Oleh : Asep Koswara
(Direktur Kajian dan Politik The Sultan Center)
Pesta demokrasi sedang kita jelang dan rayakan, yakni pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Tentunya ada segudang asa dan harapan untuk perbaikan daerah ke depan, terlebih memperbaiki kualitas demokrasi dan melanjutkan proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tercatat ada bebepa daerah dipropinsi banten yang akan menggelar pemilukada dalam waktu dekat yakni Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Pandeglang. Dari dinamika ini ada yang menarik untuk menjadi bahan diskusi yakni diskursus agama dan kekuasaan.
Persoalannya setiap kali menjelang Pemilu isu agama seringkali menjadi menu “propaganda” jitu bagi kandidat atau partai politik untuk mendongkrak popularitas dan suara. Namun ketika pemilu telah usai, “agama” seringkali disingkirkan dalam percaturan politik, tak ada lagi kegiatan keagamaan yang meriah, tak ada lagi iring-iringan pejabat ke tempat keagamaan, tak ada lagi gembar-gembor sumbangan, yang muncul adalah perebutan jatah dan menuntut fasilitas mewah.
Di Banten penggunaan simbol-simbol keagamaan cukup memiliki ruang yang besar, disadari atau tidak Banten merupakan daerah yang memiliki emosi dan tradisi yang sangat kuat dalam hal keberagamaan. Apalagi dalam konteks sejarah, Banten pernah mengalami kejayaan dibawah kesultanan. Namun yang perlu dikritisi saat ini, Apakah betul penggunaan symbol-simbol agama merupakan cermin dari kesolehan dan kesadaran keberagamaan individu. Atau sebaliknya hanya topeng untuk mencari legitimasi kekuasaan.
Semoga asumsi di atas tidak terjadi di pemilukada mendatang. Namun jika menengok kebelakang cara-cara seperti ini modus lama yang dipraktekan para elit politik nasional menjelang PEMILU pada rezim orde Baru. Mereka berpandangan bahwa dalam dunia politik “boleh salah asal menang” boleh ada dusta hitam, dan boleh ada dusta putih dan boleh pula seorang kandidiat atau partai politik memanfaatkan simpul-simpul massa agama sebagai alat legitimasi politiknya.
Korelasi Agama dan Kekuasaan
Fenomena keterlibatan agama dalam politik memang sangat kelasik bukan hanya di negeri kita bahkan di negara-negara besar dunia. Agama dan politik menjadi isu yang sangat menarik untuk dicermati. Pemaparan mendalam atas kasus ini dapat ditelaah dengan meminjam uraian Muhammad Said al-Asymawi dalam Al-Islam al-Siyasi (1987) menulis: “arâdallâhu li al-Islami an yakuna dinan, wa arada bihi al-nâs an yakûna siyâsatan” ( Allah menghendaki Islam menjadi agama, tapi manusia menghendakinya menjadi kekuatan politik). Agama punya tujuan universal berjangka panjang, sedang politik berdimensi pendek, partikular dan terbatas.
Tafsir penulis atas pemikiran Muhamad Said al-Asmawi Agama merupakan sumber kekuatan supranatural yang berfungsi sebagai pengendali kehidupan berpolitik. Agama bukan lah alat untuk mendongkrak populeritas, dan agama bukan pula pakaian agar dianggap alim dan saleh. Tapi agama sebagai "sumber etika moral" yang senantiasa memberikan tawaran dan pencerahan yang komprehenshif atas segala persolan hidup manusia, termasuk dalam konteks kenegaraan yang terkait dengan kekuasaan berjangka pendek.
Benang merah antara agama dengan kekuasaan terletak pada kekuatan nilai yang mendukung pelaku politik untuk mengindahkan kaidah-kaidah moralitas dan menghindari politik menghalalkan segala cara. Namun jika agama dibawa ke ranah politik yang bersifat symbol dan atribut formal. Maka hal itu masuk pada wilayah politisasi agama, dan sebaiknya tidak perlu terjadi, karena agama memiliki social capital yang signifikan untuk menampilkan dirinya sendiri.
Stop Politisasi Agama
Politisasi agama merupakan penafikan terhadap nilai teks-teks suci agama dan bentuk penundukan Agama dibawah kekuasaan politik. Artinya agama direduksi dan dijadikan alat legitimasi politik untuk merebut kekuasaan dalam pemilu. Kenyataannya dapat dilihat dari berbagai bentuk properti maupun ikon keagamaan, yang dikemas dengan menggunakan “bahasa dan simbol agama”. Realitas seperti ini merupakan distorsi yang akan membajak dan menjebak agama tunduk pada area kekuasaan.
Para pelaku politik Jangan lagi menggunakan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan, apalagi mempolitisasinya untuk tujuan jangka pendek. Jika saja para elit politik masih menempatkan agama sebagai arena pertarungan politis, hal ini alamat celaka bagi kelangsungan hidup agama dan keberagaman kita.
Agama seharusnya ditempatkan sebagai kekuatan nilai moral yang mendukung seluruh kehidupan manusia dalam berbagai urusan, termasuk dalam berpolitik. Hanya dengan itu, agama akan terasa berperan secara signifikan sebagai proses mewujudkan keadilan kemajuan dan kesejahteraan.
Relevan dengan pemikiran Dale F. Eickelmen dan yang menguraikan praktik politik dalam hal seni bernegosiasi dalam mewujudkan “tatanan sosial” yang baik dan tepat, perlu ditopang oleh budaya dan prilaku sehat yang bersendikan moralitas.
Dengan demikian memaknai relevansi agama dan kekuasaan, nilai-nilai moral menggugat para politisi untuk berpolitik santun dan tidak lagi menggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan kekuasaan. Karena daerah yang maju dan demokratis akan selalu ditandai dengan sikap politik yang saling percaya (political trush) dan kesantunan berpolitik antar masyarakatnya.
(Direktur Kajian dan Politik The Sultan Center)
Pesta demokrasi sedang kita jelang dan rayakan, yakni pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Tentunya ada segudang asa dan harapan untuk perbaikan daerah ke depan, terlebih memperbaiki kualitas demokrasi dan melanjutkan proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tercatat ada bebepa daerah dipropinsi banten yang akan menggelar pemilukada dalam waktu dekat yakni Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Pandeglang. Dari dinamika ini ada yang menarik untuk menjadi bahan diskusi yakni diskursus agama dan kekuasaan.
Persoalannya setiap kali menjelang Pemilu isu agama seringkali menjadi menu “propaganda” jitu bagi kandidat atau partai politik untuk mendongkrak popularitas dan suara. Namun ketika pemilu telah usai, “agama” seringkali disingkirkan dalam percaturan politik, tak ada lagi kegiatan keagamaan yang meriah, tak ada lagi iring-iringan pejabat ke tempat keagamaan, tak ada lagi gembar-gembor sumbangan, yang muncul adalah perebutan jatah dan menuntut fasilitas mewah.
Di Banten penggunaan simbol-simbol keagamaan cukup memiliki ruang yang besar, disadari atau tidak Banten merupakan daerah yang memiliki emosi dan tradisi yang sangat kuat dalam hal keberagamaan. Apalagi dalam konteks sejarah, Banten pernah mengalami kejayaan dibawah kesultanan. Namun yang perlu dikritisi saat ini, Apakah betul penggunaan symbol-simbol agama merupakan cermin dari kesolehan dan kesadaran keberagamaan individu. Atau sebaliknya hanya topeng untuk mencari legitimasi kekuasaan.
Semoga asumsi di atas tidak terjadi di pemilukada mendatang. Namun jika menengok kebelakang cara-cara seperti ini modus lama yang dipraktekan para elit politik nasional menjelang PEMILU pada rezim orde Baru. Mereka berpandangan bahwa dalam dunia politik “boleh salah asal menang” boleh ada dusta hitam, dan boleh ada dusta putih dan boleh pula seorang kandidiat atau partai politik memanfaatkan simpul-simpul massa agama sebagai alat legitimasi politiknya.
Korelasi Agama dan Kekuasaan
Fenomena keterlibatan agama dalam politik memang sangat kelasik bukan hanya di negeri kita bahkan di negara-negara besar dunia. Agama dan politik menjadi isu yang sangat menarik untuk dicermati. Pemaparan mendalam atas kasus ini dapat ditelaah dengan meminjam uraian Muhammad Said al-Asymawi dalam Al-Islam al-Siyasi (1987) menulis: “arâdallâhu li al-Islami an yakuna dinan, wa arada bihi al-nâs an yakûna siyâsatan” ( Allah menghendaki Islam menjadi agama, tapi manusia menghendakinya menjadi kekuatan politik). Agama punya tujuan universal berjangka panjang, sedang politik berdimensi pendek, partikular dan terbatas.
Tafsir penulis atas pemikiran Muhamad Said al-Asmawi Agama merupakan sumber kekuatan supranatural yang berfungsi sebagai pengendali kehidupan berpolitik. Agama bukan lah alat untuk mendongkrak populeritas, dan agama bukan pula pakaian agar dianggap alim dan saleh. Tapi agama sebagai "sumber etika moral" yang senantiasa memberikan tawaran dan pencerahan yang komprehenshif atas segala persolan hidup manusia, termasuk dalam konteks kenegaraan yang terkait dengan kekuasaan berjangka pendek.
Benang merah antara agama dengan kekuasaan terletak pada kekuatan nilai yang mendukung pelaku politik untuk mengindahkan kaidah-kaidah moralitas dan menghindari politik menghalalkan segala cara. Namun jika agama dibawa ke ranah politik yang bersifat symbol dan atribut formal. Maka hal itu masuk pada wilayah politisasi agama, dan sebaiknya tidak perlu terjadi, karena agama memiliki social capital yang signifikan untuk menampilkan dirinya sendiri.
Stop Politisasi Agama
Politisasi agama merupakan penafikan terhadap nilai teks-teks suci agama dan bentuk penundukan Agama dibawah kekuasaan politik. Artinya agama direduksi dan dijadikan alat legitimasi politik untuk merebut kekuasaan dalam pemilu. Kenyataannya dapat dilihat dari berbagai bentuk properti maupun ikon keagamaan, yang dikemas dengan menggunakan “bahasa dan simbol agama”. Realitas seperti ini merupakan distorsi yang akan membajak dan menjebak agama tunduk pada area kekuasaan.
Para pelaku politik Jangan lagi menggunakan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan, apalagi mempolitisasinya untuk tujuan jangka pendek. Jika saja para elit politik masih menempatkan agama sebagai arena pertarungan politis, hal ini alamat celaka bagi kelangsungan hidup agama dan keberagaman kita.
Agama seharusnya ditempatkan sebagai kekuatan nilai moral yang mendukung seluruh kehidupan manusia dalam berbagai urusan, termasuk dalam berpolitik. Hanya dengan itu, agama akan terasa berperan secara signifikan sebagai proses mewujudkan keadilan kemajuan dan kesejahteraan.
Relevan dengan pemikiran Dale F. Eickelmen dan yang menguraikan praktik politik dalam hal seni bernegosiasi dalam mewujudkan “tatanan sosial” yang baik dan tepat, perlu ditopang oleh budaya dan prilaku sehat yang bersendikan moralitas.
Dengan demikian memaknai relevansi agama dan kekuasaan, nilai-nilai moral menggugat para politisi untuk berpolitik santun dan tidak lagi menggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan kekuasaan. Karena daerah yang maju dan demokratis akan selalu ditandai dengan sikap politik yang saling percaya (political trush) dan kesantunan berpolitik antar masyarakatnya.
No comments:
Post a Comment