Oleh: Sayuti Asyatry
Wacana perlunya gubernur dipilih langsung oleh presiden tidak ubahnya seperti ayunan balik bandul penguatan otonomisasi daerah. Otonomisasi pembangunan dan eksperimentasi politik berbasis lokal melalui pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan relatif baik selama ini jelas bisa terganggu. Dan, jika gagasan ini diterapkan, semua logika Negara Kesatuan Republik Indonesia dan otonomi daerah bisa menjadi jungkir balik karena tidak mungkin kita kembali memutar jarum jam pembangunan daerah sehingga kondisinya bisa lebih buruk daripada sebelum reformasi.
Lebih dari itu, gagasan gubernur dipilih langsung oleh presiden merupakan langkah mundur proses demokrasi yang kita perjuangkan selama ini. Bahkan gagasan ini dapat mendorong kembalinya rezim otoritarianisme seperti rezim Orde Baru yang membelenggu hak-hak politik warga negara, kue pembangunan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, dan seterusnya. Karena itu, kita harus mencegah kembalinya praktek politik otoritarianisme itu dengan menolak gagasan tersebut.
Terus terang, gagasan yang berawal dari rekomendasi peserta kursus reguler XL Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) terlihat aneh. Bagi saya, kepemimpinan daerah itu tidak selesai hanya dengan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Penunjukan langsung ini justru mengentalkan adanya tambal sulam penyelesaian masalah, tapi sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya.
Selain perlunya mewaspadai kembalinya rezim otoritarianisme dalam perspektif politik kekuasaan semata, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden itu perlu dikaji apakah ada upaya berbagai pihak menggunakan kekuasaan sebagai instrumen kapitalisasi ekonomi seiring dengan semangat otonomisasi daerah saat ini. Persoalannya sangat mendasar, jika hal ini diterapkan, konflik kepentingan (conflict of interest) akan tidak terhindarkan.
Jika demikian, hal terburuk yang akan terjadi adalah kian menguatnya sentralisasi kekuasaan serta melemahnya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (community development) berbasis lokal. Hal ini terjadi karena kuatnya tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah pusat (dalam hal ini presiden sebagai pemegang kedaulatan negara) di satu sisi dan kepentingan politik pemberdayaan masyarakat daerah di sisi yang lain.
Logikanya, tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan antara pusat dan daerah ini pasti terjadi. Pertama, jika gubernur itu dipilih/ditunjuk secara langsung oleh presiden, loyalitas seorang gubernur dan proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan bergerak sesuai dengan pendulum politik pemerintah pusat atau kepentingan politik presiden dan hal ini sangatlah berbahaya. Kedua, sebagai konsekuensinya, pembangunan dan pengembangan masyarakat (community development) di daerah akan terus terpinggirkan, karena masa depan karier politik gubernur ditentukan oleh presiden, bukan masyarakat yang dipimpinnya. Jelas ini sebuah pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi.
Karena itu, sekali lagi, gagasan tersebut perlu ditentang. Paling tidak dibutuhkan satu penelitian mendalam karena hal ini menyangkut soal masa depan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat, bangsa, dan negara. Yang jelas, berbagai hasil studi atau penelitian akademik hingga awal abad ke-21 ini menunjukkan bahwa demokrasi masih merupakan pilihan terbaik sistem politik yang diterapkan di berbagai belahan dunia.
Mengacu pada kerangka berpikir di atas, maka semua pihak mesti menyadari arti penting memelihara praktek demokrasi secara lebih menyeluruh sehingga substansi demokrasi itu menjadi kesadaran publik, bukan semata dalam praktek politik dan kekuasaan, melainkan juga dalam relasi sosial kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Memang, sangatlah disayangkan gagasan penunjukan langsung jabatan gubernur oleh presiden itu lahir dari rekomendasi peserta kursus reguler Lemhannas. Sebagai institusi pemerintah, lebih-lebih sebagai komunitas intelektual, Lemhannas semestinya mengkaji secara detail terlebih dulu soal dampak positif-negatifnya terhadap pembangunan masa depan bangsa dan negara. Yang pasti, saat ini masyarakat sudah tidak lagi menghendaki kembalinya rezim otoritarianisme. Karena itu, Lemhannas semestinya sadar dan menyadari posisinya sebagai komponen pemimpin bangsa yang seharusnya mendidik masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Terkait dengan kepemimpinan daerah, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 4, misalnya, jelas-jelas ketentuan pemilihan kepala daerah, baik pemerintahan tingkat I (gubernur) maupun pemerintahan tingkat II (bupati dan wali kota), dipilih secara demokratis. Artinya, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden menjadi tidak relevan. Diperkuat pula oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 56 ayat 1, bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket secara demokratis, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam perspektif pemikiran inilah gagasan tersebut layak ditentang, karena secara substansial bertentangan dengan semangat demokrasi dan terutama bertentangan dengan undang-undang sebagai landasan yuridis yang mendasari seluruh perundang-undangan. Di sisi yang lain, secara psikologis, komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat sebagai konstituen akan menjadi lebih efektif dalam kerangka membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Memang, bagaimanapun kekhawatiran akan terjadinya pelemahan proses pemberdayaan masyarakat--jika jabatan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden--menjadi tidak terhindarkan. Fenomena ini dapat dibaca dengan kian melebarnya sayap-sayap perilaku korupsi di kalangan pejabat negara di berbagai lini kehidupan birokrasi. Artinya, bisa jadi gagasan penunjukan langsung gubernur oleh presiden itu merupakan strategi baru guna memperkuat struktur kekuasaan pemerintah pusat di daerah sebagai manifestasi kembalinya rezim otoritarianisme.
No comments:
Post a Comment