Wednesday, November 24, 2010
Pemimpin sebagai Agen Perubahan
Sunday, November 21, 2010
Idul Adha dan Kepedulian Sosial
Saturday, October 30, 2010
NeoLiberalisme
(Direktur Kajian Politik dan Strategi The Sultan Center)
Neoliberalisme merupakan filosofi yang lahir pada abad 20-an. Prinsip pokok dari neoliberalisme adalah pasar dan perdagangan bebas. Neoliberalisme memandang bahwa kapitalisme dapat ditandai dengan adanya pasar, tanpa pasar tidak ada kapitalisme. Keyakinannya, bahwa pasar merupakan sebuah ruang fisik atau ruang bagi orang-orang yang akan menjual atau menukarkan sesuatu. Meminjam pemikirannya Peter L. Berger, (1986:19) bahwa kapitalis neoliberal merupakan kegiatan produksi yang diorientasikan untuk kepentingan pasar dan dilakukan oleh individu atau bersama-sama dengan tujuan memperoleh laba sebanyak-banyakya.
Wednesday, July 14, 2010
Plus-Minus Penyederhanaan Partai
(Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan pengajar Program Pascasarjana Universitas Paramadina)
Belakangan ini dunia perpolitikan kita kembali diramaikan dengan kontroversi seputar isu penyederhanaan partai terkait dengan revisi Undang-Undang tentang Partai Politik. Perampingan partai kita dapat dilakukan melalui electoral engineering, yakni electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT).
Partai-partai yang tidak lolos PT di Pileg 2009 maupun partai-partai menengah cenderung menolak usulan ET dan PT, termasuk usulan meningkatkan PT dari 2,5% ke 5%. Sebaliknya, partai-partai besar cenderung bersikukuh bahwa penyederhanaan kepartaian kita melalui ET dan PT musti dilakukan.
ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berkutnya. Dalam pasal 9 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu dikatakan bahwa parpol dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR, 4% jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan 4% jumlah kursi di Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Thursday, May 20, 2010
Cilegon Perlu pemimpin Cerdas....?
(Direktur Kajian dan Politik The Sultan Center )
Pemilu kepala daerah tinggal beberapa bulan lagi, rakyat dibingungkan dengan isu dan photo calon walikota yang mulai menghiasi fasilitas umum terutama dipinggiran kota. Lantas masyarakat bertanya-tanya itu photo siapa, anaknya siapa, kuliahnya di mana, dan apa peran yang telah dilakukan dalam mengangkat martabat rakyat?.
Fenomana diatas paling tidak menarik untuk dicermati sehingga muncul pertantanyaan, apakah dengan menebar photo dan baliho di perkampungan akan menuai hasil yang diharapkan? Terlebih photo dan baliho tersebut dikemukakan selogan yang cukup “fantastis” yang seakan-akan dengan menjadi walikota satu-satunya cara untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Agama dan Kekuasaan
(Direktur Kajian dan Politik The Sultan Center)
Pesta demokrasi sedang kita jelang dan rayakan, yakni pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Tentunya ada segudang asa dan harapan untuk perbaikan daerah ke depan, terlebih memperbaiki kualitas demokrasi dan melanjutkan proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tercatat ada bebepa daerah dipropinsi banten yang akan menggelar pemilukada dalam waktu dekat yakni Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Pandeglang. Dari dinamika ini ada yang menarik untuk menjadi bahan diskusi yakni diskursus agama dan kekuasaan.
Saturday, March 13, 2010
Menyoal Tenaga Ahli DPRD
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui para legislator di kursi DPRD. Hal ini merupakan ajakan penulis untuk bersama-sama melakukan kontemplasi, agar pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang menjadi lebih optimal.
Penulis menyadari bahwa para legislator yang berada di DPRD memiliki pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni. Apalagi setiap partai politik juga telah memberikan pembekalan kepada setiap anggotanya sebelum pelantikan dilaksanakan. Dengan dua alat ukur tersebut, setiap anggota DPRD telah siap dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya.
Perbedaan Istilah
Secara normatif, belum ada kesamaan dalam penyebutan terhadap tenaga ahli. Dalam UU No. 27 Tahun 2009 memberikan istilah yang tidak sama, Pasal 301 ayat (10) dan Pasal 352 ayat (10) menyebutnya dengan tenaga ahli, sedangkan Pasal 397 dan Pasal 399 menyebutnya dengan kelompok pakar atau tim ahli (KPTA). Istilah tenaga ahli dan pakar juga dipergunakan dalam PP No. 10 Tahun 2010
Perbedaan penyebutan tersebut tentunya membawa suatu konskuensi, istilah tenaga ahli dapat dimaknai tunggal ataupun jamak, sedangkan istilah KPTA dapat dipastikan jamak. Dengan mengamati secara cermat, roh yang diinginkan oleh UU No. 27 Tahun 2009 dan PP 10/2010, KPTA akan membantu tugas anggota DPRD sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenangnya. Hal Ini berarti bahwa kinerja KPTA membantu fraksi maupun komisi juga unsur pimpinan. Dengan demikian jumlah KPTA tergantung pada jumlah fraksi dan komisi di masing-masing daerah.
Keberadaan KPTA sangat ditentukan pada dua hal: pertama, kebutuhan KPTA atas usul anggota DPRD dan kedua, adanya kemampuan daerah. Penulis berpendapat bahwa kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya kedua syarat tersebut harus terpenuhi. Bilamana anggota DPRD mengusulkan kepada sekretaris dewan bahwa diperlukan KPTA, sedangkan kemampuan daerah tidak ada, maka KPTA menjadi tidak ada. Sebaliknya, kemampuan daerah ada sedangkan anggota DPRD beranggapan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya tidak memerlukan KPTA, maka KPTA menjadi tidak ada.
Selanjutnya, merujuk pada PP 16/2010 pasal 117 dinyatakan “Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli; Kelompok pakar atau tim ahli paling banyak sesuai dengan jumlah alat kelengkapan DPRD, Kelompok pakar atau tim ahli paling sedikit memenuhi persyaratan: a) berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) dengan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun, strata dua (S2) dengan pengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun, atau strata tiga (S3) dengan pengalaman kerja paling singkat 1 (satu) tahun; b) menguasai bidang yang diperlukan; dan c) menguasai tugas dan fungsi DPRD.
Yang cukup menggelisahkan, regulasi tentang KPTA berada pada grey area.
Pertama, PP tersebut tidak menjelaskan tentang kejelasan honorarium yang secara kontinyu diperoleh oleh KPTA. Pada penjelasan PP 10/2010 hanya menegaskan bahwa masa kerja kelompok pakar atau tim ahli tidak tetap atau sesuai dengan kegiatan yang memerlukan dukungan kelompok pakar atau tim ahli. Dengan demikian pemberian honorarium kepada kelompok pakar atau tim ahli didasarkan pada kehadiran sesuai kebutuhan/kegiatan tertentu.
Kedua, Seluruh pengaturan pengangkatan dan pemberhentian ada di tangan
sekretaris dewan. Dengan demikian, sekretaris dewan memiliki otoritas penuh (full powers) untuk mengangkat dan memberhentikan KPTA DPRD.
Hal ini berbeda dengan staf ahli bupati maupun gubernur yang memiliki kriterium yang jelas untuk dapat diangkat sebagai staf ahli. Kriterium yang dimaksud adalah bahwa calon staf ahli yang diangkat harus berasal dari PNS dan akan didudukkan sebagai eselon
II. Dalam regulasi kepegawaian, seseorang yang akan menduduki eselon II juga
memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya harus golongan IV. Hak
dan kewajiban untuk eselon II juga jelas, dapat kendaraan dinas dan tunjangan
jabatan yang semuanya diatur dengan jelas dalam regulasi kepegawaian.
Karena tidak diatur dengan regulasi yang jelas, maka hak dan kewajiban KPTA DPRD akan sangat tergantung pada good will sekretaris dewan. Sekretaris dewan dapat menentukan besar kecilnya honorarium dengan menganggarkannya dalam APBD. Akhirnya, optimal atau tidaknya kinerja KPTA DPRD tergantung pada honorarium yang diterimanya.
Keahlian yang dibutuhkan
KPTA DPRD diamanatkan untuk mendukung pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD. Idealnya, setiap anggota DPRD memiliki satu orang KPTA, tetapi hal ini akan membawa konsekuensi besarnya anggaran yang harus dibebankan di APBD. Penulis berpendapat bahwa KPTA cukup disesuaikan dengan jumlah fraksi dan komisi dan usnur pimpinan yang ada di DPRD. Dengan demikian jumlah KPTA di masing-masing daerah dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
KPTA yang ditugaskan membantu fraksi, haruslah memiliki pengetahuan yang cukup tentang visi, misi dan program fraksi yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa pengetahuan tersebut, KPTA akan mengalami kesulitan dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh fraksi. Orang yang dapat mengemban posisi KPTA fraksi dapat saja berasal dari akademisi, profesional ataupun pihak lain yang menurut fraksi dapat memberikan pertimbangan kebijakan fraksi.
KPTA yang ditempatkan di komisi harus orang yang benar-benar memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang komisi. Komisi I
DPRD, bergerak dalam bidang hukum dan pemerintahan. Idealnya, komisi ini
memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu hukum dan ilmu
pemerintahan. Kedua KPTA ini akan dapat mengcover pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Komisi I.
Komisi II DPRD yang membidangi perekonomian, dibutuhkan minimal 2 orang KPTA dengan memiliki kemampuan di bidang makro ekonomi dan kebijakan keuangan daerah serta hukum administrasi negara yang berhubungan dengan keuangan negara/daerah. Sehingga secara teknis peran KPTA dapat menghandel dan menjembatani tupoksi para anggota komisi II.
Pada Komisi III DPRD yang membidangi keuangan dan anggaran. Idealnya juga memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu akuntansi dan ilmu manajemen (keuangan). Mereka akan memberikan asistensi tugas-tugas yang diemban anggota Komisi III dalam menganalisis RAPBD, Nota Perhitungan APBD, PAPBD dan LKPJ Kepala Daerah, yang selanjutnya memberikan rekomendasi kepada Komisi III sebagai masukan dalam pembahasan materi-materi tersebut.
Komisi IV lebih banyak bergerak di bidang pembangunan fisik, jalan, jembatan, bangunan dan seterusnya. KPTA yang diharapkan dapat mendorong fungsi, tugas dan wewenang Komisi IV adalah mereka yang berlatar pendidikan teknik sipil atau profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik. Lebih ideal lagi, keduanya disatukan sebagai KPTA. KPTA yang berpendidikan teknik sipil sangat paham betul tentang pembangunan fisik berdasarkan teksbook yang ada. Sedangkan profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik paham betul tentang rimba proyek fisik.
Komisi V yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Dimana kedua bidang ini sangat jauh perbedaannya, karena itu KPTA harus berasal dari kedua bidang tersebut. KPTA yang membantu bidang pendidikan harus paham betul tentang dunia pendidikan. Sekretaris dewan maupun Komisi V dapat saja mensyaratkan untuk menjadi KPTA bidang pendidikan harus pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota atau Provinsi. Mereka yang pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan sudah teruji pemahamannya dalam dunia pendidikan.
Sedangkan untuk KPTA bidang kesehatan, haruslah memiliki latar belakang pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan berlatar belakang pendidikan kesehatan masyarakat, diharapkan akan dapat memberikan masukan kepada Komisi V tentang kebijakan daerah.
Akhirnya penulis hanya berharap bahwa, kombinasi antara anggota DPRD dengan alat kelengkapannya dibantu dengan kapabilitas KPTA dapat mengoptimalkan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang dilakukan DPRD dengan harapan ideal, mampu menjembatani kepentingan semua pihak terutama masyarakat Banten dalam mencapai pembangunan ekonomi dari semua sektor. Semoga.......
Penulis adalah
Manager Hubungan Lintas Organisasi
The Sultan Center (Pusat Studi Kepemimpinan Publik)