Friday, February 27, 2009

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF, ETIKA GLOBAL DAN PENGHORMATAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DALAM MASYARAKAT YANG SEDANG BERUBAH

Oleh

M. Habib Chirzin



Kepemimpinan Transformatif dalam Masyarakat yang sedang Berubah.

Kepemimpinan transformatif (Transformatif Leadership) sebagaimana yang antara lain dikembangkan Asia Pacific Online Network of Women in Politics, Governance, Decision-Making and Transformative Leadership, A project of the Center for Asia Pacific Women in Politics (CAPWIP) Women’s Global Rights, yang mengembangkan Asian Innovative Practices in Gender Mainstreaming, merupakan sebuah model kepemimpinan yang patut dikaji bersama, untuk kemudian dikembangkan dalam konteks sosial dan budaya Indonesia. Dalam masyarakat yang sedang berada dalam transformasi demokrasi, seperti yang terjadi di Indonesia pada saat ini, model kepemimpinan transformatif ini merupakan salah satu kunci keberhasilan dari proses reformasi yang masih berjalan tersendat-sendat. Dalam situasi yang sangat menentukan masa depan bangsa dan Negara seperti ini, kepemimpinan perempuan pada semua lini dan peringkat menjadi sangat imperatif. Bahkan sejak dua dekade yang lalu, sebenarnya gerakan perempuan dunia telah memperoleh momentumnya untuk bersama menentukan masa depan kemanusiaan dan kelestarian planet bumi ini dari kehancuran.

Model kepemimpinan transformatif ini juga dikembangkan telah di dalam “5th World Summit on Leadership and Good Governance” yang diselenggarakan oleh International Interreligious Forum for the World Peace (IIFWP), di Seoul, Korea pada bulan Februari, 2005, di mana penulis menjadi salah seorang pembicaranya. Di dalam masyarakat yang sedang berubah, yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, yang menyebabkan jarak ruang dan waktu menjadi sangat pendek, dan juga terjadinya kelangkaan sumber-sumber daya alam, serta berkembangnya ancaman-ancaman baru (diversification of threats), yang berupa global organized crimes, perdagangan perempuan dan anak-anak (women and children trafficking), penyucian uang (money laundering), penyalah gunaan narkoba, perusakan lingkungan hidup, dll, maka perlu dikembangkan, model kepemimpinan transformatif yang diperkaya dengan penghayatan spiritualitas dan tanggung jawab etik global (global ethics) serta kesadaran tentang hak-hak asasi manusia.

Spiritualitas feminis yang sangat dekat dengan spiritulias lingkungan hidup dan spiritualitas penciptaan, merupakan sumber kejiwaan bagi kepemimpinan yang mampu menyelamatkan masa depan kemanusiaan dan kelestarian bumi serta daya dukung ekologisnya, yang sekarang semakin terancam, oleh keserakahan dan tindak korupsi yang bersifat menghancurkan generasi. Dalam situasi seperti ini, ditambah semakin maraknya tindak kekerasan dan konflik-konflik sosial yang menimbulkan kurban terbesar di kalangan perempuan dan anak-anak, maka Etika Global, yang telah digagas semenjak Konperensi Parlemen Agama-agama di Chicago 1993 yang lalu, yang kemudian dikukuhkan di dalam konperensinya yang baru lalu di Barcelona, Juli 2004, menjadi bagian dari tanggung jawab etik bagi kelangsungan hidup manusia (human survival) dan kelestarian lingkungan (ecological sustainability) dan harmoni sosial (social harmony) dalam dunia yang semakin menciut (the shrinking world) dalam proses globalisasi. Kesadaran etika global ini juga diharapkan juga mengokohkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.

Selain spiritualitas dan etika kepemimpinan, juga pada tingkat kelembagaan semacam PERWARI ini, telah dirumuskan bersama sebuah Kode Etik Internasional untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (International Code of Ethics for NGOs). Kode etik internasional ini telah diresmikan bersama di dalam Konperensi Dunia LSM yang diselenggarakan oleh World Association of NGOs (WANGO) di Budapest, pada bulan Oktober 2004, di mana penulis juga berkesempatan menjadi salah seorang pembicaranya. Di dalam kode etik tersebut antara lain berupa 1- Guiding Principles, 2- NGO Integrity, 3- Mission and Activities, 4- Governance, 5- Human Resources, 6- Public Trust, Financial and Legal, 7-Fundraising, 8- Partnerships, Collaboration and Networking. Kode etik diharapkan dapat memberikan kerangka kerja dan performance dari organisasi kemasyarakatan dan LSM yang melakukan pemberdayaan, pembelaan dan pelayanan terhadap masyarakat. Dalam masyarakat yang sedang berubah dengan seperti yang tengah terjadi di Indonesia pada saat ini, penghayatan terhadap spiritualitas transformatif, etika global serta penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia hendaknya menjadi acuan bersama.

Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai Amanat Konstitusi

Kebangkitan bangsa Indonesia dari keterpurukan ekonomi, sosial dan budaya, yang telah membawa kepada keterpurukan kualitas hidup masyarakat Indonesia dan kualitas manusia Indonesia, harus segera diterobos lewat suatu strategi pendidikan yang memerdekakan, membangkitkan dan memanusiakan. Dengen mengembangkan kebijakan pendidikan untuk semua, yang murah, merata, terjangkau, nondiskrimiatif, berkeadilan gender, demokratis, berkepribadian dan berakhlak mulia. Amanat untuk memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan alasan dasar bagi disusunnya kemerdekaan Indonesia, yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Namun sampai menjelang ulang tahun kemerdekaannya yang ke 60, negara belum mampu melaksanakan amanat tersebut dengan sebagai mana mestinya. Pada hal hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Bahkan ia merupakan salah satu amanat utama dari pembentukan dan pendirian negara Republik Indonesia yang merdeka, sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka selama hampir 60 tahun, kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkankan. Bahkan menunjukkan gejala gradasi yang terus menerus, apalagi jika di banding dengan negara-negara jiran. Hasil tes yang dilakukan oleh International Association for Evaluation of Educational Achievement (IFA) dalam Trends in Mathematics and Sciences Study (TIMSS) 2003 menunjukkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia berada dalam kondisi yang sangat kritis. Evaluasi yang dilakukan oleh International Association for Evaluation of Educational Achievement (IFA) ini dapat dijadikan tolok ukur rendahnya mutu pendidikan, juga indicator-indikator kuantitatif yang tercermin di dalam indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) juga tidak memperlihatkan capaian yang berarti dalam pendidikan di Indonesia. Dicatat bahwa siswa Indonesia berada di dalam peringkat ke 34 dari 46 negara, untuk matematika dan peringkat ke 36 untuk sains, berdasarkan tes TIMSS. Sedangkan dalam laporan HDI Indonesia berada pada peringkat 111 dari 177 negara, di bawah peringkat negara-negara tetangga Singapura, Malaysia, Philippines dan Thailand. ( Bambang Wisudo, 2003, hal. 33)

PERWARI dan organisasi-organisasi serta pergerakan perempuan lainnya di tanah air yang menjunjung tinggi nilai moral dan religius serta memberikan kepeduliannya terhadap upaya terpenuhinya hak-hak rakyat untuk mengembangkan diri secara penuh; mempunyai kuwajiban moral dan politik untuk membangun kehidupan bangsa yang berharkat dan bermartabat, dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan yang merdeka, adil, berdaulat dan demokratis. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu kebijakan pendidikan bangsa yang merata, murah, terjangkau, non diskriminatif, demokratis dan mengembangkan kesetaraan gender. Dengan menekankan pendekatan, hak atas pendidikan sebagai hak rakyat yang harus dipenuhi, dimajukan, dihormati dan ditegakkan oleh negara dan masyarakat.

Pembangunan yang Berbasis Hak Asasi Manusia dan Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium.

Pembangunan yang berbasis hak asasi manusia menghendaki kebijakan yang selaras dengan prinsip-prinsip, instrumen dan standar internasional hak asasi manusia, serta instrumen nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ada perbedaan antara human-rights dengan human-capital approaches dalam pembangunan. Human Development Report 2000 mengakui bahwa meskipun terdapat persamaan ciri-ciri antara indikator pembangunan manusia dan indikator hak asasi manusia, kedua indikator ini juga memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Secara ringkas, indikator pembangunan mengukur kemajuan menuju perkembangan serta pertumbuhan dan bukan hak. Sebuah indikator hak-hak asasi manusia adalah sebuah alat untuk menentukan hingga sejauh mana suatu pemerintah memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan undang-undang hak asasi manusia. (Audrey R, Chapman, 2003, hal 65)

Pembangunan yang berbasis hak asasi di bidang pendidikan misalnya, telah dinyatakan di dalam amanat luhur kebangsaan Indonesia Indonesia tentang hak atas pendidikan, di dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen, ayat (1-) bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan di dalam ayat (2) dinyatakan , “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Amanat luhur kebangsaan ini dinyatakan lebih jelas lagi dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Hak atas pendidikan ia adalah hak ekonomi, sosial dan budaya yang sekaligus merupakan hak sipil dan hak politik. Pasal 13 Kovenan Hak-hak Ekonomi, sosial dan Budaya 1966, menyatakan : Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang beabs, memajukan pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.

Kalau kita perhatikan dengan cermat, maka nampak dengan jelas bahwa 7 dari 8 Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium adalah pembangunan yang berbasis Hak Asasi Manusia :

1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan;
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
3. Mendorong kesetaraan gender & pemberdayaan perempuan;
4. Menurunkan angka kematian anak;
5. Meningkatkan kesehatan ibu;
6. Mengurangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya;
7. Kelestarian lingkungan hidup;
8. Membangun kemitraan global dlm pembangunan.

Realisasi tujuan-tujuan pembangunan millennium ini sangat berkaitan dengan realisasi hak-hak dasar dalam kehidupan manusia. Dan realisasi dari Millennium Development Goals ini telah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia yang dinyatakan dalam Sidang Umum PBB di Millennium Summit, pada bulan Desember 2000. Dan ini telah menimbulkan “state’s obligation” untuk merealisasikannya.

Hak atas Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

Sampai menjelang ulang tahun ke 60 Proklamasi Kemerdekaan kita, bangsa Indoensia masih menghadapi problem yang mendasar dalam masalah hak atas pendidikan di Indonesia, yang terutama adalah masalah legislasi dan kebijakan. Belum selarasnya secara penuh undang-undang dan kebijakan pendidikan nasional dengan cita-cita luhur kemerdekaan dan konstitusi UUD 1945, instrumen-instrumen dan standar HAM nasional maupun internasional; menyebabkan pembangunan di bidang pendidikan belum berbasis atas hak-hak asasi. Menurut Katarina Tomasevski, Special Rapporteur PBB di bidang hak atas Pendidikan, bahwa hak asasi manusia adalah penjaga dari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power) oleh negara, termasuk di bidang pendidikan, yang dilakukan oleh pemerintah. Pengingkaran terhadap hak atas pendidikan, menjadi penyebab terekslusikannya seseorang dari kesempatan kerja, marginalisasi ke sector informal, yang dibarengi dengan eksklusi dari skema jaminan sosial dsb. Mengatasi ketimpangan sosial ekonomi dan kesempatan mencari penghidupan yang layak, tidak mungkin dilakukan tanpa mengakui dan memenuhi hak atas pendidikan. Demikian pula banyak problem sosial, ekonomi, budaya dan politik yang tidak dapat dipecahkan, kecuali dengan menyelesaikan persoalan hak atas pendidikan ini, sebagai kunci untuk membuka pemenuhan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya lainnya; termasuk hak sipil dan politik. (Katarina Tomasevski, 2003, hal 32-33)

Amanat tentang hak atas pendidikan, secara jelas dinyatakan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen, ayat (1-) bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan di dalam ayat (2) dinyatakan , “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.Amanat ini ditegaskan lagi dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Pendidikan sebagai hak asasi manusia ini secara lebih spesifik dinyatakan di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 12 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi” .

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III, Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4, menyatakan, 1- “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi”. sedangkan di dalam Pasal 11, dinyatakan (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Hak atas pendidikan juga merupakan hak sipil dan politik yang harus dilindungi, dimajukan, dihormati dan dihormati oleh negara, antara lain termuat di dalam pasal 18 ayat 4, Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik, yang menyatakan : “Negara-negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri”.

Selain dari Kovenan tersebut di atas, hak atas pendidikan ini juga dijamin di dalam Konvensi Hak-hak Anak 1989, dalam pasal 28, ayat 1 dan 3 yang antara lain menyatakan (Ayat 1) “State Parties recognize the right of the child to education, and with the view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, they shall, in particular : (a) Make primary education compulsary and available free to all……”

Sedangkan di dalam ayat 3, disebutkan : “ State Parties shall promote and encourage international cooperation in matters relating to education, in particular with a view to contributing to the elimination of ignorance and illeteracy through out the world and facilitating access to scientific and technical knowledge and modern teaching methods. In this regard, particular account shall be taken of the nds of developing countries.”

Pendidikan untuk Semua yang Berkeadilan Gender.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak enam tahun yang lalu, semakin mahalnya beaya pendidikan, berbarengan dengan ketidak sungguhan pemerintah dalam melaksanakan amanat konstitusi tersebut, berakibat pada semakin jauhnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena tidak meratanya pendididikan.

Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas menunjukkan bahwa pada tahun 2002 belum semua anak usia 7-15 tahun dapat menggunakan haknya untuk belajar di SD/MI dan SMP/MTs. 98,27 % anak usia 7 – 12 tahun (usia SD/MI) yang berjumlah 25,636 juta anak yang bersekolah di SD/MI, dan baru 79,07 % dari seluruh anak usia 13-15 tahun (usia SMP/MTs) yang berjumlah 12,888 juta yang bersekolah di SMP/MTs. Menurut Dodi Nandika, dapat dipastikan kendala utama masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya adalah besarnya beaya pendidikan, termasuk pendidikan dasar dan menengah. ( Dodi Nandika, 2004, hal. 46)

Indonesia bersama dengan negara-negara lain di dunia telah menerima dan menanda tangani Deklarasi Pendidikan untuk Semua ( Education for All ) yang dihasilkan oleh konperensi dunia yang diselenggarakan oleh UNESCO, yang bertajuk “Konperensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua” di Jomtien, Thailand mulal tanggal 5 sampai dengan tanggal 9 Maret 1990, yang telah membuat pernyataan bersama bahwa : “Kami para peserta Konperensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, menegaskan kembali hak semua manusia untuk pendidikan. lnilah dasar bagi tekad kami, sendiri dan bersama, untuk menjamin pendidikan untuk semua”.

Selanjutnya dinyatakan bahwa : “Kami berjanji dan bertekad untuk bekerjasama melalui bidang tanggungjawab kami masing-masing mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan bagi semua orang. Bersama-sama kami mengajak semua pemerintah, semua organisasi yang berkaitan dan perorangan untuk bersama-sama melaksanakan tugas yang mendesak ini”.

Didalam deklarasi tersebut juga dinyatakan bahwa , kebutuhan belajar dasar untuk semua dapat dan harus dipenuhi. Tiada jalan lain yang lebih bermakna selain memulai Tahun Aksara lnternasional, bergerak terus ke arah tujuan Dasawarsa Manusia Cacat PBB (1983-92), Dasawarsa Dunia untuk Pembangunan Kebudayaan (1988-97), Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita dan Strategi Masa depan untuk Memajukan Kaum Wanita, dan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Inilah waktu yang paling tepat untuk menyatakan tekad kami menyediakan kesempatan belajar dasar bagi semua manusia di dunia ini.

Oleh karena itulah, maka Negara-negara anggota UNESCO, menerima Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua: Memenuhi Kebutuhan Belajar Dasar dan menyetujui Kerangka Kerja untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Dasar demi tercapainya tujuan-tujuan yang ditetapkan di dalam Deklarasi ini.

Sistem pelayanan untuk pendidikan dasar bagi anak-anak di luar keluarga adalah sekolah dasar. Sekolah dasar hendaklah bersifat semesta, menjamin bahwa kebutuhan belajar dasar semua anak dipenuhi, dan memperhatikan kebudayaan, kebutuhan dan kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan dasar untuk semua yang merata, gratis, terjangkau, tanpa diskriminasi dan berkualitas merupakan perjuangan bersama yang sangat mendesak bagi kebangkitan bangsa ini dari keterpurukannya yang sangat memprihatinkan.


Perjuangan untuk Peningkatan Anggaran Pendidikan Nasional

Ketidak sungguhan negara untuk memberikan pendidikan yang merata bagi warga negara, dapat dilihat dari data-data mutakhir tentang pendidikan nasional di Indonesia. Sedangkan di dalam pasal 46 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen, disebutkan bahwa menyelenggarakan pendidikan merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah. Pasal tesebut juga menyebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara. Bahkan di dalam pasal 31 ayat 4 dinyatakan bahwa anggaran pendidikan diprioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

Fenomena semakin meningkatnya keluhan masyarakat atas mahalnya beaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terjangkaunya pendidikan oleh sebagian anggota masyarakat telah menyebabkan terlantarnya anak-anak usia sekolah di beberapa daerah di Indonesia tanpa memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai. Demikian pula rusak dan tidak terawatnya gedung-gedung sekolah dasar menyebabkan anak-anak tidak dapat melakukan kegiatan belajar dengan tenang dan nyaman. Situasi ketidak tersediaan fasilitas pendidikan secara memadai ini lebih menyedihkan di daerah konflik maupun yang tertimpa bencana, semisal di Aceh. Kebijakan pemerintah tentang evaluasi tahap akhir belajar, status guru dan kebijakan dan praktek-praktek komersialisasi perbukuan akhir-akhir ini semakin meresahkan masyarakat. Situasi seperti ini menyebabkan terjadinya problem availability, access dan acceptability dalam pendidikan. Perjuangan untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN menjadi tugas suci bangsa Indonesia, untuk menuju kepada kebangkitan bangsa. Bukan hanya kerjasama antara pemerintah dan DPR yang didorong, tetapi peran kontrol dari masyarakat sipil, pers dan berbagai media informasi dan komunikasi lainnya, perlu bekerjasama untuk memberikan tekanan atas realisasi anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut.

Perjuangan Peningkatan Kualitas dan Kesejahteraan Guru

Berbagai realitas pendidikan nasional yang memprihatinkan, serta kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai, serta ketidak tersediaan maupun kerusakan gedung-gedung sekolah dan fasiltas; ditambah dengan kekurangan jumlah guru yang memiliki kualifikasi, terutama di daerah-daerah terpencil menyebabkan kualitas pendidikan yang rendah. Tidak sedikit sekolah-sekolah di daerah terpencil yang terpaksa menggabungkan beberapa tingkatan kelas pada satu ruang sedehana. Padahal guru tidak dibekali pendidikan tentang bagaimana mengelola kelas yang berbeda dalam satu ruangan. Maupun pengajaran mata pelajaran yang berbeda-beda. Belum lagi persoalan gajih guru yang relatif masih kecil disbanding dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Guru Bantu dan guru kontrak sebagai fenomena baru dalam khazanah pendidikan di Indonesia dibayar Rp.400.000,- perbulan, lebih rendah dibanding dengan UMR di DKI Jakarta, sebesar RP. 700.000,-. Guru tamatan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dengan Golongan IIB, pada awal masa kerjanya mendapat gaji Rp. 782.000,- perbulan. Seorang Guru yang masa kerjanya mencapai 33 tahun, gaji pokoknya RP 1 juta perbulan, dengan kenaikan gaji berkala perdua tahun berkisar antara Rp. 17.000,- hingga Rp. 24.000,- . Persoalan kesejahteraan guru sangat terkait dengan profesionalitas guru . ( Nasru Alam Aziz, 2004, hal 5)

UU No 20/2003 tenteng Sistem Pendidikan Nasional mengatur hak-hak guru, namun belum terpenuhi secara memadai. Pasal 40 menyebutkan, pendidik dan tenaga kependidikan berhak mendapat penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerja; pembinaan karir sesuai tuntutan pengembangan kualitas; perlindungan hukum atas hasil kekayaan intelektual; dan kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilita pendidikan guna menunjang pelaksanaan tugas. Peningkatan kulaitas guru tidak mungkin dilakukan kecuali bersamaan dengan pengingkatan kesejahteraan mereka.

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

Kalau dicermati data statistik, baik yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Depdiknas, Badan Kepegawaian Negara (BKN) maupun hasil-hasil studi dan pengamatan terhadap sistem pendidikan nasional, ditemukan beberapa gejala kesenjangan gender di bidang pendidikan, yang antara lain terjadi dari gejala berbedanya akses atau peluang bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Susenas 2000 menunjukkan penduduk perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan SLTP ke atas baru mencapai 36,9 % sementara penduduk laki-laki 46%. Data tersebut menunjukan bahwa penduduk perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan di atas SLTP lebih kecil dibanding laki-laki. Berdasarkan Susenas 2000, penduduk perempuaa yang berpendidikan tinggi baru sekitar 3.06% atau lebih rendah dari penduduk laki-laki yang mencapai 4,17%. Selain itu persentase penduduk perempuan yang buta huruf berdasarkan statistik BPS tahun 2000 adalah sebesar 23,1 %, juga jauh lebih tinggi dari penduduk laki-laki mencapai angka 10,7%.

Kalau diperhatikan seksama, persentase penduduk perempuan yang melek huruf memang terus mengalami peningkatan, tetapi masih tertinggal dari penduduk laki-laki. Data tahun 1980 menunjukkan , hanya 63% perempuan berbanding dengan 80% laki-laki yang melek huruf (SP, 1980). Pada tahun 1990, persentase melek huruf perempuan meningkat menjadi 79% sementara laki-laki sudah mencapai 90% (SP, 1990), Penduduk perempuan yang melek huruf terus meningkat mericapai 85,54% tetapi masih tetap tertinggal dari penduduk laki-laki yang melek huruf, yaitu 93,4% (Susenas 1996)

Dari segi jenjang pendidikan mislanya, pada jenjang SD, SLTP dan SMU, kesempatan memperoleh pendidikan untuk perempuan relatif tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Pada tahun 2000, APM perempuan di SD adalah 92,6% berbanding 92%. Di SLTP APM perempuan adalah 60,7% berbanding 58,6% laki-laki, sedanglan di SMU adalah 38,9% perempuan berbanding dengan 36,7% laki-laki, sedangkan APM di perguruan tinggi Adalah 8,9% perempuan berbanding 10,9% laki-laki.

Dilihat dari segi roses pembelajaran, masih belum berwawasan gender dan cenderung memihak laki-laki (male bias). Laki-laki cenderung ditempatkan pada posisi yang lebih menguntungkan dalam keseluruhan proses pendidikan misalnya dalam Memimpin kelas, memimpin organisasi siswa, memimpin kelompok belajar, memimpin diskusi kelompok, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan pendapat, dan sebagainya.

Meskipun angka partisipasinya berbeda, perempuan lebih mampu bertahan dibandingkan dengan laki-laki. Angka putus sekolah siswa perempuan selalu lebih kecil, khususnya pada SMU, SMK dan Perguruan Tinggi. Siswa perempuan juga lebih banyak yang dapat menyelesaikan sekolah sampai lulus dibandingkan dengan lakilaki. Gejala-gejala tersebut menunjukan bahwa peserta didik perempuan lebih optimal dalam memanfaatkan kesempatan belajar. Dari segi buku, teks pembelajaran di sekolah, muatan buku-buku pelajaran yang membahas status dan fungsi perempuan dalam masyarakat menunjukan muatan bahan ajar yang belum peka gender (gender blind). Hal ini akan memberikan banyak pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. Muatan sebagian buku-buku pelajaran (IPS, PPKn, Pendidikan Jasmani, bahasa dan Sastra Indonesia , serta Kesenian yang diamati cenderung belum berwawawasan gender. Para pengembang kurikulum dan penulis buku-buku pelajaran lebih dominan laki-laki yaitu sebesar 85% (Gramedia, 2000). Para penulis buku pelajaran tersebut umumnya belum peka gender, termasuk para penulis perempuan.

Beberapa factor yang diidentifikasi mempengaruhi terjadinya berbagai gejala ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan antara lain terjadi pada tiga kelompok permasalahan kebijakan pendidikan, yaitu (a) Pemerataan Kesempatan Belajar; (b) Penjurusan dan Program studi; serta (c) Kurikulum, Bahan Ajar dan Proses Pendidikan. Konsep kesetaraan gender ini harus diterjemahkan menjadi kebijakan dan program pembangunan sektor, dimonitor prosesnya dan diukur hasilnya. Human Development Report (HDR) menyempurnakan pengukuran indikator pembangunan gender dengan mengenalkan Indeks Pembangunan Gender (IPG), IPG melihat ketimpangan gender dalam pembangunan dengan memperhitungkan variabel yang sama dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tetapi memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara Laki-laki dan Perempuan. IPM mengukur rata-rata pencapaian secara umum seperti; angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, pengeluaran per-kapita tetapi tidak memperhitungkan perbedaan tingkat pembangunan manusia yang dicapai Laki-laki dan Perempuan. Dengan kata lain, IPG adalah IPM yang disesuaikan dengan melihat ketimpangan gender. Makin besar kesenjangan antar gender dalam pembangunan manusia, makin rendah nilai IPG suatu negara, makinrendah pula nilai IPM-nya.

Data pada tahun 1999, IPG Indonesia masih sangat rendah, yaitu 92 dari 162 negara. Peringkat ini dibanding dengan negara-negara ASEAN sangat jauh tertinggal, misalnya Thailand, dan Philipina yang masing-masing berada pada rangking ke-55, 58, dan 62, rendahnya peringkat IPG Indonesia salah satunya disebabkan rendahnya indikator IPG, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata masa sekolah, dan tingkat partisipasi angkatan kerja Perempuan.

Rekomendasi

Untuk bersama-sama membangun masa depan Indonesia yang adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat yang nyata dan sungguh-sungguh, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1- Membangun jaringan kerjasama untuk memperjuangkan penyusunan kebijakan pendidikan untuk semua, yang merata, murah, non diskriminatif, dan menuju kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai hak asasi dan bukan komoditi yang dikomersialisasikan.
2- Memperjuangkan terselenggaranya pendidikan berkesetaraan gender, dengan mengarus utamakan gender dalam kebijakan dan pelaksanaan pendidikan di semua jenjang dan jenis pendidikan.
3- Perlunya kerjasama untuk memperjuangkan Hak atas Pendidikan sebagai Hak Asasi Rakyat, dengan melakukan advokasi dan kegiatan legislasi, pengkajian Instrumen Internasional maupun Nasional. Serta memperperjuangkan ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,
4- Memperjuangkan peningkatan Anggaran Pendidikan sebesar 20 % dari APBN, sesuai dengan amanat konstitusi, untuk memenuhi hak atas pendidikan sebagai hak asasi manausia
5- Bekerjsama dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, media massa dan lembaga-lembaga pengkajian untuk memantau kebijakan dan pelaksanaan pedndidikan nasional.

No comments: