Publication, terkait dengan tugas partai dalam mempublikasikan, mengkomunikasikan, mempromosikan dan mensosialisasikan visi-misi partai, ideology, platform, program kerja, kinerja partai, dan seterusnya yang harus dilakukan secara terus menurus.
Event, terkait dengan tugas partai/kandidat dalam merancang, mendisain sebuah kegiatan yang dapat mempengaruhi individu pemilih atau kelompok, tentunya event yang dibuat harus menyentuh pada aspek dasar yang menjadi kebutuhan konsituen secara khusus. News, yaitu terkait dengan kemampuan Partai Demokrat dalam menyusun informasi dan berita-berita yang akan disampaikan kepada publik, dan sejauhmana kemampuan Partai Demokrat berhubungan dengan Media Masa, elektronik dan lainnya sebagai partner kerja yang efektif.
Community, yaitu sejauhmana partai mampu membidik sasaran masyarakat/pemilih secara tepat melalui kegiatan segmentasi, targeting dan positioning (STP) yang tepat. Harus di ingat bahwa secara normatif, tidak ada satupun partai politik yang memiliki kekuatan secara merata disemua lini, pasti ada kelemahan/keterbatasan yang dimilikinya.
Identity yaitu bagaimana kemampuan menciptakan sebuah kesan yang mendalam dari identitas yang dimiliki oleh Partai Demokrat, baik untuk lingkungan internal maupun eksternal. Penciptaan kesan postif dari identitas ini terkait langsung dengan produk-produk yang dihasilkan oleh partai Demokrat itu sendiri, yang meliputi SDM Partai, Prestasi dan Kinerja Partai serta Platform Partai Demokrat.
Lobby, merupakan bentuk komunikasi langsung dan tidak langsung yang dilakukan oleh pengurus partai disemua tingkatan untuk meyakinkan dan mempengaruhi persepsi publik terhadap citra Partai Demokrat. Tidak cukup dengan publik, Lobby juga harus dikembangan dengan Birokrasi dan Stakeholder lainnya, sehingga akan terbangun image building yang positif disemua kalangan atau tingkatan Masyarakat.
5. Manajemen Kampanye
Sebagai sebuah partai yang relatif masih baru, bagi Partai Demokrat kampanye harus selalu dilakukan oleh setiap kader partai, baik yang ada didalam struktur partai maupun yang ada diluar struktur. Sebagai agent kampanye, partai dapat memberdayakan kader-kader dan atau anggota yang ada secara terorgainisir melalui pelatihan pemasaran politik yang uptodate. Kampanye politik merupakan suatu usaha yang terorganisir untuk dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam suatu kelompok, disamping itu juga merupakan bagian dari promosi yang berkaitan dengan aktifitas partai politik dalam usaha menyebarkan informasi kepada seluruh anggota dan para simpatisan.
6. Manajemen Logistik
Manajemen logistik berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat finansial, material dan perlengkapan. Untuk menang dalam pemilu tiga faktor tersebut sangat dominan dalam memberikan pengaruh bagi kelancaran program-program pemenangan pemilu. Ruang lingkup Manajemen logistik yang harus di tata adalah; sarana dan prasarana organisasi yang memadai disemua tingkatan; misalnya; kantor sekretariat, pengadaan perlengkapan dan atribut partai, mengupayakan adanya sumber dana tetap yang mandiri, halal dan tidak mengikat.dan lain sebagainya.
Dengan enam agenda taktis tersebut, dapat kita yakini bahwa Partai Demokrat akan terus berkembang, maju dan menjadi besar. Persoalan selanjutnya adalah terletak pada kemauan “political will” dari seluruh fungsionaris Partai Demokrat di semua tingkatan untuk melaksanakan enam agenda diatas. Mau atau tidak?
Disamping agenda diatas, agenda bagi seluruh kader Partai Demokrat adalah ikut memastikan bahwa program-program pemerintah berjalan dengan baik dan sukses, menata jaringan organisasi partai sampai tingkat terbawah, membangun basis-basis politik didaerah lewat Pilkada, menyiapkan kader-kader yang berkualitas sebagai calon legislatif, melakukan rekruitmen dan pembinaan kader secara terus menerus, melakukan pemasaran politik yang cerdas, tajam dan terus menerus, membangun organisasi-organisasi sayap yang luas dan mengakar, menyiapkan anggaran yang memadai, baik bagi kebutuhan operasional partai dan seluruh jajarannya maupun untuk kebutuhan pemenangan pemilu. Dengan begitu masa Depan Partai Demokrat akan semakin dekat kearah Masa Depan yang lebih cerah.




































[1] Artikel ini disampaikan pada Lomba Penulisan Partai Demokrat
[2] Anggota Partai Demokrat ( No.KTA : 3604.33821)