Friday, February 27, 2009

Merancang Pendidikan Transformatif

Oleh: Teddy Suryana

Wacana tentang pendidikan yang mengemuka akhir-akhir ini,
seharusnya diselesaikan secara tuntas. Sebab, perdebatan seputar pendidikan
Indonesia tersebut baru sebagian yang sampai menghujam pada akar persoalan
pendidikan kita. Perdebatan mutakhir berputar pada wacana otonomi daerah (otda)
yang berpengaruh pada persoalan kebijakan dan finansial.Akan tetapi, sejauh yang kita amati, wacana pendidikan tersebut belum
menghunjam pada akar persoalan pendidikan di Indonesia. Artinya, pendidikan
seharusnya dibaca dalam kerangka konstruksi ideologis yang tersembunyi di balik
pendidikan Indonesia. Tanpa pembacaan seperti itu, berbagai perbincangan
tersebut hanya karikatural belaka. Tulisan ini membaca pendidikan sebagai suatu
'teks' yang tidak terlepas dari teks lain dan juga konteksnya.

Pendidikan merupakan salah satu entitas sosial yang terelasi dengan teks sosial
yang melingkupinya. Artinya, konstruksi pendidikan suatu bangsa merupakan salah
satu metafor kebudayaannya, yang merefleksikan ideologi dan filsafat
pendidikannya. Karena itu, persoalan sosial suatu bangsa tidak dapat dilepaskan
dari konstruksi pendidikannya yang menjadi kerangka kerja proses sosial.

Dengan demikian, pendidikan harus dibaca dalam setting sosial dan budayanya
yang terajut dalam interrelasi antarteks sosial. Pembacaan tersebut memunculkan
realitas, pendidikan di Indonesia disubordinasikan dalam wacana
developmentalism yang merupakan ideologi ekonomi negara.Ini terlihat, misalnya, dalam berbagai kebijakan dan politik pendidikan yang
diterapkan. Konsep subordinasi organ mahasiswa di bawah rektorat era Daoed
Yoesoef, konsep link and match yang digagas era Wardiman, konsep Pengabdian
Pada Masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dibangun atas dasar
asumsi teori modernisasi dan terakhir gagasan otonomi perguruan tinggi,
merefleksikan wacana developmentalistik. Selain ideologi kapitalisme,
pendidikan kita, konon, juga menjadi penandaan bagi ideologi militeristik
seperti terefleksikan dalam penyeragaman dari cara bersetubuh hingga nalar,
feodalisme yang tecermin dalam metodelogi pengajaran yang berlogika
kawula-gusti dan nasionalisme-fasis melalui penjejalan doktriner ideologi
Pancasila.

Subordinasi kasar ini, lama kelamaan mendistorsi filsafat dasar pendidikan
bangsa sebagai wahana pencerdasan dan pencerahan bangsa. Pendidikan berjalan di
luar kodratnya. Kurikulum pendidikan didominasi sains positivistik dan
paradikma fungsionalisme yang juga dipaksakan diterapkan dalam sains sosial dan
humaniora. Keberhasilan pendidikan diukur melalui nilai verbal dan ijazah tanpa
mau tahu proses material munculnya nilai tersebut.

Maka, yang terjadi adalah pendidikan hanya menjadi wahana transfer of knowledge
yang oleh Freire dikatakan tidak lebih dari pendidikan preskriptif, jauh dari
pendidikan dialogis yang ideal. Model pendidikan tersebut merupakan model
pendidikan yang dalam bahasa Freire, membelenggu (domesticating) yang kontras
dengan pendidikan membebaskan (liberating), yang selain memuat dimensi to know
juga memuat dimensi to transform.

Oleh karena pendidikan diseting untuk memenuhi hanya salah satu aspek dalam
kehidupan manusia yakni kepentingan pasar, maka pendidikan tidak dapat
responsif menghadapi dinamika dan perubahan sosial yang kompleks. Pendidikan
yang tidak dirancang untuk menjawab tantangan secara komprehensif tantangan
masa depan ini, menjadikannya mengalami stagnasi bahkan involutif karena gagal
mengakomodasi transformasi sosial yang ada.

Involusi tersebut tecermin, misalnya, dalam dataran teknis. Upaya membangun
infrastruktur yang memadai sebagai investasi masa depan, dipandang kurang
penting dibanding anggaran militer. NER (Net Enrolment Ratio) untuk tingkat SD,
SMP, SMU di Indonesia yang rata-rata lebih rendah dibanding negara berkembang
lainnya, dapat dijelaskan dalam politik pendidikan ini.Dalam tataran diskursus, pendidikan yang berjalan di luar kodratnya melahirkan
tradisi fashion dalam pergulatan intelektualisme. Tren diskursus intelektual
yang berkembang tidak berasal dari basis sosial permasalahan yang ada. Namun
terpengaruh oleh isu intelektualisme yang berkembang di barat yang memiliki
basis sosial berbeda.

Era 1990-an, misalnya, intelektual terkena demam postmodernism sebagai wacana
an sich yang tidak dibenturkan dengan realitas objektif. Begitu juga wacana
civil society yang amat penting itu. Wacana ini lebih sering dibaca secara
konseptual daripada elaborasinya dalam konteks Indonesia. Tren wacana paling
mutakhir adalah cultural studies, yang siap dijadikan onani intelektual. Maka,
dapat dikatakan wacana yang dikembangkan intelektual tidak sebangun dengan
persoalan sosial yang digumuli rakyat, terserabut dari akar sosial dan
kulturalnya.

Oleh karena itu, diperlukan paradigmatisasi pendidikan transformatif. Suatu
pendidikan yang dikembangkan sesuai kebutuhan objektif, visioner, didasarkan
atas falsafah tujuan negara. Pendidikan ini diarusutamai oleh menyatunya
pendidikan dengan persoalan sosial yang tengah digumuli rakyat dan memberikan
perspektif terhadap problematika masa depan. Pendidikan tersebut menghendaki
pendidikan dibaca sebagai salah satu entitas sosial yang diletakkan dalam
kerangka besar transformasi masyarakat Indonesia. Dengan demikian, pendidikan
transformatif adalah pendidikan yang mampu menggerakkan transformasi sosial.
Gagasan paradigma ini dimulai dengan melakukan dekonstruksi total terhadap
konstruksi ideologi pendidikan Indonesia sekarang. Tugas dekonstruksi ini
diarahkan untuk membebaskan pendidikan dari berbagai belenggu ideologis dan
politik yang menyelubunginya.

Pendidikan harus dibebaskan dari proyek hegemoni penyebarluasan teori
modernisasi, seperti digambarkan Escobar (1990; dalam Mansur Faqih; 1996: 74),
'penciptaan jaringan kerja yang luas (dari organisasi internasional dan
universitas hingga pelaku pembangunan tingkat lokal) yang menjamin pemungsian
aparat ini secara efisien. Sekali dikonsolidasikan, sistem ini menentukan apa
yang dapat dikatakan, dipikirkan, dibayangkan. Singkatnya, sistem itu
mendefinisikan bidang perseptual, ruang pembangunan'.

Pendidikan di Indonesia era Orba, di samping disubordinasikan dalam
developmentalism juga dipakai sebagai instrumen politik mempertahankan
kekuasaan. Fiske (1998; Rahmat Wahhab: 1999) mengatakan, sekolah merupakan
sumber kekuasaan politik, media praktik kekuasaan dan senjata politik. Orde
baru menjadikan pendidikan sebagai sumber kekuasaan dengan cara mempekerjakan,
memberhentikan, mempromosikan dan mengangkat guru dan pegawai untuk mendapatkan
dukungan. Ini terlihat, misalnya, ketika Letjend Amir Machmud (mendagri) pada
1997 mengarahkan seluruh anggota Korpri untuk menyatakan loyalitas tunggalnya
pada Golkar.

Itulah strategi kuasa Orba yang disebut Gus Dur dengan meminjam analisis
governmental rationality-nya Foucault, dengan istilah regementasi. Yaitu
strategi Orba dalam menjalankan pengendalian politik secara lengkap,
sistematis, sentralistik, dalam membangun legitimasinya. Pendidikan menjadi
salah satu instrumen politik untuk menangkal bahaya (politic of exclusion),
reproduksi dan distribusi wacana resmi.

Proses dekonstruksi di atas dilanjutkan dengan rekonstruksi pendidikan.
Rekonstruksi menuju pendidikan transformatif yang didasarkan atas kondisi
objektif dan proyeksi masa depan yang hendak dicapai. Pada titik ini,
pendidikan Indonesia menghadapi tantangan internal dan eksternal yang berat.
Problem internal terkait dengan dunia pendidikan sendiri seperti filsafat
dasarnya, infrastruktur, sumberdaya manusia, dana dan kelembagaan dalam
kebijakan politik pendidikan.

Secara eksternal, pendidikan dihadapkan pada problem nasional dan kompeksitas
problematik globalisasi. Problem nasional bukan hanya persoalan krisis ekonomi
yang tak kunjung usai, namun juga mencakup current issues seperti SARA,
pluralisme, lingkungan hidup, etika dan demokrasi. Sedangkan problem global
dipicu oleh tantangan dan dampak revolusi teknologi informatika, komunikasi dan
komputer. Revolusi teknologi yang menjadi sokoguru kapitalisme ini, menciptakan
kompetisi antarbangsa yang bercorak keunggulan SDM. Juga berbagai dampak buruk
yang menyertakan yang terangkum dalam isu global serta hegemoni ekonomi negara
maju.

Tanpa merancang paradigma pendidikan transformatif, pendidikan Indonesia tidak
akan dapat memberi konstribusi dalam transformasi sosial di abad ke-21. Bahkan,
jika pendidikan Indonesia masih tetap menghirup udara sosial positivistik, maka
barangkali perlu direnungkan pandangan sejarah Levi Strauss, yang melihat
pengembangan sains hanya akan membawa manusia pada kehancuran struktur nilai
peradabannya.

No comments: