Friday, February 27, 2009

Koalisi Islam atau Kolaisi demokrasi

oleh :Ahmad Fuad Fanani
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Jakarta

PERHITUNGAN sementara pemilu legislatif menampakkan partai-partai Islam atau
yang berbasis Islam, perolehan suaranya terbukti berada di bawah partai
nasionalis. Namun, keinginan mereka untuk memenangkan pemilihan presiden
pada Juli nanti masih tampak besar. Keinginan untuk mendukung calon presiden
dari kalangan Islam dan memenangkan pemilihan presiden adalah sebuah
cita-cita yang mulia dan wajar dilakukan. Soalnya, dengan jumlah penduduk
mayoritas di Indonesia, umat Islam banyak yang merasa berhak untuk menguasai
negeri ini.
Dan bila kepemimpinan diserahkan pada umat lain atau orang yang diragukan
komitmen keislamannya, menurut mereka sangat dimungkinkan terjadi
peminggiran dan pengekangan aspirasi Islam. Salah satu agenda yang tampak
maka untuk mencapai kemenangan itu adalah membentuk Forum Umat Islam (FUI)
beberapa waktu yang lalu. Salah satu tujuan terpenting dari forum itu adalah
penyatuan langkah dalam menghadapi pemilihan presiden secara langsung pada 5
Juli mendatang. Langkah-langkah yang akan diambil, nantinya akan mengerucut
pada dukungan satu calon presiden yang berasal dari kalangan Islam.
Forum Umat Islam adalah sebuah forum yang tampak luar biasa dan solid.
Paling tidak, jika dilihat dari para penanda tangan deklarasinya. Hampir
semua partai politik Islam dan yang berbasis Islam (PKB dan PAN) mengikuti.
Belum lagi, ormas-ormas Islam dari yang kecil, sampai NU, Muhammadiyah, MUI
pun bersemangat mengikuti forum tersebut. Jika diamati, forum itu merupakan
bentuk langkah yang lebih maju dari gagasan koalisi parpol Islam yang sudah
bergulir sejak enam bulan terakhir.
Pengalaman sejarah
Langkah-langkah politik seperti di atas sebetulnya sudah terdapat preseden
sejarahnya, paling tidak mulai zaman kemerdekaan hingga Pemilu 1999 kemarin.
Dulu, ketika menjelang pemilu dilaksanakan, biasanya ormas dan parpol Islam
menggelar sebuah Kongres Umat Islam (KUI). KUI pertama yang dilakukan pada
tahun 1945, berhasil membentuk Partai Masyumi yang ditujukan untuk menampung
aspirasi politik dan memperjuangkan cita-cita umat Islam.
Dan KUI kedua yang digelar pada 1999, merekomendasikan untuk mengharamkan
presiden perempuan dan menolak caleg dari kalangan non-Islam. KUI tidak
diselenggarakan pada zaman Orde Baru, soalnya saat itu umat Islam
termarginalisasi secara politik dan terdapat larangan untuk menggelar
forum-forum yang berbau primordialis dan mengancam stabilitas negara.
Bila kita mempelajari pengalaman penyatuan umat Islam pada dua kali momen
penting itu, sebetulnya hasil yang dicapai tidaklah memuaskan dan sesuai
tujuan awal. Pembentukan Masyumi sebagai wadah tunggal politik umat Islam,
akhirnya tercerai berai oleh konflik internal akibat perebutan kursi menteri
dan jabatan strategis di partai. Dan NU akhirnya keluar dari Masyumi, dan
mendirikan partai sendiri pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun, pada akhirnya
juga keluar dari keanggotaan istimewa Masyumi dan lebih memfokuskan diri
pada kegiatan pendidikan dan dakwah sosialnya (Ahmad Syafii Maarif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, 1985). Begitu juga, KUI 1999 yang merekomendasikan
melarang calon presiden perempuan dan memilih parpol yang banyak mengajukan
caleg nonmuslim, akhirnya juga kandas di tengah jalan. Hal itu paling tidak
tampak dari kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 dengan suara yang
jauh melampaui parpol Islam.
Meski Poros Tengah yang sering dianggap sebagai turunan dari KUI berhasil
menghadang Megawati pada pemilihan presiden dan mendudukkan Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), hal itu hanya berlangsung sebentar. Dan akhirnya, Gus Dur
pun diturunkan akibat kekecewaan banyak parpol Islam dan umat Islam atas
sepak terjangnya yang cenderung kontroversial dan menguntungkan umatnya
sendiri. Kemudian Megawati yang sangat diragukan keislamannya dan yang
partainya didominasi oleh non-Islam, dengan pragmatisme politik para
politikus di Senayan, akhirnya didudukkan menjadi presiden.
Penyatuan umat Islam lewat jalur nonpolitik seperti pendirian ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 1990-an, terbukti juga banyak
mengecewakan. ICMI pada akhirnya hanya bertujuan untuk menggapai tangga
kekuasaan dan pembagian jatah menteri. Sedangkan aspek-aspek kultural dan
kerja-kerja sosial yang mestinya menjadi tujuan intinya, hanya menjadi hal
yang karikatif saja. Hal itu ditambah lagi dengan terlalu tertumpunya ICMI
pada figur Habibie. Dan setelah Habibie tidak lagi berkuasa, akhirnya ICMI
hanya menjadi perkumpulan para pensiunan menteri dan orang yang tidak
tertampung di partai. Apalagi, Adi Sasono sebagai Ketua Umum ICMI pun
akhirnya mengundurkan diri dan lebih senang berkiprah di partai.
Koalisi demokrasi
Maka, berdasarkan pengalaman preseden sejarah yang tampak kurang
menggembirakan itu, selayaknya kita tidak terlalu menaruh harapan yang
terlalu besar pada FUI (Forum Ukhuwah Islam). Terlebih lagi, forum itu
tampaknya juga hanya didasari pada tujuan jangka pendek untuk memenangkan
pemilu. Soalnya, banyak kerja-kerja kultural yang meski harus dilakukan dan
dicarikan strategi pelaksanaannya. Aspirasi umat Islam, tentu tidak akan
bisa hanya ditampung pada forum seperti itu. Dan Pemilu 2004, hanyalah
bentuk fase yang harus dilalui dalam waktu dekat ini. Sedangkan perjuangan
umat pada jangka panjang, tentu tidak hanya bisa digantungkan pada
kemenangan hari ini yang bisa jadi menguntungkan politikus dan petinggi
organisasi Islam itu.
Penyatuan politik umat Islam sebetulnya juga hanya akan mempertebal
eksklusivisme kelompok tertentu saja. Soalnya, bila ada organisasi atau
partai lain yang tidak mau masuk di dalamnya tapi juga menampung banyak umat
Islam, apakah aspirasinya juga akan diperjuangkan? Begitu juga dengan umat
agama lain, apakah dia akan hanya dijadikan warga negara kelas dua yang
aspirasinya akan dipinggirkan bila umat Islam berkuasa? Parpol dan ormas
Islam yang berkoalisi pun selayaknya juga harus diuji komitmen dan diteliti
track record-nya selama ini dalam memperjuangkan aspirasi umat. Bila mereka
terbukti tidak bisa dipercaya, berpengalaman menjadi politikus 'kutu
loncat', dan juga pernah melakukan korupsi, kenapa pula kita terlalu percaya
diri memercayakan aspirasi yang besar pada mereka?
Menurut penulis, koalisi yang layak dan harus dilakukan oleh umat Islam
adalah koalisi untuk demokrasi dan transformasi rakyat. Koalisi ini tidak
harus memandang asal agama dan kelompok masing-masing, tapi lebih
menitikberatkan pada substansi perjuangan dan pembelaan rakyat kecil. Paling
tidak, koalisi itu pada tahap awal harus melakukan penyadaran pada rakyat
akan pentingnya menghadang kekuatan lama, kekuatan status quo, dan kekuatan
yang terbukti menyengsarakan rakyat, menjual aset negara, melanggengkan KKN,
memperjualbelikan hukum, serta yang menampung para politikus bermasalah.
Maka, semua parpol yang terindikasi melakukan itu dan para aktivisnya pernah
membohongi rakyat, entah berasal dari Islam atau agama lain, hendaknya tidak
dipilih.
Harus segera disadari dan disosialisasikan secepatnya, bahwa jalur politik
dan kekuasaan yang dianggap sebagai jalan tercepat untuk mengubah nasib umat
adalah sebuah imajinasi yang menyesatkan. Soalnya, bila tidak ada kontrak
sosial antara pemilih dan para politikus, nasib umat hanya menjadi penyuplai
suara agar mereka (baca-para elite) mencicipi kursi kekuasaan. Reformasi
kultural dan politik, menurut pemikir Robert A Dahl, merupakan sebuah
keterkaitan yang harus dijalankan untuk mewujudkan negara yang demokratis.
Selain itu, transparansi, pelindungan hak-hak warga, kebebasan berpendapat,
pemajuan pendidikan, dan penegakan hukum adalah tujuan yang harus juga
menjadi agenda koalisi untuk demokrasi dan transformasi rakyat ini. Dengan
koalisi itu, pengawalan arah transisi dan pengentasan krisis sebetulnya
lebih dimungkinkan dibanding dengan koalisi yang mengagungkan simbol
primordialisme dan tujuan jangka pendek.***



No comments: