Sunday, April 26, 2009

Disorientasi Pemberantasan Korupsi

INDONESIA bebas dari korupsi? Mimpi kali ya. Begitulah kira-kira jawaban yang pantas diberikan atas pertanyaan tersebut. Jawaban tersebut bukanlah sebuah ungkapan pesimisme ataupun sinisme terhadap bangsa ini, namun inilah realitas yang sedang terjadi.. Hingga saat ini, korupsi masih saja terus terjadi di setiap sektor, baik pemerintah (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun swasta. Bahkan dari segi kualitas maupun kuantitas, korupsi di negeri ini selalu menunjukkan grafik peningkatan dari tahun ke tahun.


Berdasarkan data yang baru dikeluarkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa jumlah kasus korupsi pada tahun 2006 lalu mencapai 166 kasus, lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2005 sebanyak 125 kasus dan tahun 2004 sebanyak 153 kasus. Selain itu, yang lebih memprihatinkan lagi, uang rakyat yang dirampok para koruptor mengalami lonjakan luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari total jumlah kerugian negara akibat korupsi. Bila uang negara yang hilang pada tahun 2004 mencapai Rp 4,3 triliun, dan naik menjadi Rp 5,3 triliun pada tahun 2005, maka pada tahun 2006 lalu melonjak drastis hingga mencapai Rp 14,4 triliun (Media Indonesia/24/1).


Kenyataan ini jelas merupakan suatu peringatan dini bagi kita semua, bahwa upaya pemberantasan korupsi (demolishing corruption) yang gencar dilakukan dalam beberapa tahun belakangan ini masih belum dapat membawa bangsa Indonesia keluar dari sistem koruptif yang akut.


Sebagaimana kita ketahui, selama ini pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak-pihak terkait lainnya (stakeholders) terlihat sangat serius dilakukan. Wujudnya, berbagai upaya terus ditempuh, baik dalam pencegahan maupun penindakan serta penegakan hukum terhadap pelakunya, termasuk upaya menyempurnakan mekanisme dan perangkat hukumnya. Namun, hasilnya belum kelihatan seperti yang diharapkan oleh publik. Penyebab utama belum maksimalnya hasil kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini dikarenakan terjadinya disorientasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.


Bila dilihat secara cermat, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disorientasi dalam pemberantasan korupsi. Pertama, berbagai kebijakan (policy) yang diambil oleh pemerintah selama ini dalam memberantas korupsi banyak yang tidak berjalan secara efektif. Sebagai contoh di antaranya adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) yang hanya menjadi kebijakan yang jeudaih dalam tataran konseptual namun tidak aplikatif untuk dioperasionalkan dalam memberantas korupsi. Kedua, produk hukum yang digunakan sebagai pijakan yuridis dalam melakukan pemberantasan korupsi, seperti UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) masih memiliki banyak celah hukum sehingga sering dimanfaatkan para koruptor untuk menghindar dari jerat hukum. Bahkan bukan hanya itu, banyaknya celah hukum dalam UU Tipikor dan KPK justru sering digunakan sebagai “senjata” oleh para koruptor dalam melakukan serangan balik (corruptor fight back). Buktinya, sepanjang tahun 2006 lalu, setidaknya tercatat dua kali para koruptor sukses melakukan serang balik terhadap UU Tipikor dan UU KPK melalui uji materiil (judicial review) kedua UU tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Kesuksesan koruptor mendobrak daya “gedor” UU Tipikor dan UU KPK tercermin dalam putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai uji materiil UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK dalam putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999 junto UU No. 20/2001 bertentangan dengan UUD 1945, karena penjelasan pasal tersebut dianggap telah memperluas kategori unsur melawan hukum materiil dengan merujuk pada hukum tidak tertulis serta bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (rechtzakerheid) dan prinsip keadilan (rechtvaardigheid). Dan putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 tentang KPK bertentangan dengan Pasal 24 ayat 1, 2, Pasal 24A ayat 5, dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, karena keberadaan Pengadilan khusus (adhoc) Tipikor telah menimbulkan standar ganda (double standar) dan dualisme pengadilan dalam pemberantasan korupsi yaitu antara Pengadilan Umum dan Pengadilan adhoc Tipikor.


Ketiga
, institusi yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK dan Timtastipikor belum mampu berperan secara optimal dalam membasmi dan mencegah terjadinya korupsi. Apalagi kalau dilihat lebih dalam, hasil kinerja KPK ternyata hanya mampu mengembalikan uang negara hasil korupsi sebanyak Rp 25,7 miliar. Padahal, biaya operasional yang dikeluarkan untuk KPK pada tahun 2006, mencapai Rp 257 miliar. Jelas dari segi efisiensi, hasil kinerja KPK dapat dikatakan sangat memprihatinkan sekali. Belum optimalnya kinerja KPK dan Timtastipikor disebabkan oleh begitu kuatnya intervensi kekuatan politik terhadap kedua lembaga tersebut. Akibatnya, praktek diskriminasi atau “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi tak dapat dihindari untuk dilakukan, demi menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak yang berkuasa.


Keempat
, mandeknya proses reformasi birokrasi yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah. Hingga saat ini, Birokrasi belum sanggup secara maksimal menangkal terjadinya berbagai praktik-praktik korupsi. Birokrasi justru tetap dengan wajah lamanya yang korup.


Berpijak pada berbagai persoalan tersebut, kini tak ada alternatif lain, disorientasi dalam pemberantasan korupsi mesti secepatnya diakhiri. Adapun langkah dan strategi yang dapat dilakukan saat ini sebagai jalan keluar guna mengatasi disorientasi dalam pemberantasan korupsi yang terjadi selama ini, yaitu, Pertama, melakukan kaji ulang (review) terhadap berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan ditindaklanjuti mengeluarkan kebijakan baru untuk menganti kebijakan-kebijakan yang tidak dapat berjalan secara efektif. Kedua, menutup berbagai celah hukum yang terdapat di dalam UU Tipikor dan UU KPK dengan cara segera melakukan penyempurnaan (revisi) terhadap kedua UU tersebut serta mempercepat proses legislasi RUU tentang Pengadilan adhoc Tipikor yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di DPR. Ketiga, memperkuat kelembagaan KPK dan Timtastipikor dengan memfasilitasi infrastruktur, memberikan anggaran yang memadai, mengharuskan semua jajaran birokrasi, kepolisian, kejaksaan untuk mendukung keberadaan kedua lembaga tersebut serta menghentikan berbagai bentuk intervensi politik terhadap KPK dan Timtastipikor. Keempat, segera melakukan restrukturisasi terhadap birokrasi secara menyeluruh dengan mempercepat proses reformasi terhadap birokrasi melalui implementasi prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) ke dalam sistem birokrasi di Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.


Akhirnya, kita berharap keempat langkah dan strategi di atas dapat segera dilaksanakan oleh pemerintah dan para stakeholder lainnya. Jika tidak, bukannya tidak mungkin, cita-cita untuk menjadikan negeri ini bebas dari praktik korupsi hanya akan tetap menjadi sebuah mimpi yang tidak akan pernah dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Dan tentunya kita semua tidak mengharapkan hal itu benar-benar terjadi. Semoga.
(Firdaus Arifin, S.H. |Penulis adalah Analis Hukum Tata Negara, Sedang Studi di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung | AI)


Pemilu dan Konsolidasi Demokrasi

PEMILU sebagai instrumen demokrasi bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Bahkan rezim otokratis semisal Orde Baru pun tetap melaksanakan Pemilu secara berkala sebagai wujud pelaksanaan demokrasi. Kendatipun pelaksanaannya jauh dari kaidah demokrasi, namun pemilu telah menjadi instrumen terpenting yang membentuk keyakinan dan tradisi politik dalam kehidupan demokrasi. Tak heran, selepas Orde Baru rakyat tetap menunjukkan sikap antusiasnya dalam mengikuti Pemilu.

Menurut Samuel P. Huntington dalam buku The Third Wave of Democratization in The Late Twentieth Century (1993). Secara teoretis keyakinan akan pemilu sebagai instrumen terpenting bagi demokratisasi memperoleh legitimasi yang kuat. Mendefinisikan demokrasi secara prosedural dengan pemilu sebagai esensi demokrasi. Akan tetapi, Huntington segera menambahkan bahwa sistem demokrasi tak cukup hanya dengan pemilu. Pemilu yang bebas, jujur, dan kompetitif hanya dimungkinkan bila terdapat kebebasan berpendapat, berkumpul, dan kebebasan pers, serta jika kandidat dan partai oposisi dapat melakukan kritik terhadap penguasa tanpa ketakutan akan terjadinya pembalasan.

Dengan demikian, pemilu bukan segala-galanya dalam demokrasi. Larry Diamond membedakan antara electoral democracy dan liberal democracy. Demokrasi elektoral adalah demokrasi prosedural sebagaimana yang dimaksudkan oleh Huntington. demokrasi liberal, yakni demokrasi yang berakar pada gagasan liberal yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM.

Mengamati proses demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia, negara ini masih mengalami berbagai kemandekan dilapangan menuju pintu demokrasi. Kemandekan ini lebih disebabkan oleh kegagalan negara dalam membawa pesan reformasi yang diangungkan oleh gerakan mahasiswa pada 1998. Sehingga proses transisi demokrasi yang sedang berlangsung telah gagal memetik keuntungan dari pesan ”reformasi” dan kemudian mengantarkan kinerja pemerintah yang tidak efisien, korup, rabun, tidak bertanggung jawab, penengakan hukum masih tebang pilih, pengabaian dan pembiaran terjadinya pelanggaran HAM dan didominasi oleh kepentingan jangka pendek.

Situasi ini melahirkan kekhawatiran akan terjadinya arus balik, dimana akan lahirnya kepimpinan yang anti terhadap penegakan hukum, HAM dan Demokrasi. Dalam konteks inilah proses konsolidasi demokrasi menjadi bagian yang sangat penting dilakukan di Indonesia untuk mencegah lahirnya kepemimpinan yang dapat menyebabkan mandeknya demokrasi. Esensi dari konsolidasi demokrasi adalah legitimasi: pertumbuhan keyakinan di antara para elite dan warga negara dari partai politik utama, kepentingan, etnisitas, dan ideologi. Bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik dan bahwa aturan – aturan hukum dapat benar – benar menjadi dewa bagi masyarakat, dan tidak menjadikan demokrasi sebagai satu – satunya aturan main untuk melegitimasi kekuasan.

Dalam negara transisi demokrasi, masyarakat terus di dorong untuk menerapkan sistem demokrasi dalam setiap ranah kehidupannya. Bagian yang sangat penting yang harus di ingat adalah peran masyarakat dalam menerapkan demokrasi sangat ditentukan oleh konteks politik yang lebih besar yang dimainkan oleh negara. Sehingga tututan penerapan demokrasi didalam kehidupan masyarakat sering sekali cita – cita demokrasi versi masyarakat dengan demokrasi yang dicita – citakan oleh negara sering berlawanan, yang kemudian memunculkan berbagai pergesekan dilapangan.

Apa yang kemudian yang harus dilakukan oleh masyarakat bila kondisi demokrasi berlawan? Bila arah politik di Indonesia berubah dan mengantarkan proses demokrasi terkekang seperti yang terjadi pada tahun 1990-an. Maka masyarakat sebagai sebuah dunia yang mempunyai kekuatan sosial yang otonom yang didalamnya warga negara dapat menekan otoritarian untuk berubah, melindungi diri mereka sendiri dari tirani dan mendemokratisasikan dari bawah.

Seperti yang kita ketahui bersama, pemilu dinegara kita yang diikuti 44 partai politik, tidak ada satu pun yang mempunyai agenda konsolidasi demokrasi dalam bidang, pendidikan politik bagi warga negara (citizens) sebagai sebuah upaya melakukan konsolidasi politik dari bawah, bukan konsolidasi politik dari atas kebawah. Karena proses demokrasi atau konsolidasi demokrasi telah muncul puluhan tahun ditenggah masyarakat, walaupun tidak kita sadari. Agenda konsolidasi sering terjadi selama reformasi lebih pada tatanan konsolidasi partai politik, terutama partai-partai pemenang tampaknya lebih tertarik merundingkan soal kekuasaan dari pada memikirkan langkah-langkah strategis apa yang bisa dirancang agar kita dapat keluar dari transisi menuju konsolidasi demokrasi yang mantap.

Dalam konteks demokrasi transisi, warga negara dan kalangan oraganisasi masyarakat sipil (OMS) adalah kekuatan yang sangat besar dalam mengontrol berjalan atau tidaknya proses demokrasi tersebut. Kondisi yang terjadi dilapangan saat ini adalah ketika kalangan OMS sebagai jembatan antara warga negara (citizens) dengan pemerintah, memilih untuk masuk dalam politik. Langkah politik yang diambil oleh kalangan OMS, telah mengantarkan kekosongan wilayah kontrol semakin lemah. Ketika kalangan OMS atau bahasa lain civil society organization (CSO) masuk dalam ranah politik praktis dan kemudian meninggalkan kontrol demokrasi transisi dan masyarakat yang ditinggalkan belum siap mengambil tongkat estapet, maka proses ini akan memberikan dampak yang sangat besar bagi pemajuan demokrasi itu sendiri. Secara harfiah, demokrasi mensyaratkan adanya pengakuan kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan civil society sebagai kekuatan penekan dan pengimbang kekuasaan dalam negara.

Wajah Baru Demokrasi

Pemilu menjadi tolok ukur berjalan atau tidaknya sistem demokrasi, apakah sistem demokrasi masih mengunakan gaya lama atau mengalami perubahan kearah yang lebih baik pada tahun – tahun sebelumnya. Kehadiran sejumlah partai politik yang baru di Indonesia dan kemudian lahirnya sejumlah partai politik lokal di Aceh. telah menunjukkan proses demokrasi sedang berjalan kearah yang lebih baik. Pada sisi lain, munculnya beberapa partai lokal di Aceh telah menempatkan konsolidasi kelompok – kelompok yang dulu berjuang diluar parlement telah memberanikan diri untuk mencetuskan kederaan politik sendiri dan begitu juga dengan munculnya Partai Aceh yang didirikan oleh kalangan petinggi GAM dan mendapat dukungan dari masyarakat di Aceh, sebuah Partai lokal yang berazaskan UUD 1945, Pancasila dan dibawah konstitusi NKRI. Sisi lain, perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005 telah mengantarkan lahirnya sejumlah parlok di Aceh dan menunjukkan ada kemajuan baru dalam penataan demokrasi di Indonesia. Namun bagaimana, kehadiran sejumlah parlok di Aceh dapat memperkuat konsolidasi politik sebagai wadah mensejahterakan rakyat dari keterpurukan.

Berbagai macam wajah baru bermunculan menjelang pemilu 2009 dan berbagai rumusan program pun tidak terus bersaing dengan lawan politik. Yang menjadi pertanyaan, sejuah mana rakyat mengerti dan paham bahasa – bahasa yang ditulis dalam program politik tersebut? Secara singkat terdapat dua bagain yang harus dilihat menyangkut kehadiran parpol, pertama munculnya berbagai partai poitik di Indonesia, nasional maupun lokal telah mengantarkan rakyat pada pilihan politik, parpol yang mana benar – benar memperjuangkan aspirasi rakyat dan parpol mana yang hanya menjadikan rakyat sebagai alat merebut kekuasan dan kedua secara tidak langsung kehadiran parpol telah memecahkan konsentrasi masyarakat terhadap beberapa partai poliitk, sebelumnya masyarakat hanya konsentrasi kepada beberapa parpol, pada pemilu 2009 masyarakat terpecahkan dalam banyak parpol. Namun tetap harus di akui juga, puluhan partai politik di Indonesia hanya merupakan sepertiga bagian baru dirasakan oleh masyarakat. Kalangan masyarakat melihat tidak ada kemajuan besar yang diberikan oleh wakil – wakil dari rakyat yang saat ini duduk diparlement. Sebelumnya rakyat melihat partai politik dapat memberikan kontribusi dan wakil – wakil rakyat yang dipilih dapat memperjuangkan aspirasi mereka dan satu – satunya penyalur aspirasi rakyat, ternyata penilaian tersebut keliru.

Bagaimana dengan partai politik lokal di Aceh? Dukungan masyarakat kepada partai politik lokal hampir tidak ada perbedaan dengan dukungan masyarakat Aceh terhadap partai politik berbasis nasional, dimana ada parlok yang berbasis massa tradisionil, parlok yang berbasis massa modern. Namun terdapat juga pengabungan massa parlok yang tradiosionil dengan massa yang modern, untuk memberikan sebuah jawab sejauh mana besarnya dukungan terhadap masing – masing parlok sangat ditentukan dengan data survei, namun penulis sangat yakin. Bahwa masyarakat memberikan harapan besar dan rakyat mempunyai impian besar terhadap partai lokal, dengan asumsi, partai lokal bukan dibentuk di jakarta, yang harus di ingat adalah munculnya partai poliitk lokal di Aceh tidak terlepas dari momentum politik besar setelah konflik 30 tahun. Namun bagaimana momentum kemenanga masing – masing partai lokal sangat ditentukan oleh partai politik lokal itu sendiri dan kemudian bagaimana parlok dengan berbagai latar belakang visi – misi ini dapat melakukan agenda – agenda konsolidasi menju demokrasi dan sebagai upaya mensejahterakan rakyat Aceh. Bagian lain yang sangat penting, parlok juga dituntut untuk terus melakukan penguatan kelompok masyarakat, baik yang berbasis etnis, agama, atau bahkan kewilayahan, serta berbagai identitas politik lainnya, seperti gender dan bahasa menjadi agenda yang lebih penting dari sekadar pendirian partai politik atau pemilu itu sendiri.

Untuk melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut, Diamond mengajukan beberapa agenda: 1) Memperluas akses warga negara terhadap sistem peradilan dan membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang profesional dan independen; 4) Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah, sehingga demokrasi dapat lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah suatu negara; 5) Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat—bukan hanya kepentingan personal para pemimpin dan lingkungan para politisi belaka; 6) Membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara; 7) Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan, program pendidikan warga yang baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi, dan kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis (2000: 24) []
Hayatullah Khumaini | Praktisi Hukum di JKFarza LawFirm | WWW.ACEHINSTITUTE.ORG 100309