Layaknya seorang menejer sebuah tim sepak bola ataupun seekor pemimpin belalang, seorang pemimpin organisasi perlu memikirkan bagaimana melakukan perubahan baik secara internal maupun eksternal agar strategi dan kebijakan yang diambilnya sesuai dengan tuntutan lingkungan yang senantiasa berubah. Pemimpin seperti ini oleh Burns (1978) disebut sebagai pemimpin transformasional (Transformational Leadership) atau disebut juga pemimpin penerobos atau breakthrough leadership (Sarros dan Butchatsky, 1996). Karakteristik utama pemimpin transformasional ini diantaranya memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai agen perubahan (agent of change) bagi organisasi, sehingga dapat menciptakan strategi-strategi baru dalam mengembangkan praktik-praktik organisasi yang lebih relevan.
Bass dan Avolio (1994) mengemukakan empat dimensi kepemimpinan transformasional:
1. Dimensi pertama, idealized influence (pengaruh ideal). Artinya, pola perilaku seorang pemimpin harus menjadi suri tauladan bagi para pengikutnya, tutur katanya harus sesuai dengan perbuatannya alias tidak munafik. Pemimpin seperti ini biasanya akan dikagumi, dihormati dan dipercayai oleh para bawahannya. Sebetulnya dimensi ini tidak aneh bagi kita, sebab sudah sejak lama kita mengenal dimensi ini, yakni apa yang disebut dengan prinsip “Ing ngarso sung tulodo.” Yang aneh justru mengapa para pemimpin kita apapun jabatannya, siapapun orangnya dan di manapun ia memimpin, nampaknya sulit sekali merubah dirinya menjadi pemimpin yang bisa ditauladani. Mungkinkah pemimpin kita sama dengan seekor belalang?
2. Dimensi kedua, inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, seorang pemimpin harus mampu bertindak sebagai pencipta semangat kelompok atau tim dalam organisasi, memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap tujuan organisasi dan mampu mengartikulasikan pengharapan (expectation) yang jelas atas kinerja bawahan.
3. Dimensi ketiga, disebut intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Dimensi ini mengandung makna bahwa seorang pemimpin harus mampu berperan sebagai penumbuhkembang ide-ide yang kreatif sehingga dapat melahirkan inovasi, maupun sebagai pemecah masalah (problem solver) yang kreatif sehingga dapat melahirkan solusi terhadap berbagai permasalahan yang muncul dalam organisasi. Dimensi kedua dan ketiga ini dapat disebut sebagai “Ing madyo mangun karso” dalam “budaya” kita. Mudahan para pemimpin kita bertindak sebagai “Ing madyo mangun karso?” Kenyataannya tim PSSI kalah telak oleh tim sepak bola Lebanon.
4. Dimensi yang keempat adalah individualized consideration (konsiderasi individu). Artinya, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan berhubungan dengan bawahan (human skill), mau mendengarkan, memperhatikan aspirasi dari bawah terutama kaitannya dengan pengembangan karier bawahan. Tut Wuri Hadayani.
Keempat dimensi kepemimpinan sebagai agen perubahan di atas, dapat menjadi suatu kekuatan atau energi yang dapat menggerakkan, memelihara keseimbangan dan mempertahankan organisasi sekalipun organisasi dihadapkan kepada situasi transisi, kritis, bahkan kemunduran. Jika keempat dimensi ini terus dipertahankan secara konsisten dan disepakati sebagai suatu nilai-nilai, asumsi ataupun kepercayaan oleh seluruh anggota organisasi, maka akan terbentuk apa yang dinamakan budaya organisasi (corporate culture).
Budaya Sebagai Energi Organisasi
Kembali kepada kekalahan tim PSSI, seorang pengamat sepak bola berkomentar, “sebetulnya kualitas pemain kita tidak jauh berbeda dengan para pemain Lebanon, perbedaannya hanya terletak pada kekuatan dan kecepatan pemain kita yang berada di bawah pemain Lebanon.” Komentar yang sangat logis. Karena itu, tidak mungkin seekor belalang merubah dirinya menjadi seekor jangkrik.
Mencermati fenomena kehidupan organisasi sekarang ini, apapun bentuknya, siapapun pemiliknya dan di manapun organisasi itu berada nampaknya tidak lepas dari dimensi kultural dan dimensi manusia sebagai aktornya. Sayangnya, seringkali strategi dan kebijakan organisasi sekarang ini terlalu menitikberatkan kepada dimensi struktural yang bersifat jangka pendek dan mengesampingkan dimensi kultural (budaya) organisasi yang bersifat jangka panjang. Akibatnya organisasi seringkali kehilangan energi, lesu dan tidak berdaya mengantisipasi perubahan lingkungan yang tidak hanya kompleks tetapi juga sangat cepat.
Perhatian terhadap organisasi dari sudut pemahaman budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebetulnya bukan hal baru. Hal ini sudah berkembang sejak para ilmuwan sosial mempelajari organisasi. Pada 1930-an, Elton Mayo menggunakan istilah norma kelompok, Trice et al. (1969) mengemukakan karya tulisnya yang berjudul Ceremonials in Organizational Behavior yang kira-kira sama atau berkaitan dengan pengertian budaya. Namun demikian perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi baru mulai akhir 1970-an dan awal 1980-an, dimana pada masa itu muncul kebutuhan untuk mengkaji dan meneliti tentang sumbangan pendekatan budaya pada teore organisasi secara mendalam. Intinya adalah apa dan bagaimana budaya sebagai suatu pendekatan dapat memberikan penjelasan (explanation), pemahaman (understanding), prediksi (prediction), dan pengendalian (control) terhadap fenomena kehidupan organisasi.
Munculnya perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi tampaknya dilatarbelakangi oleh rasa kecewa para ahli terhadap teore-teore rasional (objektif) dalam meramalkan perilaku. Teore-teore tersebut dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi tetapi tidak menyinggung jiwa organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap teore-teore rasional tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep budaya. Namun demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi objektifistik, positifistik, dan fungsionalistik dalam teore organisasi dan menejemen. Kehadirannya semata-mata sebagai pelengkap dalam rangka memprediksi dan pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada selama ini. Pertanyaan yang muncul adalah, Betulkah budaya dapat menjadi energi (kekuatan) bagi keberhasilan organisasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita awali dengan pengertian budaya organisasi.
Budaya organisasi pada dasarnya refers to a system of shared meaning held by members. Ini berarti bahwa aspek terpenting dari budaya organisasi adalah sistem makna bersama, yakni cara anggota organisasi memahami berbagai peristiwa yang terjadi dalam organisasi. Hasil pemahaman ini pada akhirnya menjadi sekumpulan asumsi dasar yang saling berkaitan dan terpola untuk menangani isu-isu penting dalam organisasi. Misalnya, seorang menejer meyakini bahwa pemasalahan yang muncul dalam organisasi dapat dipecahkan dengan suatu strategi tertentu. Jika strategi tersebut dapat berhasil memecahkan masalah yang dihadapi dan tetap demikian untuk seterusnya, maka secara bertahap terjadi proses “transformasi kognitif“ menjadi suatu asumsi dan kemudian masuk ke alam tidak sadar dan dianggap sebagai sesuatu yang sudah selayaknya demikian. Asumsi yang diterima begitu saja (taken for granted) begitu kuatnya sehingga tidak dibantah atau diperdebatkan lagi oleh para anggota organisasi. Kita meyakini bahwa “obat dapat menyembuhkan penyakit, sekolah dapat meningkatkan taraf hidup, berbisnis harus mendapatkan keuntungan.” Inilah asumsi yang oleh Schein (1983) dipandang sebagai tingkat budaya organisasi yang paling dalam.
Merujuk pada pengertian budaya organisasi di atas, kita bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya budaya organisasi itu. Katakan saja setiap anggota organisasi memiliki asumsi bahwa “efektivitas organisasi didukung oleh kinerja pegawai, kepuasan kerja tidak semata-mata diukur oleh gaji,” dan lain sebagainya. Hal ini sudah diakui oleh para ahli seperti Robbins (1996), Meredith (1996), Aroyasuonomi dan Byles (1987), Deal dan Kennedy (1982), bahwa keefektifan organisasi menuntut adanya budaya. Budaya ini bahkan dipandang sebagai salah satu pilar competitive advantage. Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap perusahaan-perusahaan terkenal di Amerika Serikat, Kotter dan Heskett (1996) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja ekonomi tinggi tidak terlepas dari peran budaya yang dianutnya.
Argumentasi terhadap kekuatan budaya organisasi menurut Kreitner dan Kinicki (2001) berdasarkan kepada empat alasan, yaitu: “(1) Give members an organizational identity, (2) Facilitate collective commitment, (3) Promote social system stability, (4) Shape behavior by helping members make sense of their surroundings. Sedangkan menurut Schein (1985), budaya organisasi membantu organisasi memecahkan masalah, mengurangi kecemasan dalam situasi yang tidak stabil. Ada juga kiasan yang menggambarkan budaya organisasi sebagai situasi “perekat” sosial dan normatif yang mengikat organisasi menjadi satu (Tichy,1982). Jadi sangat wajar kalau budaya organisasi disebut sebagai energi atau kekuatan yang sangat penting bagi kehidupan organisasi.
Bagaimana Pemimpin Mengembangkan Budaya Organisasi
Jika mengambil teori relativisme Einstein tentang keterkaitan antara masa dan energi, maka secara sederhana energi dapat diformulasikan sebagai; E = f (MC2). Energi (E) sama dengan masa (M) dikalikan kecepatan cahaya pangkat dua (C2). Jika dikaitkan dengan organisasi oleh Plamondon (1997), dikatakan bahwa energi (E) diciptakan oleh pemimpin yang memberi inspirasi pada anggota organisasi (M) untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang sangat tinggi (C2).
Implikasi penting yang dapat ditangkap dari formula di atas kaitannya dengan kepemimpinan bahwa fungsi kepemimpinan harus dipahami sebagai orang yang mendefinisikan makna dan menciptakan pandangan tentang realitas organisasi melalui pengikutsertaan anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut pada kegiatan organisasi. Karena itu, pemimpin yang baik seyogianya tidak hanya menciptakan profit bagi organisasi, tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota organisasi. Sayang sekali para pemimpin sering lupa untuk menggandengkan kedua-duanya dalam porsi yang seimbang. Bagaimanakah caranya para pemimpin menciptakan, mengembangkan, menyebarkan dan memelihara budaya organisasi?
Proses penciptaan, pengembangan, penyebaran dan pemeliharaan budaya organisasi yang akan diuraikan berikut ini bertitik tolak dari dua asumsi, yaitu: pertama, mengacu kepada pengertian organisasi itu sendiri, yakni kolektivitas orang yang terstruktur untuk mencapai tujuan bersama. Kolektivitas ini eksis pada basis yang relatif berkesinambungan dalam suatu lingkungan serta terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pencapaian tujuan organisasi. Tujuan organisasi mengandung makna manfaat bagi para anggota organisasi itu sendiri dan masyarakat (konsumen) yang terkait secara langsung dengan produk atau jasa yang dihasilkan organisasi. Karena itu atas dasar asumsi ini, anggota organisasi dan konsumen menjadi unsur penting pembentukan budaya organisasi. Kedua, organisasi terbentuk didasarkan kepada hak dan kewajiban antara organisasi dengan anggota organisasi di satu sisi dan organisasi dengan konsumen di sisi lain. Artinya, keberadaan organisasi, anggota organisasi dan konsumen tidak terlepas dari suatu kepentingan atau nilai tertentu. Kepentingan atau nilai organisasi merupakan gambaran dari para pendiri organisasi itu sendiri. Kolaborasi ketiga sistem nilai ini (organisasi, anggota organisasi dan konsumen) akan membentuk integrasi nilai yang dianut bersama. Jika nilai-nilai yang dianut bersama ini secara empirik terbukti efektif dalam rangka adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi dan secara terus menerus seperti itu, maka pada akhirnya akan menjadi budaya organisasi.
Ada tiga faktor determinan yang membentuk budaya organisasi, yaitu
(1) Nilai-nilai pribadi pendiri organisasi, (2) Nilai-nilai pribadi anggota organisasi, dan (3) Nilai-nilai pribadi konsumen. Pada awalnya budaya organisasi terbentuk dari filsafat para pendiri organisasi, yakni sistem nilai yang dipahami sebagai keyakinan dasar tentang bagaimana organisasi harus berperilaku. Sistem nilai tersebut kemudian ditransformasikan dalam bentuk visi, misi dan strategi organisasi. Visi, misi dan strategi organisasi diharapkan akan menjadi pedoman bagi para anggota organisasi dalam berperilaku. Persoalannya bahwa nilai-nilai yang dianut para pendiri perusahaan belum tentu merupakan nilai-nilai yang dianut oleh anggota organisasi dan konsumen. Oleh karena itu, disinilah pentingnya penyebaran budaya sebagai sarana untuk menanamkan, dan melesatarikan nilai-nilai yang telah dibangun oleh pendiri perusahaan sehingga menjadi suatu kepercayaan yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi. Jika kepercayaan yang dianut bersama ini terbukti efektif dalam usaha memecahkan adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi dan selamanya seperti itu, maka kepercayaan itu baru disebut budaya organisasi.
(1) Nilai-nilai pribadi pendiri organisasi, (2) Nilai-nilai pribadi anggota organisasi, dan (3) Nilai-nilai pribadi konsumen. Pada awalnya budaya organisasi terbentuk dari filsafat para pendiri organisasi, yakni sistem nilai yang dipahami sebagai keyakinan dasar tentang bagaimana organisasi harus berperilaku. Sistem nilai tersebut kemudian ditransformasikan dalam bentuk visi, misi dan strategi organisasi. Visi, misi dan strategi organisasi diharapkan akan menjadi pedoman bagi para anggota organisasi dalam berperilaku. Persoalannya bahwa nilai-nilai yang dianut para pendiri perusahaan belum tentu merupakan nilai-nilai yang dianut oleh anggota organisasi dan konsumen. Oleh karena itu, disinilah pentingnya penyebaran budaya sebagai sarana untuk menanamkan, dan melesatarikan nilai-nilai yang telah dibangun oleh pendiri perusahaan sehingga menjadi suatu kepercayaan yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi. Jika kepercayaan yang dianut bersama ini terbukti efektif dalam usaha memecahkan adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi dan selamanya seperti itu, maka kepercayaan itu baru disebut budaya organisasi.
Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana organisasi mengembangkan, menyebarkan, dan memelihara budaya organisasi? Dari hasil penelitian Kotter dan Heskett (1992) terhadap dua belas perusahaan yang budayanya adaptif, diperoleh informasi bahwa pengembangan dan pemeliharaan budaya dilakukan dengan cara-cara berikut:
1. Membentuk suatu tim manajemen ataupun secara individual yang disebut sebagai “penjaga budaya organisasi/pengajar budaya” yang bertugas untuk mengkaji dan mengembangkan nilai-nilai (strategi) yang cocok dengan lingkungan bisnis tempat perusahaan beroperasi. Berbagai strategi yang dipandang cocok itu, kemudian ditanamkan kepada para anggota organisasi sehingga mereka turut menghayati suatu filosofi atau seperangkat nilai yang menekankan baik pencapaian kebutuhan konstituen maupun kepemimpinan. Para anggota organisasi bahkan anggota organisasi yang baru masuk sekalipun selanjutnya mengabadikan bagian-bagain budaya organisasi itu ke dalam budaya yang berhubungan dengan konstituensi dan kepemimpinan. Dalam banyak kasus, “penjaga budaya organisasi / pengajar budaya” ini 40% waktunya dihabiskan untuk menjaga nilai-nilai inti organisasi dan mengajarkannya kepada para anggota organisasi.
2. Menciptakan komunikasi simbolik seperti pembuatan patung, peta ukuran besar, arsitektur ruangan yang menggambarkan nilai inti pada organisasinya, seperti: “kami peduli terhadap layanan pelanggan,” “kami menurunkan harga,” “kami berusaha keras untuk menjadi lebih global.”
3. Seluruh anggota organisasi selalu berperilaku konsisten dengan nilai-nilai yang dianut organisasi.
4. Para pemimpin mempekerjakan dan mempromosikan anggota organisasi yang memiliki nilai konsisten dengan apa yang merupakan inti budaya organisasi.
5. Memposisikan budaya sebagai panglima dalam organisasi, dalam arti siapapun yang melanggar nilai-nilai inti budaya akan ditindak tegas, sekalipun ia berkinerja baik menurut ukuran dari segi kualitas tertentu.
No comments:
Post a Comment