Wednesday, December 16, 2009

Menuju Kepemimpinan Transformasional


Salah satu parameter untuk mengukur kualitas demokratisasi adalah sirkulasi kepemimpinan politik yang lancar dengan sokongan kaderisasi kepemimpinan yang melembaga. Kontestasi politik pada sistem demokrasi liberal semestinya dikawal oleh ketersediaan jalur-jalur kaderisasi kepemimpinan yang mampu memunculkan kader-kader pemimpin politik yang handal.

Road To Malaysia



Thursday, November 26, 2009

Membedah Akar Kepemimpinan

Oleh : Romi Satria Wahono

Remember the difference between a boss and a leader:

a boss says, “Go!”, but a leader says, “Let’s Go!”

(EM Kelly)

Ketika seorang pemimpin telah ditakdirkan lahir di dunia. Dan kita, mau tidak mau, suka atau tidak suka, akan masuk dalam suratan pergiliran untuk menjadi seorang pemimpin. Tiada yang bisa kita lakukan kecuali mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu dan kecakapan dalam pemegangan amanah. Sehingga ketika masa itu datang, kita tidak menjadi pemimpin yang jahil apalagi dhalim dikarenakan ketidakmampuan kita (QS 33-72).

Mari kita berangkat memulai diskusi dan pemikiran ini dengan sebuah definisi dan konsepsi. Sejak era 20 tahun yang lalu, telah banyak definisi kepemimpinan yang disampaikan oleh para pakar (Anderson-1988, Sarros-1996, Robbins-2002). Dari perseteruan yang ada, kita bisa menarik akar definisi kepemimpinan sebagai suatu proses dan perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat in dividu dan organisasi.

Sedangkan aliran tema yang didiskusikan dan diteliti berkenaan dengan kepemimpinan, kemudian tercabang menjadi tiga:

1. Yang mempelajari tentang perilaku, skill, watak dan sifat pemimpin

2. Yang mempelajari tentang hubungan antara seorang pemimpin dan pengikut (follower)

3. Yang mempelajari tentang bagaimana pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.

Lalu apa hubungan kepemimpinan (leadership) dengan manajemen (management). Keduanya memiliki kemiripan, meskipun sebenarnya sangat berbeda dalam konsep. Menurut Bennis and Nanus (1995), konsepsi pemimpin lebih ke arah mengerjakan yang benar, sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat atau terkenal dengan sebuah ungkapan managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing. Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin. Ketika beberapa logika dasar definisi kepemimpinan diatas kita turunkan lebih dalam, maka akan kita dapatkan implikasi mendasar dan tatanan menarik dari sebuah konsep kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah Fenomena Pemimpin, Pengikut dan Situasi

Suatu kepemimpinan membawa arti adanya fenomena kompleks yang melibatkan pemimpin, pengikut, dan situasi. Tiga elemen ini saling berinteraksi dalam hubungan saling membutuhkan dengan kapasitasnya masing-masing: pemimpin (personalitas, posisi, kepakaran, dsb), pengikut (kepercayaan, kepatuhan, pemikiran kritis, dsb), dan situasi (kerja, tekanan/stress, lingkungan, dsb). Kita bisa memahami proses kepemimpinan dengan baik ketika kita tidak hanya melihat pada sosok seorang pemimpin, tetapi juga pengikut, bagaimana pemimpin dan pengikut saling mempengaruhi, dan juga bagaimana situasi bisa mempengaruhi kemampuan dan tingkah laku pemimpin dan pengikut.

Hakekat terpenting dari framework ini adalah bagaimana menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah permainan orkestra yang merdu, sebagai hasil dari interaksi sinergis dari pemimpin, pengikut dan situasi. Mungkin seorang boss mengatakan “Go!” kepada anak buahnya, tapi seorang pemimpin sejati harus berani membawa dirinya dalam pergerakan dengan mengatakan “Let’s Go!”.

Kepemimpinan adalah Ilmu dan Seni

Menjadi pemimpin bukanlah hanya monopoli seorang mahasiswa fakultas pendidikan kepemimpinan, dan bukan juga monopoli seorang yang kebetulan banyak ketiban amanah menjadi pemimpin. Untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif (effective leadership), kepemimpinan harus dipelajari sebagai ilmu dan dipraktekkan sebagai sebuah seni yang indah. Pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan pengetahuannya bisa berimprovisasi menggunakan (sumber) kekuasaannya untuk menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Tiada kepemimpinan tanpa pemahaman ilmu dan keindahan seni.

Kepemimpinan adalah Proses Bukan Posisi

Kepemimpinan adalah sebuah proses pembelajaran dan praktek, dia bukanlah sebuah posisi ataupun jabatan yang diberikan. Jabatan bisa kita dapatkan karena uang, hubungan kekeluargaan, ataupun kolusi (KKN). Tidak demikian dengan sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sebuah proses yang akan membentuk seorang pemimpin dengan karakter dan watak jujur terhadap diri sendiri (integrity), bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication). Juga sebuah proses yang akan membentuk seorang pengikut (follower) yang didalam kepatuhannya kepada pemimpin, tetapi memiliki pemikiran kritis, inovatif, dan jiwa independen.

Kepemimpinan adalah Rasional dan Emosional

Kepemimpinan adalah aksi dan pengaruh yang berbasis ke logika dan juga inspirasi. Pemimpin bukanlah sosok commander data dalam star trek, yang selalu merespon permasalahan dengan prediski logika dan data. Tiap-tiap manusia memiliki sisi rasional dan emosional yang membawa implikasi terjadinya perbedaan pemikiran, feelings, pengharapan, mimpi, kebutuhan, ketakutan, ambisi dan tujuan. Maka konsekuensinya, seorang pemimpin dituntut untuk cerdik menggunakan pendekatan rasional dan emosional untuk mempengaruhi pengikut, tentu dengan bobot yang adil dan disesuaikan dengan keadaan. Wallahualam bisshawab

Penulis adalah ketua umum PPI Jepang.


Idul Qurban dan Keshalehan Sosial

oleh : Achmad Rozi El Eroy

Bulan Dzulhijjah merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji. Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah Subhanahu Wata’ala

Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail. Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani. Disamping itu, Penyampaian qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, adalah peristiwa yang menunjukkan makna tentang larangan bagi kita untuk menghamba kepada insting-insting primitif kebendaan, larut dalam bujuk rayu materialism hedonistik yang serba palsu dan menjanjikan kesenangan sesat dan artificial
penuh rekayasa. Qurban adalah peristiwa yang melukiskan pergulatan iman Nabi
Ibrahim, antara memilih Allah atau Ismail, anaknya sendiri yang kelahirannya
telah didambakan selama seratus tahun.

di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan. Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha. Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan. (Wallahu’alam Bishowaf)



[1] Ketua Pimpinan Pusat Kader Muda Banten & Direktur Eksekutif The Sultan Center

Tuesday, November 3, 2009

KRC dan Politik Pencitraan

Oleh : Asep Koswara, M.Si[1]

William Liddle, ahli sosiologi politik (social political scientist) dari Ohio University, pernah meramalkan bahwa era politik sekarang adalah era politik ketokohan. Tidak lagi diramaikan oleh pertarungan ideologi atau politik aliran, seperti diasumsikan oleh teori antropolog terkenal Clifford Geertz (1964), (Kompas, 7 Juli 2009).

Ramalan diatas dikukuhkan oleh Sejumlah pengamat dan ahli komunikasi massa yang meyakini bahwa kemenangan SBY dalam Pilpres 2004 dan 2009, tak lepas dari suksesnya tim kampanye SBY yang berhasil membangun dan mempertahankan citra SBY sebagai figur pemimpin yang ”santun”, ”berwibawa”, ”menyejukan”, ”tokoh penuh pengharapan” atau ”pengayom rakyat kecil”.

Fenomena SBY dengan politik pencitraannya, telah menjadi inspirasi dan refrensi Iman Aryadi sebagai kadidat walikota Cilegon dalam perebutan kekuasaan di pilkada mendatang.
Hal itu dapat dilihat dari pasca deklarasi pencalolannya di musda golkar tahun lalu, politik pencitraan terus dijalankan oleh Iman Aryadi. Meskipun waktu itu golkar mengalami gempa politik yang melahirkan konflik antara Syam Rahmat dan Ketua DPD Golkar Cilegon.

Kemudian Iman Aryadi melakukan langkah-langkah politik “simbolis” yang mencitrakan dirinya sebagai tokoh pemimpin muda masa depan yang “cerdas”, “ramah”, pro pembangunan dan dekat dengan ulama. Pencitraan itu bertujuan untuk menghasilkan persepsi masyarakat Cilegon bahwa Iman Aryadi adalah satu-satunya Kandidat Walikota Cilegon masa depan.

KRC dan Pencitraan Rasional
Kongres Rakyat Cilegon yang diselenggrakan pada tanggal 28 dan 29 oktober merupakan media pencitraan Iman Aryadi sebagai Calon walikota masa depan yang merefresentasikan kebangkitan kepemimpinan muda di Cilegon. Dikontruksi untuk menjalin komunikasi politik atau hubungan antara seorang aktor politik dengan calon pemilih.

Kegiatan ini diciptakan untuk menjalin hubungan transaksional yang rasional. Asumsinya tergambar dari agenda acara kongres, yang menghadirkan narasumber top nasional, Kemudian acara intinya adalah sesi pemaparan visi dan misi calon walikota Cilegon. Tentunya tidak dapat disangkal lagi bahwa KRC sebagai media pencitraan seorang calon walikota yang ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat Cilegon khusunya, dan Nasional pada umumnya bahwa dirinya merupakan calon pemimpin masa depan yang cerdas.

Program ini dirangkai secara terencana dan terarah untuk pemilih rasional yang dianggapnya tidak begitu saja percaya terhadap program, janji-janji seorang kandidat atau iming-iming materi yang ditawarkan. Karena dalam segmen pemilih rasional program yang tidak rasional, atau terkesan hanya untuk menyenangkan pemilih, akan ditolak secara mentah-mentah.

Bagi pemilih rasional dukungan politik yang diberikan pemilih kepada kandidat semata-mata karena kandidat dinilai memiliki kompetensi dan kapasitas sebagai aktor politik. Karena itu politik pencitraan seorang aktor politik sangat tergantung dari sejauhmana visi dan misi politik yang disusun dapat meyakinkan pemilih.

Halalnya Politik Pencitraan

Dalam literatur ilmu politik, pencitraan politik atau politik pencitraan sangat “dihalalkan”, dan lumrah adanya. Apalagi dalam konteks reformasi dan demokrasi pencitraan politik telah menjadi bagian yang tidak tak terpisahkan dari pentas politik negeri ini. Menurut para ahli marketing politik citra seseorang dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat melalui proses pencitraan.

Oleh karenanya dalam konteks ini, pencitraan adalah sesuatu yang wajar bahkan mungkin harus dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan, tetapi setelah itu yang paling terpenting adalah bagaimana menunjukkan kualitas yang sesungguhnya sehingga yang dihargai adalah kualitas dan integritas pribadi yang berprestasi.

Perlu ditegaskan bahwa politik pencitraan sangat tidak mungkin dipisahkan dari praktek politik dalam pilkada untuk memilih kandidat Walikota Cilegon 2010 mendatang. Namun benang merahnya adalah pencitraan yang dikontruksi oleh kandidat, dilakukan dengan bertolak pada prinsip “napak kebumi” bukan “menggantung ke langit”. Artinya para calon walikota Cilegon mendatang diharapkan lebih bijak melihat rakyat sebagai penerima pesan, simbol, dan program yang dicitrakan oleh Cawalkot. Bukan semata-mata dipandang sebagai entitas politik yang bisa di eksploitasi seperti kerbau yang di cocok hidungnya. Rakyat Cilegon sudah pintar dan mampu untuk berfikir rasional. Meskipun tidak sedikit pula yang masih akrab dengan simbol kemapanan, agama, dan atau nilai-nilai primordial lainnya.

Oleh karenanya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dari calon walikota dan tim suksesnya, Tidak ada salahnya jika setiap politik pencitraan yang dilakukan bermuara guna meciptakan transaksi politik dengan rakyat Cilegon secara rasional. Bukan sebaliknya mengkontruksi politik pencitraan negatif dengan menjual dan membodohi rakyat dengan janji-janji irasonal dan mengekploitasi sisi emosional rakyat.

Kesimpulannya adalah politik pencitraan adalah sangat boleh karena pada dasarnya politik pencitraan bertujuan membangun dan mecerminkan realitas keseharian sang kandidat. Jika memang dalam kesehariannya kandidat adalah tokoh yang cerdas, pro pembangunan, religius maka selayaknya tim sukses memperkuat dan meneguhkan citra kandidat dengan berbagai media, termasuk Kongres rakyat Cilegon (KRC).

Sebagai penutup mari bangun politik pencitraan di pilkada mendatang dengan cerdas dan santun. Untuk mendewasakan masyarakat, dan bukan sebaliknya mengakali atau mengiconi masyarakat. Wassalam

Top of Form

Bottom of Form



[1] Penulis adalah Direktur Kajian dan Strategi Politik The SULTAN CENTER (TSC) Banten

Sunday, October 11, 2009

Perubahan Sosial

PENDAHULUAN

Masyarakat dan kebudayaan manusia di manapun selalu berada dalam keadaan berubah. Pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan primitif, yang hidup terisolasi jauh dari berbagai jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain di luar dunianya sendiri, perubahan yang terjadi dalam keadaan lambat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif tersebut, biasanya telah terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri, yaitu karena perubahan dalam hal jumlah dan komposisi penduduknya dan karena perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.

Sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang hidupnya tidak terisolasi dari atau yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif seperti tersebut di atas. Perubahan yang terjadi secara lebih cepat tersebut, disamping karena faktor-faktor perubahan jumlah dan komposisi penduduk serta perubahan lingkungan hidup juga telah disebabkan oleh adanya difusi atau adanya penyebaran kebudayaan lain ke dalam masyarakat yang bersangkutan, penemuan-penemuan baru khususnya penemuan-penemuan teknologi dan inovasi.

Uraian berikut ini berusaha untuk menjelaskan hakekat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, implikasinya terhadap ketertiban sosial dan bagaimana warga masyarakat yang bersangkutan berpartisipasi di dalamnya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai perubahan sosial dan perubahan kebudayaan, faktor-faktor pendorong terwujudnya perubahan sosial manusia, proses penerimaan dan penolakan terhadap pembaruan yang terjadi dalam masyarakat oleh warga yang bersangkutan, dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang berisikan antara lain sebuah kerangka dasar berkenaan dengan syarat-syarat suatu unsur baru dapat diterima dalam suatu masyarakat.

PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN

Ada perbedaan pengertian antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup, sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau oleh sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, yang antara lain mencakup, aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa.

Walaupun perubahan sosial dibedakan dari perubahan kebudayaan, tetapi pembahasan-pembahasan mengenai perubahan sosial tidak akan dapat mencapai suatu pengertian yang benar tanpa harus juga mengkaitkannya dengan perubahan kebudayaan yang terwujud dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal yang sama juga berlaku dalam pembahasan-pembahasan mengenai perubahan kebudayaan.

Salah satu bentuk proses perubahan sosial yang terwujud dalam masyarakat dengan kebudayaan primitif maupun dengan kebudayaan yang kompleks atau maju, adalah proses imitasi yang dilakukan oleh generasi yang lebih muda terhadap kebudayaan dari generasi yang lebih tua. Proses imitasi dilakukan dengan belajar meniru, yang belum tentu atau bahkan yang kebanyakan tidak sempurna, dari berbagai pola tindakan generasi orang tua. Sehingga hasilnya adalah adanya perubahan yang berjalan secara lambat dan teratur, dan yang baru terasa perubahannya setelah dilihat dalam suatu jangka waktu yang panjang dari proses pewarisan kebudayaan tersebut.

Proses lain yang biasanya juga berjalan secara lambat dan teratur, yang pada umumnya berlaku dalam masyarakat dengan kebudayaan primitif adalah hasil suatu proses alamiah dimana jumlah dan komposisi dari generasi anak berbeda dengan jumlah dan komposisi penduduk generasi tua dari masyarakat yang bersangkutan. Sehingga, secara lambat dan juga biasanya tanpa disadari, berbagai pola kelakuan, norma-norma, nilai-nilai, dan pranata-pranata telah berubah karena sebagian dari unsur-unsur kebudayaan dan struktur sosial yang telah berlaku harus dirubah disesuaikan dengan jumlah dan komposisi dari penduduk yang menjadi warga dari masyarakat tersebut.

Sedangkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang sudah maju atau kompleks kebudayaannya daripada masyarakat dengan kebudayaan primitif yang terisolasi kehidupannya, biasanya terwujud dengan melalui proses penemuan (discovery), penciptaan bentuk baru (invention), dan melalui proses difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan). Dengan melalui proses-proses tersebut di atas, perubahan sosial biasanya berjalan dengan cepat. Sehingga, berbagai nilai, norma, dan pola-pola hubungan sosial yang tadinya berlaku pada generasi sebelumnya dalam masyarakat tersebut bisa tidak berlaku lagi dan diganti oleh yang lainnya.

Penemuan (discovery) adalah suatu bentuk penemuan baru yang berupa persepsi mengenai hakekat sesuatu gejala atau hakekat mengenai hubungan antara dua gejala atau lebih. Suatu penemuan (discovery) mengenai bentuk bumi yang bulat dan bukannya datar, telah menyebabkan adanya berbagai kegiatan yang berkenaan dengan itu yang mewujudkan adanya perubahan sosial pada masyarakat-masyarakat di Eropa Barat pada abad ke-16. Perubahan sosial tersebut telah terjadi karena adanya usaha-usaha untuk melayari bumi tanpa harus takut untuk sampai ke ujung dunia yang tidak berujung pangkal, sebagaimana disangkakan semula, guna mencari rempah-rempah dan benda-benda berharga lainnya.

Sedangkan ciptaan baru (invention) adalah suatu pembuatan bentuk baru yang berupa benda atau pengetahuan yang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang didasarkan atas pengkombinasian dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala. Contohnya, sepotong kayu yang berbentuk seperti tongkat dan sebuah batu hitam adalah dua benda alamiah. Kedua benda ini kalau dihubungkan satu dengan lainnya dapat menjadi sebuah tugal atau alat untuk melubangi tanah guna menaruh biji-bijian yang ditanam di ladang. Caranya adalah dengan pengkombinasian pengetahuan mengenai perlunya ujung tongkat yang tajam untuk melubangi tanah dan batu hitam yang keras permukaannya, dan bahwa penajaman ujung kayu dapat dilakukan dengan cara mengasahkannya pada permukaan benda yang keras dan kasar, dan bahwa batu hitam yang keras dan kasar tersebut dapat digunakan untuk mengasah tongkat kayu sehingga tajam ujungnya; dan menghasilkan alat yang namanya tugal.

Contoh yang lain lagi dari penciptaan baru adalah ditemukannya listrik, yang bersumber pada pengetahuan bahwa gesekan menimbulkan listrik, dan bahwa benda-benda tertentu dapat menghasilkan listrik lebih banyak bila digesekkan satu dengan lainnya, dan bahwa diperlukan tehnik-tehnik penggesekkan tertentu untuk menghasilkan listrik, dan benda-benda tertentu yang dapat menerima arus listrik tanpa membahayakan keselamatan jiwa dan raga manusia. Kombinasi dari pengetahuan ini menghasilkan serentetan penemuan baru, yaitu: alat-alat penghasil tenaga listrik, benda-benda atau alat-alat yang dapat menyalurkan arus listrik, dan alat-alat yang dapat memanfaatkan arus tenaga listrik tersebut sebagai sumber energi sehingga dapat berguna bagi manusia.

Dengan adanya penciptaan-penciptaan baru tersebut, berbagai sarana perlu juga dipikirkan untuk diciptakan guna mendukung bermanfaatnya hasil-hasil ciptaan baru; sehingga serentetan ciptaan baru juga dilahirkan, dan dengan demikian sejumlah alat-alat hasil ciptaan baru tersebut telah mengambil alih peranan dari tenaga kasar manusia atau mengambil alih fungsi-fungsi anggota-anggota tubuh manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.

Tetapi penemuan baru maupun penciptaan baru tidaklah dapat begitu saja merubah kehidupan sosial manusia tanpa melalui suatu proses difusi. Difusi adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari warga masyarakat yang satu ke warga yang lain dari masyarakat yang bersangkutan. Persebaran unsur kebudayaan adalah suatu proses, yaitu proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan tersebut oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Suatu unsur kebudayaan baru, yang berupa penciptaan ataupun penemuan baru, tidak akan dapat digunakan dan mempunyai fungsi merubah kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan tanpa melalui proses difusi. Suatu unsur baru dapat saja ditolak oleh warga masyarakat yang bersangkutan sehingga unsur kebudayaan baru tersebut tidak mempunyai arti apapun dalam kehidupan sosial. Contohnya adalah penolakan cara mengerjakan sawah secara lebih intensif dengan menggunakan mesin traktor yang dilakukan oleh para petani di pulau Bali.

Para petani di Bali menganggap bahwa cara bertani dengan menggunakan traktor tidak menguntungkan, karena biaya perawatannya yang cukup mahal dari mereka, dan juga karena traktor bisa rusak dan tidak bisa digunakan lagi, serta traktor tidak dapat beranak. Sehingga mereka menganggap bahwa mengerjakan sawah dengan menggunakan traktor lebih banyak ruginya daripada untungnya; khususnya kalau mereka bandingkan dengan penggunaan sapi dalam pertanian sawah. Menurut mereka, sapi tidak merugikan dan bahkan menguntungkan. Biaya pemeliharaannya murah, tidak pernah tidak berguna, dapat beranak, dan kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk.

Dari contoh penolakkan terhadap pemasukkan traktor untuk digunakan sebagai alat meningkatkan hasil pertanian sawah, nampah bahwa arti kegunaan traktor lebih merugikan daripada menguntungkan dibandingkan dengan arti kegunaan sapi, sehingga traktor bagi petani Bali memberikan pengertian yang dikaitkan dengan sesuatu yang merugikan atau negatif. Fungsi traktor dalam kehidupan sosial dan khususnya untuk kegiatan-kegiatan pertanian sawah harus didukung oleh sejumlah unsur yang harus mendukung fungsi tersebut, antara lain, onderdil atau spare parts untuk reparasi, montir-montir yang dapat mereparasi atau memelihara kelancaran mesinnya, bensin atau minyak solar yang digunakan untuk menggerakkan mesinnya, pompa bensin/minyak solar, tempat menyimpan bensin/minyak solar yang aman dari bahaya kebakaran. Kesemuanya ini terasa lebih ruwet dan mahal dibandingkan dengan penggunaan/pemeliharaan sapi.

Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya. Contohnya adalah hubungan antara masyarakat kota dengan masyarakat desa. Lebih banyak unsur-unsur kebudayaan kota yang diambil alih dan diterima untuk dijadikan pegangan dalam berbagai kehidupan sosial warga desa daripada unsur-unsur kebudayaan desa yang dijadikan pegangan bagi pengaturan kehidupan sosial warga masyarakat kota.

Perubahan-perubahan yang terwujud karena inovasi (inovasi adalah istilah yang dipakai untuk pengertian baik untuk discovery maupun untuk invention) dan karena difusi dari inovasi telah dipercepat lagi prosesnya oleh kekuatan-kekuatan teknologi, industrialisasi, dan urbanisasi. Ketiga-tiganya secara bersama-sama menghasilkan proses modernisasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Teknologi modern, secara disadari atau tidak oleh para warga masyarakat yang bersangkutan, telah menciptakan keinginan- keinginan dan impian-impian baru berkenaan dengan kehidupan yang ingin dijalani (yaitu berupa memperoleh berbagai peralatan yang serba modern dan luks secara lebih banyak dan lebih baik daripada yang sudah dipunyai, kondisi kehidupan yang lebih nyaman dan nikmat), dan memberikan jalan-jalan yang dapat memungkinkan dilaksanakannya usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.

Teknologi secara langsung berkaitan dengan industrialisasi. Industrialisasi dan mesinisasi cenderung merubah dasar-dasar atau hakekat pengertian kebendaan atau materi yang ada dalam masyarakat, dan secara tidak langsung mempercepat proses perubahan pengorganisasian berbagai kegiatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dari contoh pemasukkan traktor di pulau Bali tersebut di atas, jika sekiranya traktor tersebar di pedesaan dan mekanisasi atau mesinisasi pertanian berjalan sebagaimana yang direncanakan, maka berbagai sarana harus disediakan untuk menunjang unsur traktor tersebut. Sarana-sarana ini antara lain, bahan bakar untuk traktor, spare parts, bengkel-bengkel, montir-montir dan disamping itu juga matinya usaha pemeliharaan sapi, matinya kegiatan gotong royong dalam pertanian, dan mengganggunya buruh-buruh tani yang biasa menyediakan tenaga kasar mereka di bidang pertanian.

Teknologi dan industrialisasi langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap terwujudnya proses urbanisasi. Urbanisasi yang disatu pihak dilihat sebagai cara hidup kota dan dipihak yang lain dilihat sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh adanya kemajuan teknologi dan industrialisasi. Dari contoh orang Bali tersebut di atas, para buruh tani yang telah tidak mempunyai pekerjaan di desa terpaksa harus meninggalkan desanya mencari pekerjaan di tempat-tempat dimana kesempatan untuk bekerja masih ada. Kesempatan bekerja yang kemungkinan terbesar masih ada adalah di kota, karena di kota mata pencaharian tidak didasarkan pada mengolah lingkungan alam untuk memperoleh bahan mentah, tetapi berdasarkan atas jasa. Perubahan mata pencaharian dari mengolah alam kepada jasa dimungkinkan oleh tingkat perkembangan teknologi dan industrialisasi.

Proses urbanisasi juga menyebabkan adanya percepatan proses perubahan dalam masyarakat, baik yang ditinggalkan maupun yang didatangi, yang juga mewujudkan adanya proses penataan kehidupan sosial kembali oleh mereka yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Orang-orang desa yang datang ke kota yang biasanya hidup dalam berbagai peraturan adat yang ketat berkenaan dengan masalah moral, dapat berubah dan menerima norma-norma yang longgar berkenaan dengan masalah moral ini mengakibatkan adanya berbagai masalah keluarga dan sosial di antara mereka.

PENERIMAAN TERHADAP PERUBAHAN

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya sesuatu unsur kebudayaan baru atau asing dalam suatu masyarakat yang biasanya cukup berperan adalah:

1. Terbiasanya masyarakat tersebut mempunyai hubungan/kontak kebudayaan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut, yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Sebuah masyarakat yang terbuka bagi hubungan-hubungan dengan orang yang beraneka ragam kebudayaannya, cenderung menghasilkan warga masyarakat yang bersikap terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan asing. Sikap mudah menerima kebudayaan asing lebih-lebih lagi nampak menonjol kalau masyarakat tersebut menekankan pada ide bahwa kemajuan dapat dicapai dengan adanya sesuatu yang baru, yaitu baik yang datang dan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, maupun yang berasal dari kebudayaan yang datang dari luar.

2. Kalau pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam kebudayaan tersebut ditentukan oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama; dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang ada dalam masyarakat tersebut; maka penerimaan unsur-unsur kebudayaan yang baru atau asing selalu mengalami kelambatan karena harus di sensor dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan pada ajaran agama yang berlaku. Dengan demikian, suatu unsur kebudayaan baru akan dapat diterima jika unsur kebudayaan yang baru tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama yang berlaku, dan karenanya tidak akan merusak pranata-pranata yang sudah ada.

3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan unsur kebudayaan baru. Suatu struktur sosial yang didasarkan atas sistem otoriter akan sukar untuk dapat menerima suatu unsur kebudayaan baru, kecuali kalau unsur kebudayaan baru tadi secara langsung atau tidak langsung dirasakan oleh rezim yang berkuasa sebagai sesuatu yang menguntungkan mereka.

4. Suatu unsur kebudayaan baru dengan lebih mudah diterima oleh suatu masyarakat kalau sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut. Di pedesaan di pulau Jawa, adanya sepeda sebagai alat pengangkut dapat menjadi landasan memudahkan di terimanya sepeda motor di daerah pedesaan di Jawa; dan memang dalam kenyataan demikian.

5. Sebuah unsur baru yang mempunyai skala kegiatan yang terbatas dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan, dibandingkan dengan sesuatu unsur kebudayaan yang mempunyai skala luas dan yang sukar secara konkrit dibuktikan kegunaannya. Contohnya adalah diterimanya radio transistor dengan mudah oleh warga masyarakat Indonesia, dan bahkan dari golongan berpenghasilan rendah merupakan benda yang biasa dipunyai.

Dari beberapa pokok pembicaraan yang dikemukakan di atas berkenaan dengan penerimaan unsur-unsur baru, dapat dikatakan bahwa inovasi bisa terdapat karena: 1) inovasi tersebut bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang sudah ada; 2) kalau inovasi tersebut akan mengakibatkan perubahan pola-pola kebudayaan dan struktur sosial yang sudah ada dan menggantikannya dengan yang baru; 3) kalau inovasi tersebut bersifat mendasar berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai yang ada dalam masyarakat bersangkutan: misalnya “free lover” untuk masyarakat Indonesia akan ditentang kalau harus diterima sebagai suatu cara hidup; 4) disamping itu bila inovasi itu dianggap terlalu mahal biayanya juga akan terhambat dalam penciptaannya maupun dalam penyebaran atau difusinya, terkecuali kalau oleh kelompok yang digolongkan sebagai “vested interests” (suatu kelompok yang mempunyai pengaruh atas kehidupan sosial dan mempunyai andil untuk menarik keuntungan atas kehidupan sosial yang ada) inovasi tersebut dianggap menguntungkan maka inovasi akan diterima.

Penerimaan atas unsur baru atau inovasi dapat mengakibatkan terwujudnya berbagai kekacauan sosial yang merupakan perwujudan- perwujudan dari proses perubahan sosial, sebelum inovasi tersebut diterima dengan mantap dan menjadi baku dalam tata kehidupan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kekacauan sosial tersebut biasanya dinamakan sebagai disorganisasi sosial (social disorganization). Dalam keadaan kekacauan sosial ini, aturan-aturan atau norma-norma lama sudah tidak berlaku lagi atau sebagian-sebagian masih berlaku sedangkan aturan-aturan atau norma-norma lama tersebut dalam mengatur kehidupan sosial warga masyarakat. Sehingga dalam tahap ini terdapat semacam kebingungan atau kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan sosial.

Bila unsur-unsur baru telah mantap diterima dan norma-norma atau aturan-aturan baru telah mantap menjadi pegangan dalam berbagai kegiatan sosial, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat tersebut telah mencapai tingkat tertib sosial lagi. Tidak selamanya suatu penerimaan inovasi menimbulkan kekacauan sosial. Kekacauan sosial terwujud bila inovasi tersebut menyebabkan adanya perubahan-perubahan yang mendasar pada pranata-pranata yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

KESIMPULAN

Uraian dalam tulisan ini telah memberikan suatu penjelasan mengenai hakekat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, faktor-faktor yang turut mempengaruhi tingkat dan corak perkembangan itu, dan implikasi dari perubahan tersebut terhadap kehidupan manusia bermasyarakat.

Suatu perubahan sosial selalu terwujud dalam bentuk adanya kekacauan dalam kehidupan sosial; tetapi tidak semua perubahan ini mewujudkan kekacauan sosial yang besar. Yang terbanyak adalah adanya kekacauan dalam ruang-ruang lingkup kehidupan sosial yang kecil dan yang biasanya terjadi dimulai dalam kehidupan keluarga. Kekacauan sosial dapat mengakibatkan adanya konflik-konflik sosial, tetapi suatu konflik sosial tidak dapat berlangsung terus menerus. Karena manusia tidak dapat hidup dalam suatu keadaan kekacauan terus menerus, maka pada suatu saat suatu kedamaian terwujud dan suatu ketertiban sosial baru menjadi landasan dalam kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha mengatasi kekacauan biasanya juga berasal dari dalam lingkungan masyarakat itu sendiri, yaitu sejumlah warga masyarakat yang menyadari kerugian-kerugian dari adanya kekacauan; tetapi bisa juga oleh adanya kekuatan yang berasal dari luar masyarakat tersebut.