Oleh : Burhanuddin Muhtadi
(Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan pengajar Program Pascasarjana Universitas Paramadina)
Belakangan ini dunia perpolitikan kita kembali diramaikan dengan kontroversi seputar isu penyederhanaan partai terkait dengan revisi Undang-Undang tentang Partai Politik. Perampingan partai kita dapat dilakukan melalui electoral engineering, yakni electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT).
Partai-partai yang tidak lolos PT di Pileg 2009 maupun partai-partai menengah cenderung menolak usulan ET dan PT, termasuk usulan meningkatkan PT dari 2,5% ke 5%. Sebaliknya, partai-partai besar cenderung bersikukuh bahwa penyederhanaan kepartaian kita melalui ET dan PT musti dilakukan.
ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berkutnya. Dalam pasal 9 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu dikatakan bahwa parpol dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR, 4% jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan 4% jumlah kursi di Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Adapun PT adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi Partai Politik untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen dari total jumlah suara dalam pemilu. Dengan ketentuan ini, parpol yang gagal mendapatkan suara minimal 2,5% dari suara sah secara nasional tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus.
Masyarakat sendiri cenderung memilih agar jumlah partai yang ada di DPR tidak terlalu banyak. Survei LSI pada Maret 2007 menunjukkan bahwa sebaiknya di DPR hanya diisi 2 – 3 partai (23%), 4 – 5 partai (37%), di atas 5 (35%) dan sisanya tidak jawab. Bila penyokong jumlah partai antara 2 – 3 digabung dengan 4 – 5 parpol, maka pendukung penyederhanaan partai menjadi mayoritas.
Dilema Electoral Threshold
ET berpotensi melanggar konstitusi. Pasalnya sebuah parpol yang tidak mencapai batasan ET diharuskan membubarkan atau mengabungkan diri jika ingin ikut Pemilu berikutnya. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara.
Selain itu, indikator efektif tidaknya sistem presidensial sebenarnya lebih diukur oleh seberapa banyak jumlah parpol di parlemen, bukan berapa banyak jumlah parpol kontestan pemilu. Kalau demikian halnya, PT lebih relevan jika ditujukan menciptakan stabilitas hubungan legislatif-eksekutif. Karena sebanyak-banyaknya parpol yang diijinkan untuk ikut pemilu, mereka toh pada akhirnya akan terbentur PT alias bakal terjegal menempatkan wakilnya di parlemen.
Namun jika ET dihapuskan, jumlah parpol kontestan pemilu akan membengkak karena akan memberi insentif bagi elit yang mengidap megalomania untuk ramai-ramai membuat partai baru. Juga menyulitkan pemilih karena harus mengidentifikasi parpol kontestan pemilu yang terlalu banyak. Akibatnya, positioning dan diferensiasi antarpartai makin remang-remang.
Kombinasi Sulit
Sistem presidensial yang kita anut terbukti sulit dikombinasikan dengan sistem multipartai ekstrem. Jumlah partai yang terlalu banyak akan sulit mendapatkan “partai mayoritas.” Idealnya, hanya ada satu “partai mayoritas” yang lalu diharap mampu mengusung presiden yang didukung partai yang menguasai single majority di DPR. Giovannni Sartori menyebutnya dengan istilah 'outdistances all others'.
Sejumlah ahli politik mengafirmasi sulitnya sistem presidensial jika dipadukan dengan sistem multipartai ekstrem. Juan Linz dan Arturo Velenzuela, dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America (1994) mengatakan presidensialisme yang diterapkan di atas konstruks politik multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dengan parlemen serta akan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya dual-legitimacy. Kedua lembaga sama-sama dipilih rakyat.
Studi Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, dalam Presidentialism and Democracy in Latin America (1997), disebutkan bahwa kombinasi sistem presidensial dan multipartai akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pada akhirnya akan menghasilkan pemerintahan yang terbelah (divided government). Presiden akan tersandera secara politik dan sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.
Mainwaring dalam Presidentialism, Multipartism and Democracy (1993) menyebut sistem presidensial yang dibangun diatas pondasi sistem multipartai (seperti kasus Indonesia) sebagai “difficult combination.” Hal ini karena tiadanya partai mayoritas di DPR, potensi deadlock antara legislatif dengan eksekutif makin besar. Sistem multipartai juga membuat koalisi partai yang bersifat permanen makin sulit dicapai. Cross-national survey yang dilakukan Mainwaring menunjukkan dari 31 negara di dunia yang stabil demokrasinya (lebih dari 25 tahun secara berturut-turut menerapkan sistem demokrasi), tidak ada satupun yang menganut sistem presidensial berbasis multipartai seperti kasus Indonesia.
Kelebihan PT
Dibanding ET, PT cenderung tidak “melanggar” konstitusi karena hak hidup partai tetap dijamin kelangsungannya. Partai yang tidak lolos PT bukan berarti diberangus hak hidupnya. Kalaupun toh besaran PT tetap dengan aturan sekarang (hanya 2,5%), maka 9 partai yang lolos PT tetap potensial menciptakan deadlock di DPR. Demokrat sebagai pemenang pemilu masih jauh untuk mencapai mayoritas sederhana di DPR.
Kenaikan besaran PT juga akan meningkatkan kinerja parlemen. Jika PT sebesar 5%, per-fraksi minimal diisi 28 anggota. Sehingga keanggotaan di Komisi, BURT, BKSAP, dan alat-alat kelengkapan di DPR bukan hanya bisa terpenuhi, tapi juga memungkinkan konsentrasi dan fokus anggota fraksi lebih maksimal untuk menyerap aspirasi rakyat.
Penerapan PT secara konsisten dengan diikuti peningkatan ambang batas minimal juga akan menyederhanakan jumlah partai yang pada ujung-ujungnya akan meningkatkan kualitas parpol. Kualitas parpol tersebut dapat dilihat dari sisi kejelasan positioning ideologi dan diferensiasi antarparpol sehingga memudahkan pemilih untuk mengidentifikasi perbedaan antarpartai.
Selama ini penerapan dan peningkatan besaran PT ditentang oleh partai-partai menengah ke bawah karena dianggap mengebiri demokrasi. Alasannya, implementasi PT membuat jumlah suara yang “terbuang,” yang tidak terwakili di DPR semakin besar. Jika di Pileg 2009 ada 18 juta suara yang hangus karena aturan PT sebesar 2,5%, maka bila PT ditingkatkan menjadi 5%, potensi suara yang hilang sebesar 36 juta. Peningkatan PT menjadi 5% juga akan membuat potensi golput akan makin besar.
Ide penyederhanaan partai selalu terbentur pada dua kutub kepentingan: (1) representasi, yakni memaksimalkan aspirasi politik warga yang heterogen. Pilihan warga seharusnya diwakili oleh keberadaan partai-partai yang beragam. (2) Efektivitas pemerintahan: sistem multipartai ekstrem cenderung tidak kompatibel dengan sistem presidensial yang ujung-ujungnya bisa menciptakan inefisiensi penyelenggaraan negara.
Ketegangan antara dua kepentingan itulah yang sekarang terjadi dalam usulan revisi UU Partai Politik. Apakah besaran suara terbuang karena pemberlakuan ET dan PT valid adanya? Bagi kalangan yang menolak ET dan PT, asumsi membengkaknya suara terbuang lebih dilihat dari perspektif representasi partai, bukan representasi individu. Secara individu, pemilih tetap diberikan hak demokratisnya untuk memilih partai yang dianggap mewakili aspirasinya.
Suara terbuang sebenarnya bisa diminimalisir jika partai yang bersaing di pemilu atau yang lolos PT jumlahnya lebih sedikit. Pemilih akan dihadapkan pada pilihan partai yang tidak terfragmentasi secara ekstrem. Suara yang awalnya diberikan ke partai yang tidak lolos ET dan PT bisa saja diberikan ke partai lain yang dianggap memiliki kedekatan ideologis atau program. Selain itu, jika kita percaya bandwagon effect bisa bekerja, potensi suara terbuang juga bisa diminimalisir []
No comments:
Post a Comment