Friday, February 27, 2009

Kepemimpinan Transformatif

oleh ; Yudi Latif

Di Multazam, sambil merapatkan tubuh ke dinding Ka'bah, yang pertama
terlintas dalam doaku adalah Indonesia: "Ya Allah, jadikan negeriku
tempat yang aman. Berkatilah warganya dengan kemakmuran dan
kebahagiaan. Tumbuhkanlah para pemimpin yang lebih besar dari dirinya
sendiri."

Seperti Ismail siap disembelih, ucapan Sherif Haramaian yang menerima
rombongan terasa menusuk kalbu. "Indonesia tempat bermukim seperlima
pemeluk Muslim dunia dengan kekayaan alam, terlalu penting untuk
dilupakan dan terlalu menjanjikan untuk disia-siakan."

Ada percik kebenaran dalam ucapannya. Sekadar berbekal minyak, Arab
Saudi nan tandus dengan kepemimpinan otoritarian, toh masih sanggup
menghadirkan kesejahteraan bagi warganya.

Ketika Raja Fahd dibuatkan istana di sebuah bukit pinggir kota
Madinah, masih tersisa kearifan tradisional yang menggugah
keinsyafannya. "Bagaimana mungkin saya tinggal di atas bukit,
sedangkan rakyatku bermukim di bawah sana."

Adapun Indonesia, negeri subur dengan kepemimpinan demokratis yang
seharusnya memuliakan daulat rakyat, bayangan yang segera terlintas
adalah barisan TKI yang miskin marwah dan perlindungan.

Dalam pesawat yang membawa pulang, seorang TKW yang mengalami gangguan
ingatan—yang menurut para pramugari merupakan fenomena yang
lumrah—secara ngelantur menyebut Indonesia sebagai "Ibu pertiwi yang
tega menyembelih anak-anaknya sendiri".

Tirani mayoritas

Setelah demokratisasi berjalan sembilan tahun, tanpa perbaikan
kualitas hidup, mestinya terbit kesadaran lain, tirani pemerintahan
tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan (freedom).
Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik yang memperhadapkan tirani
dengan keadilan (justice). Kebebasan tanpa keadilan hanya membuat
tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah
lembut permainan prosedur.

Jauh hari, pemikir demokrasi seperti Alexis de Tocqueville wanti-wanti
akan kemungkinan munculnya bentuk tirani lain dalam demokrasi, yakni
tirani mayoritas. Namun, dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia,
yang muncul tetap tirani minoritas, yakni tirani pemodal yang
bersekutu dengan oligarki kepartaian.

Jika masalah demokrasi kita adalah defisit keadilan, bukan kebebasan,
maka isu utamanya bukan pergantian elite dan prosedur politik, tetapi
kapasitas transformatif kekuasaan. Bagaimana mengakhiri gerak
sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal
yang berorientasi kemaslahatan umum. Malang, pergeseran dari
otoritarian menuju demokrasi di Indonesia belum menyentuh aspek ini
sehingga upaya reformasi tidak menghasilkan perubahan substansial.

Dalam hal ini, watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meski
kepemimpinan merupakan fitur permanen yang diperlukan masyarakat dan
segala zaman, perlu dicatat tidak ada pemimpin yang cocok untuk segala
musim. Seperti dikatakan Montesquieu dan Max Weber, kepemimpinan
merupakan fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup, dan
kepentingannya, tergantung perkembangan masyarakat. Konsekuensinya,
kekuasaan dan lokus tindakan seorang pemimpin ditentukan oleh watak
personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya.

Krisis kepemimpinan

Masa krisis dan kekacauan memerlukan peran kepemimpinan yang lebih
besar sekaligus pemimpin besar (great men) dibanding pada masa normal
dan stabil. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi
munculnya para pemimpin karismatis dengan pesan pembebasan dan
pemulihan tertib politik.

Namun, perkembangan antiteori sekali lagi terjadi di Indonesia. Krisis
terus memagut, tetapi para pemimpin karismatis tak kunjung muncul,
atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana
seperti inilah yang kini diratapi sebagai krisis kepemimpinan. Hal itu
terjadi karena rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan di era
reformasi lebih mengandalkan sumber daya "alokatif" ketimbang
"otoritatif".

Yang pertama berarti kemampuan kontrol atas aneka fasilitas material.
Yang kedua adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain
berdasar kewibawaan visi dan ideologis. Yang dipikirkan bukan
kapasitas transformatif kekuasaan, tetapi daya beli para pemimpin.
Akibatnya, partai politik gagal mereproduksi intelektual organiknya;
sedangkan para pemimpin yang punya bibit-bibit karismatis sebagai
pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika "alokatif",
yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.

Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak
kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu menghadang kita. Itu
sebabnya mengapa new deal harus diperjuangkan seiring kemunculan new
dealers.

Kita harus memulai perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal
di mana kekuasaan bukan akhir perjalanan, tetapi sarana untuk
memperjuangkan kebajikan bersama. Setiap pemimpin di segala bidang dan
tingkatan harus menyadari dan belajar mengemban tugas pastoral,
sebagai penggembala yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan
rakyatnya. Untuk itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar
dari dirinya sendiri.

Seperti kata Vaclav Havel, "Mustahil menulis persoalan besar tanpa
hidup dalam persoalan besar, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi
manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa
tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab
terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri." Dengan jiwa
para pemimpin yang kerdil, kekayaan alam hanya akan menjadi sumber
kutukan


No comments: