Oleh. Dipl. DNP. Lathif Hakim, LSq. BEc.
Wacana demokrasi pada akhir-akhir ini sering dikumandangkan untuk menata ulang system pemerintahan/negara agar benar-benar terjadi reformasi total untuk kemakmuran rakyat. Walaupun istilah demokrasi sendiri mengandung berbagai penafsiran yang memicu antara pro dan kontra di kalangan cendekiawan dan negarawan. Sebagaimana seorang negarawan memahami demokrasi adalah konsep yang paling cocok untuk menata ulang system pemerintahan dengan bertujuan membebaskan system dictator dan otoriter menuju kebebasan masyarakat dalam berekspresi, berprilaku, berkumpul. Sedangkan negarawan muslim menambahkan demokrasi yang cocok bagi masyarkat muslim adalah demokrasi religius. Karena demokrasi diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya akibat faham dictator yang panjang sehingga menimbulkan gejolak yang melampui batas norma setelah dibuka kran demokrasi. Maka disinilah membutuhkan peranan etika yang mengatur kebebasan berekspresi masyarakat dengan sebuah perangkat undang-undang untuk memfasilitasi kebebasan itu.
Walaupun istilah demokrasi merupakan istilah yang klasik, akan tetapi hal ini masih dianggap mendekati kebenaran dalam pandangan Islam. Karena dalam Islam istilah demokrasi yang relevan dengan kondisi sekarang adalah dengan system syura (musyawarah). Kedua system ini mempunyai persamaan dan perbedaan: konsep demokrasi bersumber dari Barat melalui pencetusnya Socrates yang berasal dari kata demos dan cratos yang berarti: Dari Rakyat Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Sedangkan system syura (musyawarah) berasal dari umat Islam yang diambil dari Al Qur'an (QS. Al Imran; 159, QS. Al-Baqarah; 233, QS. As-Syura; 38). Yang berbunyi: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 42:38). Dari ayat ini mengandung tiga hal dalam konsep syura: Pertama, dimensi ketuhanan, yaitu dengan mematuhi undang-undang (aturan-aturan) Tuhan dan implementasinya dimisalkan dalam bentuk sholat karena sholat adalah sebagai tiang agama dan juga merupakan jalur komunikasi langsung manusia dengan Tuhannya. Kedua, adalah dimensi kemanusiaan, yang diimplementasikan dengan system musyawarah antar manusia. Artinya, system musyawarah adalah jalan yang tepat untuk menyelesaikan semua permasalahan. Maka karena PEMILU adalah gawe semua masyarakat, maka pemilihan secara langsung dari semua lapisan masyarakat adalah sesuai dengan konsep syura, karena mereka lah yang akan merasakan dari semua kebijakan pemimpinnya. Dan konsep ini yang diambil dalam negara demokrasi. Ketiga, dimensi social manusia, hal ini tercermin dalam bentuk kerja sama, saling bantu-membantu dan takaful ijtima'I yang dimisalkan zakat, sedekah dan lain sebagainya yang bertujuan pada kemakmuran rakyat baik secara mental spiritual maupun matriil, sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, karena pemberi kemakmuran ini adalah Allah maka kemakmuran ini digunakan untuk beribadah kepada Allah .
Setelah kita bandingkan dalam tataran nilai yang dikandung dalam dua konsep ini maka demokrasi konvensional hanya mengadopsi nilai yang kedua dan nilai kedua ini juga tidak diambil secara penuh dengan hati nurani kemanusiaan secara utuh yang akan berujung pada demokrasi merkantilisme istilah Pak Muslimin Nasution (demokrasi dagang sapi) yang mengusung materiilisme, maka untuk memenangkan suatu permasalahan hanya dihitung dari dimensi materialisme sehingga nilai hati nurani musyawarah dan mufakat itu dimatikan oleh segelintir matrealisme tadi, inilah yang dikatakan oleh Morena Hertz dengan istilah "The Deth Of Democrasi". sedangkan dalam Islam (syura) lebih comprehensip yang mencakup tiga dimensi; nilai ketuhanan, kemanusiaan dan social kemanusiaan dalam bentuk takaful ijtima'i.
Kemudian apakah kita memakai istilah syura atau demokrasi? Dari sini boleh saja mengambil istilah syura atau demokrasi yang penting substansi tiga dimensi itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan system demokrasi atau syura.
Dalam konteks Indonesia yang telah mengalami reformasi pada tahun 1998, maka pada waktu itu isu-isu yang yang diusung adalah tentang kebebasan karena kebebasan pada masa Orde Baru dibungkam rapat-rapat sehinnga melahirkan diktatorisme yang berkepanjangan dan hal ini juga tidak sesuai dengan Pancasila walaupun pada waktu itu mengusung Asas Tunggal Pancasila, karena "Pancasila" baik tafsir maupun implementasi dari Pancasila tidak menjiwai sila-sila yang ada dalam Sila Pancasila dan Pancasila identik dengan otoriter dan dictator. Maka secara otomatis konsep Dasar Pancasila yang sejatinya adalah sangat baik kalau ditafsirkan dengan nilai-nilai Islam akan tetapi setelah masa reformasi konsep ini kurang digemari oleh Rakyat Indonesia karena implementasi pada zaman orde baru sangat mengekang dan dictator maka menimbulkan phobia dalam masyarakat Indonesia secara luas. Maka demokrasi inilah yang tepat agar kebebasan berekpresi ini dapat dijamin dalam undang-undang, maka partai-partai pun subur dengan berbagai macam ideology dan asas dasarnya.
Maka pada kisaran tahun 1998-2009 adalah masa pembenahan dalam berdemokrasi. Dan demokrasi ini agar segera diarahkan pada rel yang benar agar tujuan reformasi ini dapat tercapai, dan jangan sampai terulang lagi seperti masa-masa orde lama dan orde baru. Maka pembenahan demokrasi yang sudah berumur 10 tahun ini, jangan sampai mengalami stagnanisasi demokrasi. Artinya harus ada pelestarian dan peningkatan demokrasi.
Maka fase peningkatan demokrasi berikutnya sesuai dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dimulai tahun 2009-2019 adalah peningkatan demokrasi untuk kemakmuran rakyat, artinya adalah bentuk demokrasi yang bertitik tolak dari tiga substansi di atas, yaitu: dimensi ketuhanan, dimensi kemanusiaan dan dimensi keadilan social, sehingga akan terwujud kemakmuran lahiriyah dan bathiniyah.
Maka dalam mewujudkan demokrasi untuk kemakmuran rakyat yang digalakkan adalah reformasi pembangunan dalam segala bidang dan semua sektor baik reformasi pembangunan SDI, Investasi SDA, Tata Pengelola Pemerintahan dan Birokrasi dan Kemajuan Modal Sosial Masyarakat. Maka reformasi pembangunan dalam segala bidang itu didasarkan pada tiga dimensi substansi demokrasi di atas dan diimplementasikan untuk kemakmuran semua lapisan masyarakat.
Maka relevan sekali kalau system ekonomi Indonesia sekarang adalah sistem ekonomi yang berkeadilan sosial, artinya keadilan sosial yang dalam konsep dan implementasinya mengamalkan kebebasan berekonomi, pemerataan, persamaan, kemudahan dan takaful sosial. Maka nilai-nilai keadilan social ini tidak akan terwujud kalau tidak mengimplementasikan subtansi tiga dimensi demokrasi di atas.
Di sisi lain untuk mewujudkan kemakmuran rakyat yang perlu diperhatikan (1) selain konsep keadilan social, adalah (2) konsep kemandirian dan kerja sama kolektif, (3) konsep prioritas pembangunan dan pemenuhan kebutuhan primer untuk mewujudkan konsep kecukupan ekonomi rakyat dan (4) yang terakhir adalah konsep pembiayaan pembangunan yang disaranai oleh sector keuangan dan perbankan yang berdimensi syariah.
Maka dari keempat konsep di atas dalam praktek pembangunan demokrasi di Indonesia, masih berjalan setengah-setengah yang berakhir pada "Hidup segan mati pun tak mau" maka imbasnya adalah penderitaan rakyat walaupun sudah ada perbaikan disana sini. Maka perlu mempertegas kembali Pembangunan Demokrasi di Indonesia untuk memakmurkan rakyat. Artinya kemakmuran itulah yang harus diusung yaitu dengan mengimplementasikan empat konsep kebijakan di atas yang selalu berilhamkan tiga substansi demokrasi. Maka apabila empat konsep tersebut dapat diimplementasikan secara serius maka dampak yang semula penderitaan menjadi kemakmuran rakyat dengan hilangnya masyarakat dari kemiskinan dan pengangguran.
Untuk mempertegas kembali "Demokrasi Untuk Kemakmuran Rakyat" dengan mengimplementasikan empat konsep kebijakan di atas, maka mekanisme yang digulirkan adalah mereformasi system pembangunan ekonomi dengan memberdayakan semua potensi negara baik dari sisi sumber daya insaninya (SDI), memaksimalkan semua potensi SDA negara dengan investasi, Pembangunan di semua sector dan wilayah serta kemajuan asset social.
Maka karena Indonesia mempunyai kekayaan dalam SDI dan SDA, maka prioritas untuk memakmurkan rakyat ini melalui Pembangunan SDI dengan segala aspeknya dan Memberdayakan semua kekayaan SDA agar semuanya menghasilkan produktifitas dan tidak ada lahan SDA (Kekayaan bumi yang terkandung di atas dan di bawahnya) yang menganggur.
Dalam membangun sumber daya Insani yang unggul, maka aspek pertama yang harus dibangun adalah: Pertama; pada landasan Penguatan aqidah dan mental prilaku (akhlaq), Kedua; Keilmuan, Pengalaman, Ketrampilan dan Teknologi Ketiga; Penguatan Fisik melalui Gizi sehat dan Kesehatan Badan, Keempat; Kemampuan managemen yang baik dengan menghargai waktu, Kelima; Memperkuat Kesadaran Sosial dakwah individu dan masyarakat.
Contoh kongkrit dalam pesta demokrasi Indonesia dengan Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 yang akan menelan anggaran yang sangat besar sampai Rp. 47,9 triliun. Merupakan tindakan pemborosan keuangan negara yang harus dihitung ulang seperti yang dikatakan oleh Pak Ginanjar Kartasasmita (baca: Media Indonesia; 3 November 2007). Karena pesta demokrasi ini, peralatan dan prasarananya masih ada dan tidak perlu dibeli kembali, cukup direparasi apabila ada yang rusak, disisi lain dalam menempatkan kepanitiaan KPU, maka apabila mereka yang telah menjadi PNS maupun Aparat TNI/POLRI dari sisi biaya gajinya harus dipangkas agar tidak terjadi overlapping dalam pembiayaan karena hal ini sebagai penugasan negara dan ditambah uang lemburan sedikit itu tidak jadi maslah, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pembengkakan dana. Maka pesta demokrasi seperti ini merupakan bentuk dari kekuatan kemampuan SDI, apabila manegemennya bagus (SDI nya bagus) tidak ada korupsi dana, korupsi data, korupsi suara. Itu adalah karena bagusnya pembangunan SDI dengan kelima aspek di atas. Jadi inti dari semua keberhasilan proyek dalam semua bentuknya adalah factor manusia dengan kemampuan dalam lima aspek di atas.
Maka manusia adalah sebagai factor pertama untuk mengubah dan mereformasi dari tertindas menjadi makmur. Dan sejatinya kemiskinan masyarakat dan individu itu karena factor manusia yang tidak memaksimalkan pembangunan dalam lima aspek manusia di atas.
Dan seandainya Rakyat Indonesia unggul dalam lima aspek di atas pasti Indonesia akan maju seperti; Jepang, Swiss dan Singapura, yang mana dengan keterbatasan SDA yang ada mereka bisa mengimpor bahan mentah diolah lagi menjadi bahan industri dan mereka ekspor dengan nilai yang lebih dan mereka bisa makmur dan maju.
Renungkan apabila kemampuan SDI Indonesia seperti mereka dengan ditopang melimpahnya SDA Indonesia yang dimiliki, kita tidak perlu mengimpor, tapi kita dapat mengolah sendiri SDA kita dan menjadikannya dari bahan mentah menjadi bahan baku kemudian dimodifikasi dengan menggunakan teknologi industri yang modern untuk menjadi barang jadi dan siap dikonsumsi sendiri di dalam negeri ataupun diekspor untuk menambahkan devisa. Dari sini, pasti kita dapat mengalahkan mereka lebih dari satu langkah. Karena kita memiliki kekayaan sendiri sedangkan mereka impor dari luar negeri.
Maka inilah yang harus dicermati Pemerintah/Negara dalam rangka menegakkan "Demokrasi Untuk Kemakmuran Rakyat", maka Pembangunan Kemanusiaan dalam lima aspeknya inilah yang harus diprioritaskan dari yang lainnya. Disamping memberdayakan semua potensi kekayaan negara agar jangan sampai ada yang menganggur dari kekayaan SDA dan Aset Negara, tidak lain dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, Swt..
No comments:
Post a Comment