oleh : Sutoro Eko
Pelajaran berharga apa yang bisa diambil dari praktik demokrasi lokal selama desentralisasi dan otonomi daerah berjalan? Sejauh mana desentralisasi dan otonomi daerah mendorong tumbuhnya demokrasi lokal yang kokoh dan beradab? Bagaimana nasib demokrasi lokal ke depan pasca pemilihan umum 2004?
Desentralisasi, secara teoretis, merupakan upaya untuk membawa negara lebih dekat dengan masyarakat lokal maupun mendorong tumbuhnya tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis (demokrasi lokal). Tanpa diikuti dengan demokrasi lokal, maka desentralisasi dan otonomi daerah sama saja dengan memindahkan sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah. Tata pemerintahan lokal yang demokratis (demokrasi lokal), mengedepankan prinsip pemerintahan "dari" (partisipasi) masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan "oleh" masyarakat dan dimanfaatkan secara responsif "untuk" kepentingan masyarakat luas.
Karya Benyamin Barber (1984), misalnya, mengajarkan bahwa desentralisasi tidak semata untuk membentuk pemerintahan daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah untuk membangkitkan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri, komunitas dan pemerintah lokal. Karya Robert Putnam (1993) dengan kasus Italia memberikan banyak pelajaran berharga tentang modal sosial, desentralisasi dan demokrasi lokal. Secara akademik Putnam membangun argumen yang kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan modal sosial dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut Putnam sebagai komunitas sipil (civic community). Indikator-indikator civic engagement -- solidaritas sosial dan partisipasi massal -- yang merentang luas pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokrasi. Selama seperempat abad terakhir, desentralisasi politik di Italia telah secara luas mentransformasikan kultur politik elite dalam suatu arah yang demokratis. Pembentukan pemerintahan regional, yang kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumberdaya lokal, menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang lebih besar di antara hampir semua partai'. Secara berangsur-angsur warga mulai mengidentifikasi diri dengan level pemerintahan lokal dan bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional. Putnam juga menegaskan bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal mempunyai potensi besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi dan jaringan masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal lebih menawarkan cakupan terbesar bagi organisasi-organisasi independen untuk membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah dan problem-problem yang menuntut perhatian -- dari layanan sosial sampai transportasi dan lingkungan -- berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Keterlibatan langsung warga dalam penyelenggaraan layanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang penting untuk memperkuat keterampilan para warga secara individual dan akumulasi modal sosial, seraya membuat penyampaian layanan publik lebih accountable.
Di Indonesia, reformasi sejak 1998 memang telah membangkitkan desentralisasi dan demokrasi lokal, yang menggerogoti struktur politik yang hirarkhis, sentralistik, feodalistik dan otoriter. Locus politik telah bergeser dari pusat ke daerah, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari bureaucratic government ke party government, dan dari executive heavy ke legislative heavy. Tetapi, seperti akan diuraikan di bawah, demokrasi lokal yang berlangsung masih sebatas eforia, bukan sebagai proses konsolidasi menuju demokrasi lokal yang kokoh, beradab dan terpercaya. Eforia demokrasi lokal sangat bermasalah, dan tetap akan bermasalah sampai pasca pemilu 2004 karena fondasi yang sangat rapuh.
Eforia Demokrasi Lokal
Praktik demokrasi lokal selama ini lebih banyak diwarnai dengan sejumlah eforia yang masih sangat rapuh. Pertama, eforia demokrasi elektoral. Masyarakat Indonesia, kini, tengah terjangkit demam perayaan demokrasi elektoral. Ada kesan kuat bahwa demokrasi hanya terfokus pada pemilihan, sebuah perayaan politik yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, perdukunan, dan seterusnya. Di zaman dulu, penentuan kepala daerah berlangsung secara tertutup dan memperoleh pengawasan yang ketat dari Jakarta. Hanya tentara dan birokrat yang punya peluang untuk menduduki jabatan kepala daerah. DPRD dalam posisi yang sangat lemah, tidak mempunyai otoritas untuk menentukan pilihan mereka. Sekarang proses pemilihan lebih terbuka, yang membuka kesempatan bagi hadirnya aktor-aktor baru di luar tentara dan birokrat. DPRD mempunyai kuasa penuh untuk menentukan pilihan mereka terhadap kepala daerah. Tetapi proses dan hasil pemilihan kepala daerah tidak lebih baik daripada sebelumnya. Setiap pemilihan selalu diwarnai dengan permainan politik uang, kekerasan, mobilisasi massa dan seterusnya. Proses yang buruk itu mesti membuahkan hasil yang buruk. Tidak sedikit kepala daerah yang bermasalah, rakus, dan korup untuk mengembalikan modal yang telah dimainkan melalui politik uang. Rakyat kecewa, tetapi setiap pemilihan politik uang tetap bermain. Konyol betul!
Dari kasus-kasus ini kita bisa belajar bahwa demokrasi lokal bukan sekadar proses elektoral, atau proses pemilihan kepala daerah, tetapi yang lebih penting adalah relasi yang demokratis sehari-hari antara pemerintah daerah dengan warga masyarakat. Akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah jauh lebih penting dari sekadar proses elektoral. Proses elektoral sebenarnya merupakan langkah awal untuk menghasilkan pemimpin lokal yang mempunyai visi dan komitmen serius pada akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah. Tetapi kalau isu-isu ini dikalahkan oleh jumlah massa, popularitas, apalagi oleh politik uang, maka demokrasi lokal akan hancur dan rakyat terus-menerus akan kecewa.
Kedua, eforia semangat keasilan (nativisme). Sekarang di setiap daerah bergelora isu "putera daerah" terutama ketika terjadi pemilihan kepala daerah. "Masyarakat" lokal sekarang secara keras berani menentang kehadiran calon-calon yang bukan putera daerah untuk menduduki jabatan kepala daerah. Di masa Orde Baru, istilah itu memang sangat berguna untuk menentang intervensi Jakarta atau menolak calon titipan dari Jakarta. Tetapi yang berkembang sekarang, istilah putera daerah tidak mempunyai otentisitas yang kuat, karena istilah itu cenderung hanya sebagai pasport politik untuk menjustifikasi kedudukan seseorang, tanpa melihat visi dan kualifikasinya. Setelah "putera daerah" itu berkuasa, ternyata juga bertindak menyimpang dari prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.
Ketiga, eforia parlemen lokal. Di bawah UU No. 22/1999, DPRD sangat powerful ketimbang kepala daerah. Publik berharap, bahwa DPRD yang powerful itu menjadi modal politik untuk memainkan check and balances dengan baik di hadapan kepala daerah, sehingga pemerintahan daerah bisa berjalan secara akuntabel, transparan dan responsif. Tetapi DPRD yang kuat itu justru menimbulkan banyak masalah: DPRD menjadi oligarki baru yang korup, berkapasitas rendah, tidak bertanggungjawab, tidak peka pada aspirasi rakyat, lebih mengutamakan kepentingan sendiri. DPRD, kata publik, bukan sebagai panggilan hidup dan komitmen untuk berjuang, melainkan seperti lowongan kerja untuk mencari nafkah dan kedudukan. Akibatnya, rakyat kecewa dan tidak percaya pada DPRD. Sayangnya, besok dalam pemilihan umum 2004, rakyat tetap akan memilih lagi calon-calon DPRD. Besok kecewa lagi.
Keempat, eforia kepialangan politik. Otonomi daerah memang telah memberi kesempatan yang terbuka bagi hadirnya aktor-aktor politik baru, termasuk para broker politik. Latar belakang mereka sangat bermacam-macam: bisa kyai, akademisi, mahasiswa, LSM, pengusaha, tokoh adat, tokoh masyarakat, preman, dan seterusnya. Setiap ada pemilihan kepala daerah, para broker politik itu menjadi pemain yang penting, entah dalam membuat opini publik atau mengerahkan massa, dengan tujuan untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker tersebut bukan rakyat, warga atau publik yang sejati, melainkan gerombolan massa (the mob) yang sebenarnya merusak demokrasi lokal, misalnya dengan cara permainan politik uang maupun kekerasan.
Kelima, eforia NGO lokal. Era reformasi dan otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak NGO lokal yang bersifat instan. Sebagian besar NGO lokal lahir bukan dalam konteks gerakan sosial dan jaringan sosial yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas proyek-proyek pemerintah sejak JPS maupun sebagai bentuk "gerakan politik" untuk memainkan kepialangan politik. NGO lokal yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk mencari proyek, entah melalui lobby atau melontarkan kritik keras kepada Pemda agar mereka memperoleh proyek. NGO "gerakan politik" sangat rajin melakukan kasak-kusuk menjadi broker politik dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan DPRD maupun pejabat teras di daerah.
Keenam, eforia protes sosial atau pembangkangan sipil. Sejak Soeharto jatuh di tahun 1998, protes sosial (pembangkangan sipil) mengalami perluasan, sebagai senjata untuk menggerakkan reformasi politik. Protes sosial atau pembangkangan sipil memang merupakan kekuatan alternatif bagi civil society untuk melawan penguasa. Tetapi harap diingat, bahwa protes sosial yang terjadi di Indonesia selama ini lebih bersifat kegembiraan sesaat atau sebagai partisipasi ad hoc yang hanya sangat efektif untuk menjatuhkan penguasa otoriter bermasalah, tetapi tidak efektif untuk membangun demokrasi lokal. Membangun demokrasi lokal tentu membutuhkan penguatan gerakan sosial masyarakat sipil dan partisipasi warga masyarakat secara berkelanjutan.
Keenam eforia di atas memberi gambaran yang suram tentang demokrasi lokal, yang tampaknya masih akan berlanjut ke depan. Apalagi ke depan, kepala daerah akan dipilih secara langsung, yang kian menyuburkan eforia politik. Eforia adalah kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjuta, kecuali hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan. Eforia akan come and go berbarengan dengan pesta politik. Eforia akan berubah menjadi kekecewaan bila pesta sudah usai, tetapi ia akan datang lagi kalau pesta bakal digelar kembali.
Fondasi Rapuh
Lingkaran setan eforia demokrasi lokal di atas terjadi karena fondasi yang betul-betul rapuh. Pertama, perubahan yang belum sempurna dari floating-mass society menuju civil society. Sekarang Indonesia masih dalam sekuen masyarakat transisi, yakni yang kita sebut sebagai mass-politics society. Proses politik dan demokrasi di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun organized mass.
Kedua, daerah-daerah di Indonesia mewarisi kuatnya tradisi politik feodal, otoritarian, birokratis dan sentralistik. Tradisi yang relatif kekal ini membentuk paradigma kolot para elite dalam mengelola kekuasaan, mengatur rakyat dan menguasai sumberdaya ekonomi. Para gubernur misalnya, sangat berang karena kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli oleh UU No. 22/1999. Gubernur sekarang tidak bisa lagi memerintah bupati, memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-pajak daerah seperti dulu. Bahkan sekadar undangan pun diabaikan oleh bupati. Karena itu para gubernur menuntut agar otonomi daerah diletakkan di provinsi atau meminta agar kekuasaan dan kewenangan mereka dipulihkan seperti sedia kala. Sementara, bupati sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Mereka di atas angin, ibarat raja-raja kecil yang secara leluasa bisa menguasai sumberdaya politik dan ekonomi daerah. "Otonomi daerah berhenti di tangan saya", demikian ungkap arogan seorang bupati ketika menanggapi masalah otonomi desa. "Bupati bukanlah seorang pemimpin yang betul-betul mengayomi masyarakat, melainkan hanya seorang pejabat yang pekerjaannya adalah tandatangan, marah-marah dan jalan-jalan", demikian ungkap seorang pegawai di Boyolali. DPRD Kabupaten/kota sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang luar biasa, yang mereka gunakan untuk menekan bupati/walikota dengan senjata Laporan pertanggungjawaban. Tetapi ulah DPRD yang tidak bertanggungjawab itu dengan mudah bisa dipadamkan oleh bupati/walikota setelah memperoleh kucuran duit, proyek dan fasilitas.
Paradigma K-3 (kekuasaan, kewenangan dan kekayaan) dipegang betul oleh para pemegang jabatan politik. Mereka tidak mempunyai visi bagaimana memanfaatkan kekuasaan untuk memperjuangkan nilai, melainkan hanya berorientasi bagaimana mencari dan mempertahankan kekuasaan. Setiap penguasa, dari presiden hingga bupati dan kepala desa, selalu berupaya keras agar tetap menduduki jabatan yang kedua kalinya. Ini tidak lain hanya untuk memelihara status quo. Kalau dinalar secara sehat, setiap penguasa sebenarnya tidak mempunyai alasan lagi untuk menduduki jabatan yang kedua kalinya. Kalau mereka menampilkan visi, publik bisa bertanya: lalu ngapain selama lima tahun berkuasa.
Ketiga, fragmentasi masyarakat sipil dan modal sosial. Organisasi masyarakat sipil dan modal sosial yang kian semarak, memang tidaklah tunggal. Di balik kemajuan dalam organisasi nonpemerintah, kita juga menyaksikan banyak sisi paradoksal dalam modal sosial. Secara horizontal kemajemukan masyarakat menyajikan konflik ketimbang pluralisme dan kohesivitas. Ruang publik civil society memang menghadirkan wacana dan gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih menonjol. Inilah yang saya sebut sebagai fragmented social capital. Gerakan demokratisasi yang didorong oleh aktor-aktor civil society harus berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat lainnya. Bahkan gerakan demokratisasi yang terus maju tidak didukung oleh elemen-elemen partai oposisi yang pro perubahan. Di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah, partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi melainkan sebagai bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi. Di banyak daerah, gerakan demokratisasi civil society terus bergelora menentang "raja-raja kecil" yang bermasalah, tetapi gerakan itu dengan mudah dilumpuhkan oleh para preman bayaran maupun paramiliter yang dipelihara oleh partai politik. Semua ini memang tidak mengehentikan gerakan demokratisasi meski harus dibayar dengan risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society terseok-seok, tunggang-langgang dan menghadapi anomalie yang serius.
No comments:
Post a Comment