Oleh : Achmad Rozi El Eroy[1]
Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan secara terbuka,melalui liputan media masa dan elektronik, PDI Perjuangan sebagai salah satu parpol besar telah merekrut kader-kader baru yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari selebritis, intelektual, olahragawan/atlit, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan lain sebagainya masuk menjadi kader PDIP. Sebut saja Rano Karno,(pemeran si Doel dan kini menjadi wakil Bupati Tangerang) masuk menjadi salah satu kader PDIP, Rieke Dyah Pitaloka (Oneng) yang sebelumnya merupakan kader PKB, saat ini pindah menjadi kader PDIP, Sonny Tulung, (presenter dan selebritis), Richard Sambera (Atlit renang), juga masuk menjadi salah satu barisan kader PDIP.
Kalau kita lihat secara makro, kader-kader partai yang baru direkrut tersebut, secara usia berada pada golongan usia muda, dan ini tentunya sangat menggembirakan, dimana secara perlahan, akan berdampak pada regenerasi atau kaderisasi ditingkat parpol itu sendiri. Walaupun secara signifikansi, kita masih harus melihat kontribusi yang dapat mereka berikan kepada Parpol khususnya dan masyarakat pada umumnya terkait dengan keterlibatan mereka di partai politik. Kader bagi sebuah partai Politik merupakan gizi yang sangat penting dalam meningkatkan vitalitas organisasi, tanpa kader maka dimungkinkan vitalitas organisasi akan terganggu. Setiap organisasi partai politik berkepentingan untuk memiliki kader partai yang diharapkan dapat melanjutkan estafeta perjuangan partai dimasa depan. Setiap partai memerlukan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad juang yang tinggi (baca: militansi) dalam membesarkan partai dimasa depan.
Sejarah telah banyak mencatat bahwa tersedianya kader yang memiliki seperangkat keunggulan dan kualitas akan dapat menjaga kelangsungan hidup suatu organisasi. Kader yang memiliki keunggulan dan kualitas tertentu inilah yang kemudian oleh Bung Karno dianalogikan sebagai jantung-nya partai. Jika jantung tersebut tidak berfungsi, maka dengan sendirinya organ-oran yang lainpun tidak berfungsi. Sebaliknya, jika jantung organisasi (baca: kader) berfungsi dengan baik, maka kita akan mengalami dinamisasi partai yang baik, bahkan akan berkembang dengan baik sesuai dengan yang diharapakan oleh Partai itu sendiri.
Disamping itu, sebagai upaya untuk mengoptimalkan peran kader muda dalam Partai Politik, hendaknya dibangun sebuah kesadaran kolektif bagi para kader-kader muda partai dalam memasuki wilayah politik praktis. Ini penting dilakukan untuk menghilangkan citra negatif dikalangan aktifis parpol. yaitu; oportunis dan pragmatis. Dalam kontek ini kesadaran yang harus dimiliki oleh seorang kader partai adalah; pertama kesadaran ideologis, yaitu setiap kader wajib hukumnya untuk memiliki kesadaran ideology, yang didalamnya mengandung dimensi kepercayaan, keterlibatan, komitmen dan tanggung jawab dari para kader itu sendiri. Kedua memiliki kesadaran politik, kesadaran politk artinya bahwa seorang kader partai harus memiliki komitmen politik sebagai manifestasi dari kesadaran ideologi yang dianutnya. Kesadaran politk yang harus dimiliki tentunya berakar pada nilai—nilai yang melembaga ditingkat keyakinan personal secara massif. Artinya sebagai seorang kader, dimana telah memiliki seperangkat nilai-nilai dari landasaan berpolitik praktis, maka harus dilaksanakan secara konsekwen; ketiga memiliki kesadaran organisatoris, yaitu suatu kesadaran dimana kader harus mampu menjadi seorang kader partai yang dapat menjalankan roda organisasi secara sehat, accountable, reasonable,dan transparan. Dengan memiliki kesadaran organisatoris yang demikian, maka dapat dipasikan bahwa roda organisasi partai politik akan berjalan dengan sangat rapih, tertib, dan sistematis. Kesadaran organisatoris juga akan selalu terpancar dalam perilaku hidupnya dalam keseharian. Artinya dimanapun ia (baca:kader) berada selalu akan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain dari segi inisiatif dan motivasi, sehingga ia akan selalu mewarnai dinamika organisasi yang dinaungi.
Kelima memiliki kesadaran perjuangan, artinya bahwa seorang kader harus memaknai secara lebih obyektif bahwa eksistensinya hidup dalam lingkungan partai politik, merupakan sarana untuk melakukan dan melaksanakan sebuah perjuangan mulia yang tak pernah berakhir. Dan yang hakiki adalah bahwa dimanapun seorang kader partai berada ia wajib untuk melaksanakan agenda dan cita-cita perjuangan bangsanya sampai tercapai. Dan keenam memiliki kesadaran pengabdian. Seorang kader partai, diharapkan memiliki komitmen untuk terus mengabdikan dirinya bagi kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita Partainya. Dan komitmen tersebut merupakan kesadaran yang harus selalu ditumbuhkembangkan dalam setiap jiwa-jiwa kader partai.
Pemilu 2009, Jatahnya Orang Muda!
Mengutip penyataan Bapak Amien Rais (mantan capres 2004), dalam sebuah diskusi di Jakarta (28/1/2008), beliau menyatakan bahwa “Pemilu 2009 adalah jatahnya orang-orang muda, kalau yang muda tidak juga muncul, jangan salahkan kalau yang tua turun gunung lagi”. Kalau kita mencermati pernyataan tersebut, secara eksplisit terkandung harapan besar bahwa pada pemilu 2009 yang akan datang, orang-orang muda masuk dan terlibat secara sadar dalam kegiatan-kegiatan politik baik tingkat lokal maupun nasional, untuk mengisi, menggantikan dan meneruskan estafeta peran generasi tua, yang sudah waktunya lengser keprabon. Disisi lain, pernyataan tersebut juga mengandung tantangan bagi orang-orang muda untuk bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa jargon “saatnya kaum muda memimpin” bukanlah hanya slogan-slogan sesaat yang cenderung emosional.
Berangkat dari pernyataan bapak Amien Rais diatas, maka sudah saatnya orang-orang muda Banten menyambut harapan tersebut dengan secara sadar masuk dan menjadi bagian dari institusi politik (Parpol), tentunya jika kita masih memiliki semangat dan idealisme untuk melanjutkan agenda reformasi yang ”masih setangah hati” ini terwujud. Penulis melihat, keterlibatan orang-orang muda Banten dalam wilayah politik mutlak diharapkan kehadirannya, dengan beberapa alasan; pertama, agenda reformasi hanya akan dapat wujudkan oleh mereka-mereka yang memahami substansi reformasi dan secara langsung terlibat dalam proses terjadinya reformasi tersebut, dalam hal ini adalah pemuda dan mahasiswa; ketiga diakui atau tidak bahwa secara umum telah terjadi perbedaan visi yang sangat jauh antara orang-orang muda dan orang tua dalam memaknai dan memperjuangkan amanah reformasi, dalam hal ini penulis melihat orang tua relatif lebih ”lamban” dan cenderung ”status qou” dalam memperjuangkan reformasi; keempat bahwa kultur budaya politik lokal banten saat ini dan yang akan datang tidak akan pernah baik manakala aktor politiknya masih didominasi oleh kelompok-kelompok yang secara mainstream politik masih konvensional dan cenderung statis. Dan untuk mengantisipasi hal tersebut, orang muda adalah kelompok yang tepat untuk tampil dalam proses politik dan membangun budaya politik yang rasional, modern, progresif dan dinamis.
Lantas, bagaimana parpol mensikapi hal tersebut? Menurut penulis, yang harus dilakukan oleh Partai politik adalah membuka diri terhadap potensi orang-orang muda yang berkeinginan untuk aktif dalam partai politik. Terurtama orang muda yang memiliki kapasitas intelektual dan integritas moral, kapabilitas, kredibilitas yang baik dan dari segi wawasan pengetahuan cukup memadai untuk direkrut. Dan tentunya hal tersebut harus melalui serangkaian proses rekrutmen yang secara normatif berlaku di masing-masing partai politik.
Akhirnya dengan memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk terjun di partai, kaderisasi dan regenerasi niscaya akan terus terjaga secara alamiah, dan dengan sendirinya partai politik akan menemukan arti dari fungsinya sebagai sebuah partai politik, yaitu melaksanakan rekrutmen politik, pendidikan politik, partisipasi politik. Wallahua’lam Bishowaf.
[1] Penulis adalah Direktur Eksekutif The Sultan Center (Pusat Studi Kepemimpinan Publik)
No comments:
Post a Comment