Friday, February 27, 2009

Menggagas Kepemimpinan Alternatif

Puncak dari multikrisis di Indonesia sebenarnya terkait krisis kebangsaan atau nasionalisme. Asumsinya, kalau nasionalisme (dalam pemahamannya yang substantif) dari seluruh komponen bangsa ini masihkuat, beragam persoalan bangsa masih bisa diurai untuk dicarikan solusinya.
Krisis kebangsaan tentu bukan sekadar memudarnya batas-batas negara (terkait globalisasi dan
kemajuan teknologi) atau ancaman separatisme, tetapi melelehnya nilai-nilai luhur yang dulu mendasari terbentuknya Indonesia sebagai negara bangsa. Nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan dialog yang kelak berguna menjaga keutuhan bangsa dicampakkan dan disubstitusi dengan kultur dan nilai-nilai egoistis, pragmatis, dan oportunistis. Pada aras sosial, misalnya, kebebasan pasca-Orba telah membuat kohesi antarwarga bangsa meluntur. Potensi titik-titik api konflik sosial tak kunjung hilang. Belum sembuh luka akibat konflik bernuansa SARA di beberapa daerah, potensi pertentangan fisik baru kini muncul lagi ke permukaan menyusul aksi-aksi main hakim sendiri dari sekelompok masyarakat yang memaksakan kehendak. Celakanya, pemerintah dan aparat sendiri tidak tegas. Dalam batas tertentu, pemerintah bahkan terkesan 'mengambangkan' persoalan, seperti kasus Ahmadiyah.

Pada sisi lain, kerapuhan nasional juga tercermin dari relasi elit dan rakyat yang tak lebih sebagai hubungan 'ekonomi politik' belaka. Untuk kepentingannya, elite cenderung memanfaatkan 'kepolosan' massa (rakyat). Bahkan kerap menggunakan berbagai cara, termasuk kata-kata sakti, seperti atas nama rakyat dan kepentingan nasional. Padahal tindakan dan perilaku mereka sendiri kerap merugikan kepentingan nasional, seperti tercermin dari perilaku korupsi, mencabut subsidi dan kegemaran mengonsumsi produk luar negeri.
Krisis saat ini sebenarnya krisis yang lebih banyak dirasakan rakyat, bukan elit atau kelas menengah keatas. Kelompok elit biasanya memiliki siasat supaya tidak terkena ekses buruk krisis. Mereka bahkan bisa meraup untung dari krisis yang mendera bangsa. Solidaritas kebangsaan dan kerakyatan yang dulu ditasbihkan para patriot pendiri negara dan kini kerap dikumandangkan kelompok elit, akhirnya tak lebih sebagai retorika politik belaka.
Sedangkan pada tingkat massa, nasionalisme sebenarnya masih tetap membatin. Lihatlah patriotisme masyarakat dalam menanggapi perselisihan Indonesia-Malaysia, seperti kasus Sipadan-Ligitan dan kontroversi klaim lagu Rasa Sayange oleh negara jiran itu belum lama ini. Begitu pula sentimen publik yang muncul atas perjuangan atlet-atlet Indonesia membela panji-panji negara. Rakyat pun tetap antusias mengibarkan Merah Putih saat-saat momentum historis, seperti Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, dan lainnya.

Persoalan lain, yang juga agak mengganjal, nasionalisme lebih diidentikkan dengan kelompok tertentu vis a vis kelompok-kelompok lainnya. Ini juga gambaran potensi keterpecahan bangsa. Ketika muncul persoalan terkait kepentingan nasional, seperti privatisasi BUMN dan modal asing, respons elit menjadi terbelah. Padahal realitas perbedaan pendapat mestilah diletakkan dalam kerangka kepentingan nasional.

'Dwitunggal' Baru? Kompleksitas persoalan bangsa sekarang ini juga sering dikaitkan dengan lemahnya kepemimpinan dilevel nasional maupun lokal. Pasca-kemerdekaan, sulit menemukan kepemimpinan yang mampu 'menggerakkan' seluruh komponen bangsa, bersatu mewujudkan kepentingan nasional sekaligus memiliki visi kuat menangani aneka persoalan negara bangsa yang kompleks ini. Dalam batas tertentu, meski bukan suatu altruisme, realitas sosial politik ini bisa dipahami. Jika pemimpin masa lalu lahir dari rahim idealisme perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, pemimpin sekarang umumnya lahir dari rahim zaman pragmatisme. Sebagian dari mereka, bahkan tipikal elit yang tidak satu kata dan perbuatan. Elit politik dalam sejarah kontemporer juga cenderung menonjolkan kepentingan sempit dan jangka pendek. Tak heran, ketika elit berteriak soal kepentingan rakyat dan negara, publik tak serta merta percaya. Masalahnya tentu bukan pada persepsi publik yang cenderung apatis, tetapi justru pada kualifikasi dan kapabilitas pemimpin yang muncul. Belum terlihat indikasi kuat bakal tampilnya suatu kepemimpinan nasional yang punya kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas, visi dan kredibilitas yang kuat menangani persoalan bangsa yang kompleks. Lapisan pemimpin yang dominan sekarang adalah kelompok elit politik yang tidak memiliki kinerja dan track record yang meyakinkan. Kepemimpinan muda juga belum begitu kelihatan. Sekarang harapan kepada mereka tinggi, tetapi sumber-sumber rekrutmen kepemimpinan politik masih mewarisi kultur feodal dan tipikal elite lama.

Beberapa partai memang berhasil menampilkan kader-kader mudanya di eksekutif dan legislatif lokal, bahkan tampil dominan, tetapi kinerjanya belum meyakinkan. Mereka bahkan juga terjebak konservatisme politik. Tentu sulit mengharapkan munculnya perubahan mendasar dari tipikal kepemimpinan konservatif. Apapun, untuk mempersatukan kembali bangsa yang nyaris terkoyak, membangun perekonomian negara dan rakyat, dan mengangkat kembali martabat bangsa, agar tidak dianggap 'enteng' oleh elemen bangsa sendiri dan negara-negara lain (termasuk negara-negara tetangga yang secara geografis jauh lebih kecil), memang dibutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya kuat visinya tetapi juga luhur integritasnya.
Tetapi di atas itu, dia mesti seorang permimpin nasionalis plus yang tidak hanya bisa menggerakkan seluruh potensi bangsa. Tetapi juga memiliki kecakapan dan kapabilitas kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan bangsa di abad 21, baik menghadapi tantangan internal maupun eksternal yang makin kompleks. Kita jadi teringat kepemimpinan 'dwitunggal' Soekarno-Hatta. Jika Soekarno dianggap sebagai tipikal 'solidarity maker' dan penganjur nasionalisme yang kuat, maka Hatta adalah tipikal administrator yang cakap. Sekalipun pada akhirnya berpisah jalan, tetapi kombinasi kedua tipikal kepemimpinan berdampak luar biasa, seperti saat merebut kemerdekaan (1930-1945) dan Revolusi Fisik
(1945-1949).

Kepemimpinan Soekarno-Hatta memang sudah menjadi catatan sejarah, namun menghadapi tantangan kekinian dan ke depan yang makin kompleks, terutama di tengah melunturnya kesadaran nasional. Dalam batas tertentu, menggali kembali khazanah kepemimpinan 'dwitunggal' tetap relevan, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian dengan tantangan kekinian dan ke depan. Nilai-nilai unggul dari model kepemimpinan Bung Karno, seperti kemampuannya menjadi katalisator, penggugah dan perekat persatuan nasional serta aksebtabilitasnya yang luas di kalangan masyarakat saja tentu tidak cukup. Model kepemimpinan integratif (bukan sekadar 'solidarity maker') itu harus dilengkapi dengan tipikal 'administrator' ala Bung Hatta, dengan visi yang kuat atas persoalan dan dinamika yang dihadapi bangsa sejalan dengan tantangan abad 21. Selanjutnya, tinggal bagaimana demokrasi dan demokratisasi yang kini berjalan mampu menyediakan ruang bagi lahirnya tipikal kepemimpinan alternatif tersebut.
Ikhtisar

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF, ETIKA GLOBAL DAN PENGHORMATAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DALAM MASYARAKAT YANG SEDANG BERUBAH

Oleh

M. Habib Chirzin



Kepemimpinan Transformatif dalam Masyarakat yang sedang Berubah.

Kepemimpinan transformatif (Transformatif Leadership) sebagaimana yang antara lain dikembangkan Asia Pacific Online Network of Women in Politics, Governance, Decision-Making and Transformative Leadership, A project of the Center for Asia Pacific Women in Politics (CAPWIP) Women’s Global Rights, yang mengembangkan Asian Innovative Practices in Gender Mainstreaming, merupakan sebuah model kepemimpinan yang patut dikaji bersama, untuk kemudian dikembangkan dalam konteks sosial dan budaya Indonesia. Dalam masyarakat yang sedang berada dalam transformasi demokrasi, seperti yang terjadi di Indonesia pada saat ini, model kepemimpinan transformatif ini merupakan salah satu kunci keberhasilan dari proses reformasi yang masih berjalan tersendat-sendat. Dalam situasi yang sangat menentukan masa depan bangsa dan Negara seperti ini, kepemimpinan perempuan pada semua lini dan peringkat menjadi sangat imperatif. Bahkan sejak dua dekade yang lalu, sebenarnya gerakan perempuan dunia telah memperoleh momentumnya untuk bersama menentukan masa depan kemanusiaan dan kelestarian planet bumi ini dari kehancuran.

Model kepemimpinan transformatif ini juga dikembangkan telah di dalam “5th World Summit on Leadership and Good Governance” yang diselenggarakan oleh International Interreligious Forum for the World Peace (IIFWP), di Seoul, Korea pada bulan Februari, 2005, di mana penulis menjadi salah seorang pembicaranya. Di dalam masyarakat yang sedang berubah, yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, yang menyebabkan jarak ruang dan waktu menjadi sangat pendek, dan juga terjadinya kelangkaan sumber-sumber daya alam, serta berkembangnya ancaman-ancaman baru (diversification of threats), yang berupa global organized crimes, perdagangan perempuan dan anak-anak (women and children trafficking), penyucian uang (money laundering), penyalah gunaan narkoba, perusakan lingkungan hidup, dll, maka perlu dikembangkan, model kepemimpinan transformatif yang diperkaya dengan penghayatan spiritualitas dan tanggung jawab etik global (global ethics) serta kesadaran tentang hak-hak asasi manusia.

Spiritualitas feminis yang sangat dekat dengan spiritulias lingkungan hidup dan spiritualitas penciptaan, merupakan sumber kejiwaan bagi kepemimpinan yang mampu menyelamatkan masa depan kemanusiaan dan kelestarian bumi serta daya dukung ekologisnya, yang sekarang semakin terancam, oleh keserakahan dan tindak korupsi yang bersifat menghancurkan generasi. Dalam situasi seperti ini, ditambah semakin maraknya tindak kekerasan dan konflik-konflik sosial yang menimbulkan kurban terbesar di kalangan perempuan dan anak-anak, maka Etika Global, yang telah digagas semenjak Konperensi Parlemen Agama-agama di Chicago 1993 yang lalu, yang kemudian dikukuhkan di dalam konperensinya yang baru lalu di Barcelona, Juli 2004, menjadi bagian dari tanggung jawab etik bagi kelangsungan hidup manusia (human survival) dan kelestarian lingkungan (ecological sustainability) dan harmoni sosial (social harmony) dalam dunia yang semakin menciut (the shrinking world) dalam proses globalisasi. Kesadaran etika global ini juga diharapkan juga mengokohkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.

Selain spiritualitas dan etika kepemimpinan, juga pada tingkat kelembagaan semacam PERWARI ini, telah dirumuskan bersama sebuah Kode Etik Internasional untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (International Code of Ethics for NGOs). Kode etik internasional ini telah diresmikan bersama di dalam Konperensi Dunia LSM yang diselenggarakan oleh World Association of NGOs (WANGO) di Budapest, pada bulan Oktober 2004, di mana penulis juga berkesempatan menjadi salah seorang pembicaranya. Di dalam kode etik tersebut antara lain berupa 1- Guiding Principles, 2- NGO Integrity, 3- Mission and Activities, 4- Governance, 5- Human Resources, 6- Public Trust, Financial and Legal, 7-Fundraising, 8- Partnerships, Collaboration and Networking. Kode etik diharapkan dapat memberikan kerangka kerja dan performance dari organisasi kemasyarakatan dan LSM yang melakukan pemberdayaan, pembelaan dan pelayanan terhadap masyarakat. Dalam masyarakat yang sedang berubah dengan seperti yang tengah terjadi di Indonesia pada saat ini, penghayatan terhadap spiritualitas transformatif, etika global serta penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia hendaknya menjadi acuan bersama.

Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai Amanat Konstitusi

Kebangkitan bangsa Indonesia dari keterpurukan ekonomi, sosial dan budaya, yang telah membawa kepada keterpurukan kualitas hidup masyarakat Indonesia dan kualitas manusia Indonesia, harus segera diterobos lewat suatu strategi pendidikan yang memerdekakan, membangkitkan dan memanusiakan. Dengen mengembangkan kebijakan pendidikan untuk semua, yang murah, merata, terjangkau, nondiskrimiatif, berkeadilan gender, demokratis, berkepribadian dan berakhlak mulia. Amanat untuk memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan alasan dasar bagi disusunnya kemerdekaan Indonesia, yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Namun sampai menjelang ulang tahun kemerdekaannya yang ke 60, negara belum mampu melaksanakan amanat tersebut dengan sebagai mana mestinya. Pada hal hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Bahkan ia merupakan salah satu amanat utama dari pembentukan dan pendirian negara Republik Indonesia yang merdeka, sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka selama hampir 60 tahun, kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkankan. Bahkan menunjukkan gejala gradasi yang terus menerus, apalagi jika di banding dengan negara-negara jiran. Hasil tes yang dilakukan oleh International Association for Evaluation of Educational Achievement (IFA) dalam Trends in Mathematics and Sciences Study (TIMSS) 2003 menunjukkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia berada dalam kondisi yang sangat kritis. Evaluasi yang dilakukan oleh International Association for Evaluation of Educational Achievement (IFA) ini dapat dijadikan tolok ukur rendahnya mutu pendidikan, juga indicator-indikator kuantitatif yang tercermin di dalam indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) juga tidak memperlihatkan capaian yang berarti dalam pendidikan di Indonesia. Dicatat bahwa siswa Indonesia berada di dalam peringkat ke 34 dari 46 negara, untuk matematika dan peringkat ke 36 untuk sains, berdasarkan tes TIMSS. Sedangkan dalam laporan HDI Indonesia berada pada peringkat 111 dari 177 negara, di bawah peringkat negara-negara tetangga Singapura, Malaysia, Philippines dan Thailand. ( Bambang Wisudo, 2003, hal. 33)

PERWARI dan organisasi-organisasi serta pergerakan perempuan lainnya di tanah air yang menjunjung tinggi nilai moral dan religius serta memberikan kepeduliannya terhadap upaya terpenuhinya hak-hak rakyat untuk mengembangkan diri secara penuh; mempunyai kuwajiban moral dan politik untuk membangun kehidupan bangsa yang berharkat dan bermartabat, dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan yang merdeka, adil, berdaulat dan demokratis. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu kebijakan pendidikan bangsa yang merata, murah, terjangkau, non diskriminatif, demokratis dan mengembangkan kesetaraan gender. Dengan menekankan pendekatan, hak atas pendidikan sebagai hak rakyat yang harus dipenuhi, dimajukan, dihormati dan ditegakkan oleh negara dan masyarakat.

Pembangunan yang Berbasis Hak Asasi Manusia dan Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium.

Pembangunan yang berbasis hak asasi manusia menghendaki kebijakan yang selaras dengan prinsip-prinsip, instrumen dan standar internasional hak asasi manusia, serta instrumen nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ada perbedaan antara human-rights dengan human-capital approaches dalam pembangunan. Human Development Report 2000 mengakui bahwa meskipun terdapat persamaan ciri-ciri antara indikator pembangunan manusia dan indikator hak asasi manusia, kedua indikator ini juga memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Secara ringkas, indikator pembangunan mengukur kemajuan menuju perkembangan serta pertumbuhan dan bukan hak. Sebuah indikator hak-hak asasi manusia adalah sebuah alat untuk menentukan hingga sejauh mana suatu pemerintah memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan undang-undang hak asasi manusia. (Audrey R, Chapman, 2003, hal 65)

Pembangunan yang berbasis hak asasi di bidang pendidikan misalnya, telah dinyatakan di dalam amanat luhur kebangsaan Indonesia Indonesia tentang hak atas pendidikan, di dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen, ayat (1-) bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan di dalam ayat (2) dinyatakan , “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Amanat luhur kebangsaan ini dinyatakan lebih jelas lagi dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Hak atas pendidikan ia adalah hak ekonomi, sosial dan budaya yang sekaligus merupakan hak sipil dan hak politik. Pasal 13 Kovenan Hak-hak Ekonomi, sosial dan Budaya 1966, menyatakan : Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang beabs, memajukan pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.

Kalau kita perhatikan dengan cermat, maka nampak dengan jelas bahwa 7 dari 8 Tujuan-tujuan Pembangunan Millennium adalah pembangunan yang berbasis Hak Asasi Manusia :

1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan;
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
3. Mendorong kesetaraan gender & pemberdayaan perempuan;
4. Menurunkan angka kematian anak;
5. Meningkatkan kesehatan ibu;
6. Mengurangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya;
7. Kelestarian lingkungan hidup;
8. Membangun kemitraan global dlm pembangunan.

Realisasi tujuan-tujuan pembangunan millennium ini sangat berkaitan dengan realisasi hak-hak dasar dalam kehidupan manusia. Dan realisasi dari Millennium Development Goals ini telah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia yang dinyatakan dalam Sidang Umum PBB di Millennium Summit, pada bulan Desember 2000. Dan ini telah menimbulkan “state’s obligation” untuk merealisasikannya.

Hak atas Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

Sampai menjelang ulang tahun ke 60 Proklamasi Kemerdekaan kita, bangsa Indoensia masih menghadapi problem yang mendasar dalam masalah hak atas pendidikan di Indonesia, yang terutama adalah masalah legislasi dan kebijakan. Belum selarasnya secara penuh undang-undang dan kebijakan pendidikan nasional dengan cita-cita luhur kemerdekaan dan konstitusi UUD 1945, instrumen-instrumen dan standar HAM nasional maupun internasional; menyebabkan pembangunan di bidang pendidikan belum berbasis atas hak-hak asasi. Menurut Katarina Tomasevski, Special Rapporteur PBB di bidang hak atas Pendidikan, bahwa hak asasi manusia adalah penjaga dari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power) oleh negara, termasuk di bidang pendidikan, yang dilakukan oleh pemerintah. Pengingkaran terhadap hak atas pendidikan, menjadi penyebab terekslusikannya seseorang dari kesempatan kerja, marginalisasi ke sector informal, yang dibarengi dengan eksklusi dari skema jaminan sosial dsb. Mengatasi ketimpangan sosial ekonomi dan kesempatan mencari penghidupan yang layak, tidak mungkin dilakukan tanpa mengakui dan memenuhi hak atas pendidikan. Demikian pula banyak problem sosial, ekonomi, budaya dan politik yang tidak dapat dipecahkan, kecuali dengan menyelesaikan persoalan hak atas pendidikan ini, sebagai kunci untuk membuka pemenuhan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya lainnya; termasuk hak sipil dan politik. (Katarina Tomasevski, 2003, hal 32-33)

Amanat tentang hak atas pendidikan, secara jelas dinyatakan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen, ayat (1-) bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan di dalam ayat (2) dinyatakan , “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.Amanat ini ditegaskan lagi dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Pendidikan sebagai hak asasi manusia ini secara lebih spesifik dinyatakan di dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 12 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi” .

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III, Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4, menyatakan, 1- “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi”. sedangkan di dalam Pasal 11, dinyatakan (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Hak atas pendidikan juga merupakan hak sipil dan politik yang harus dilindungi, dimajukan, dihormati dan dihormati oleh negara, antara lain termuat di dalam pasal 18 ayat 4, Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik, yang menyatakan : “Negara-negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri”.

Selain dari Kovenan tersebut di atas, hak atas pendidikan ini juga dijamin di dalam Konvensi Hak-hak Anak 1989, dalam pasal 28, ayat 1 dan 3 yang antara lain menyatakan (Ayat 1) “State Parties recognize the right of the child to education, and with the view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, they shall, in particular : (a) Make primary education compulsary and available free to all……”

Sedangkan di dalam ayat 3, disebutkan : “ State Parties shall promote and encourage international cooperation in matters relating to education, in particular with a view to contributing to the elimination of ignorance and illeteracy through out the world and facilitating access to scientific and technical knowledge and modern teaching methods. In this regard, particular account shall be taken of the nds of developing countries.”

Pendidikan untuk Semua yang Berkeadilan Gender.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak enam tahun yang lalu, semakin mahalnya beaya pendidikan, berbarengan dengan ketidak sungguhan pemerintah dalam melaksanakan amanat konstitusi tersebut, berakibat pada semakin jauhnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena tidak meratanya pendididikan.

Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas menunjukkan bahwa pada tahun 2002 belum semua anak usia 7-15 tahun dapat menggunakan haknya untuk belajar di SD/MI dan SMP/MTs. 98,27 % anak usia 7 – 12 tahun (usia SD/MI) yang berjumlah 25,636 juta anak yang bersekolah di SD/MI, dan baru 79,07 % dari seluruh anak usia 13-15 tahun (usia SMP/MTs) yang berjumlah 12,888 juta yang bersekolah di SMP/MTs. Menurut Dodi Nandika, dapat dipastikan kendala utama masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya adalah besarnya beaya pendidikan, termasuk pendidikan dasar dan menengah. ( Dodi Nandika, 2004, hal. 46)

Indonesia bersama dengan negara-negara lain di dunia telah menerima dan menanda tangani Deklarasi Pendidikan untuk Semua ( Education for All ) yang dihasilkan oleh konperensi dunia yang diselenggarakan oleh UNESCO, yang bertajuk “Konperensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua” di Jomtien, Thailand mulal tanggal 5 sampai dengan tanggal 9 Maret 1990, yang telah membuat pernyataan bersama bahwa : “Kami para peserta Konperensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, menegaskan kembali hak semua manusia untuk pendidikan. lnilah dasar bagi tekad kami, sendiri dan bersama, untuk menjamin pendidikan untuk semua”.

Selanjutnya dinyatakan bahwa : “Kami berjanji dan bertekad untuk bekerjasama melalui bidang tanggungjawab kami masing-masing mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan bagi semua orang. Bersama-sama kami mengajak semua pemerintah, semua organisasi yang berkaitan dan perorangan untuk bersama-sama melaksanakan tugas yang mendesak ini”.

Didalam deklarasi tersebut juga dinyatakan bahwa , kebutuhan belajar dasar untuk semua dapat dan harus dipenuhi. Tiada jalan lain yang lebih bermakna selain memulai Tahun Aksara lnternasional, bergerak terus ke arah tujuan Dasawarsa Manusia Cacat PBB (1983-92), Dasawarsa Dunia untuk Pembangunan Kebudayaan (1988-97), Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita dan Strategi Masa depan untuk Memajukan Kaum Wanita, dan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Inilah waktu yang paling tepat untuk menyatakan tekad kami menyediakan kesempatan belajar dasar bagi semua manusia di dunia ini.

Oleh karena itulah, maka Negara-negara anggota UNESCO, menerima Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua: Memenuhi Kebutuhan Belajar Dasar dan menyetujui Kerangka Kerja untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Dasar demi tercapainya tujuan-tujuan yang ditetapkan di dalam Deklarasi ini.

Sistem pelayanan untuk pendidikan dasar bagi anak-anak di luar keluarga adalah sekolah dasar. Sekolah dasar hendaklah bersifat semesta, menjamin bahwa kebutuhan belajar dasar semua anak dipenuhi, dan memperhatikan kebudayaan, kebutuhan dan kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan dasar untuk semua yang merata, gratis, terjangkau, tanpa diskriminasi dan berkualitas merupakan perjuangan bersama yang sangat mendesak bagi kebangkitan bangsa ini dari keterpurukannya yang sangat memprihatinkan.


Perjuangan untuk Peningkatan Anggaran Pendidikan Nasional

Ketidak sungguhan negara untuk memberikan pendidikan yang merata bagi warga negara, dapat dilihat dari data-data mutakhir tentang pendidikan nasional di Indonesia. Sedangkan di dalam pasal 46 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen, disebutkan bahwa menyelenggarakan pendidikan merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah. Pasal tesebut juga menyebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara. Bahkan di dalam pasal 31 ayat 4 dinyatakan bahwa anggaran pendidikan diprioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

Fenomena semakin meningkatnya keluhan masyarakat atas mahalnya beaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terjangkaunya pendidikan oleh sebagian anggota masyarakat telah menyebabkan terlantarnya anak-anak usia sekolah di beberapa daerah di Indonesia tanpa memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai. Demikian pula rusak dan tidak terawatnya gedung-gedung sekolah dasar menyebabkan anak-anak tidak dapat melakukan kegiatan belajar dengan tenang dan nyaman. Situasi ketidak tersediaan fasilitas pendidikan secara memadai ini lebih menyedihkan di daerah konflik maupun yang tertimpa bencana, semisal di Aceh. Kebijakan pemerintah tentang evaluasi tahap akhir belajar, status guru dan kebijakan dan praktek-praktek komersialisasi perbukuan akhir-akhir ini semakin meresahkan masyarakat. Situasi seperti ini menyebabkan terjadinya problem availability, access dan acceptability dalam pendidikan. Perjuangan untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN menjadi tugas suci bangsa Indonesia, untuk menuju kepada kebangkitan bangsa. Bukan hanya kerjasama antara pemerintah dan DPR yang didorong, tetapi peran kontrol dari masyarakat sipil, pers dan berbagai media informasi dan komunikasi lainnya, perlu bekerjasama untuk memberikan tekanan atas realisasi anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut.

Perjuangan Peningkatan Kualitas dan Kesejahteraan Guru

Berbagai realitas pendidikan nasional yang memprihatinkan, serta kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai, serta ketidak tersediaan maupun kerusakan gedung-gedung sekolah dan fasiltas; ditambah dengan kekurangan jumlah guru yang memiliki kualifikasi, terutama di daerah-daerah terpencil menyebabkan kualitas pendidikan yang rendah. Tidak sedikit sekolah-sekolah di daerah terpencil yang terpaksa menggabungkan beberapa tingkatan kelas pada satu ruang sedehana. Padahal guru tidak dibekali pendidikan tentang bagaimana mengelola kelas yang berbeda dalam satu ruangan. Maupun pengajaran mata pelajaran yang berbeda-beda. Belum lagi persoalan gajih guru yang relatif masih kecil disbanding dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Guru Bantu dan guru kontrak sebagai fenomena baru dalam khazanah pendidikan di Indonesia dibayar Rp.400.000,- perbulan, lebih rendah dibanding dengan UMR di DKI Jakarta, sebesar RP. 700.000,-. Guru tamatan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dengan Golongan IIB, pada awal masa kerjanya mendapat gaji Rp. 782.000,- perbulan. Seorang Guru yang masa kerjanya mencapai 33 tahun, gaji pokoknya RP 1 juta perbulan, dengan kenaikan gaji berkala perdua tahun berkisar antara Rp. 17.000,- hingga Rp. 24.000,- . Persoalan kesejahteraan guru sangat terkait dengan profesionalitas guru . ( Nasru Alam Aziz, 2004, hal 5)

UU No 20/2003 tenteng Sistem Pendidikan Nasional mengatur hak-hak guru, namun belum terpenuhi secara memadai. Pasal 40 menyebutkan, pendidik dan tenaga kependidikan berhak mendapat penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerja; pembinaan karir sesuai tuntutan pengembangan kualitas; perlindungan hukum atas hasil kekayaan intelektual; dan kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilita pendidikan guna menunjang pelaksanaan tugas. Peningkatan kulaitas guru tidak mungkin dilakukan kecuali bersamaan dengan pengingkatan kesejahteraan mereka.

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

Kalau dicermati data statistik, baik yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Depdiknas, Badan Kepegawaian Negara (BKN) maupun hasil-hasil studi dan pengamatan terhadap sistem pendidikan nasional, ditemukan beberapa gejala kesenjangan gender di bidang pendidikan, yang antara lain terjadi dari gejala berbedanya akses atau peluang bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Susenas 2000 menunjukkan penduduk perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan SLTP ke atas baru mencapai 36,9 % sementara penduduk laki-laki 46%. Data tersebut menunjukan bahwa penduduk perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan di atas SLTP lebih kecil dibanding laki-laki. Berdasarkan Susenas 2000, penduduk perempuaa yang berpendidikan tinggi baru sekitar 3.06% atau lebih rendah dari penduduk laki-laki yang mencapai 4,17%. Selain itu persentase penduduk perempuan yang buta huruf berdasarkan statistik BPS tahun 2000 adalah sebesar 23,1 %, juga jauh lebih tinggi dari penduduk laki-laki mencapai angka 10,7%.

Kalau diperhatikan seksama, persentase penduduk perempuan yang melek huruf memang terus mengalami peningkatan, tetapi masih tertinggal dari penduduk laki-laki. Data tahun 1980 menunjukkan , hanya 63% perempuan berbanding dengan 80% laki-laki yang melek huruf (SP, 1980). Pada tahun 1990, persentase melek huruf perempuan meningkat menjadi 79% sementara laki-laki sudah mencapai 90% (SP, 1990), Penduduk perempuan yang melek huruf terus meningkat mericapai 85,54% tetapi masih tetap tertinggal dari penduduk laki-laki yang melek huruf, yaitu 93,4% (Susenas 1996)

Dari segi jenjang pendidikan mislanya, pada jenjang SD, SLTP dan SMU, kesempatan memperoleh pendidikan untuk perempuan relatif tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Pada tahun 2000, APM perempuan di SD adalah 92,6% berbanding 92%. Di SLTP APM perempuan adalah 60,7% berbanding 58,6% laki-laki, sedanglan di SMU adalah 38,9% perempuan berbanding dengan 36,7% laki-laki, sedangkan APM di perguruan tinggi Adalah 8,9% perempuan berbanding 10,9% laki-laki.

Dilihat dari segi roses pembelajaran, masih belum berwawasan gender dan cenderung memihak laki-laki (male bias). Laki-laki cenderung ditempatkan pada posisi yang lebih menguntungkan dalam keseluruhan proses pendidikan misalnya dalam Memimpin kelas, memimpin organisasi siswa, memimpin kelompok belajar, memimpin diskusi kelompok, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan pendapat, dan sebagainya.

Meskipun angka partisipasinya berbeda, perempuan lebih mampu bertahan dibandingkan dengan laki-laki. Angka putus sekolah siswa perempuan selalu lebih kecil, khususnya pada SMU, SMK dan Perguruan Tinggi. Siswa perempuan juga lebih banyak yang dapat menyelesaikan sekolah sampai lulus dibandingkan dengan lakilaki. Gejala-gejala tersebut menunjukan bahwa peserta didik perempuan lebih optimal dalam memanfaatkan kesempatan belajar. Dari segi buku, teks pembelajaran di sekolah, muatan buku-buku pelajaran yang membahas status dan fungsi perempuan dalam masyarakat menunjukan muatan bahan ajar yang belum peka gender (gender blind). Hal ini akan memberikan banyak pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. Muatan sebagian buku-buku pelajaran (IPS, PPKn, Pendidikan Jasmani, bahasa dan Sastra Indonesia , serta Kesenian yang diamati cenderung belum berwawawasan gender. Para pengembang kurikulum dan penulis buku-buku pelajaran lebih dominan laki-laki yaitu sebesar 85% (Gramedia, 2000). Para penulis buku pelajaran tersebut umumnya belum peka gender, termasuk para penulis perempuan.

Beberapa factor yang diidentifikasi mempengaruhi terjadinya berbagai gejala ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan antara lain terjadi pada tiga kelompok permasalahan kebijakan pendidikan, yaitu (a) Pemerataan Kesempatan Belajar; (b) Penjurusan dan Program studi; serta (c) Kurikulum, Bahan Ajar dan Proses Pendidikan. Konsep kesetaraan gender ini harus diterjemahkan menjadi kebijakan dan program pembangunan sektor, dimonitor prosesnya dan diukur hasilnya. Human Development Report (HDR) menyempurnakan pengukuran indikator pembangunan gender dengan mengenalkan Indeks Pembangunan Gender (IPG), IPG melihat ketimpangan gender dalam pembangunan dengan memperhitungkan variabel yang sama dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tetapi memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara Laki-laki dan Perempuan. IPM mengukur rata-rata pencapaian secara umum seperti; angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, pengeluaran per-kapita tetapi tidak memperhitungkan perbedaan tingkat pembangunan manusia yang dicapai Laki-laki dan Perempuan. Dengan kata lain, IPG adalah IPM yang disesuaikan dengan melihat ketimpangan gender. Makin besar kesenjangan antar gender dalam pembangunan manusia, makin rendah nilai IPG suatu negara, makinrendah pula nilai IPM-nya.

Data pada tahun 1999, IPG Indonesia masih sangat rendah, yaitu 92 dari 162 negara. Peringkat ini dibanding dengan negara-negara ASEAN sangat jauh tertinggal, misalnya Thailand, dan Philipina yang masing-masing berada pada rangking ke-55, 58, dan 62, rendahnya peringkat IPG Indonesia salah satunya disebabkan rendahnya indikator IPG, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata masa sekolah, dan tingkat partisipasi angkatan kerja Perempuan.

Rekomendasi

Untuk bersama-sama membangun masa depan Indonesia yang adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat yang nyata dan sungguh-sungguh, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1- Membangun jaringan kerjasama untuk memperjuangkan penyusunan kebijakan pendidikan untuk semua, yang merata, murah, non diskriminatif, dan menuju kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai hak asasi dan bukan komoditi yang dikomersialisasikan.
2- Memperjuangkan terselenggaranya pendidikan berkesetaraan gender, dengan mengarus utamakan gender dalam kebijakan dan pelaksanaan pendidikan di semua jenjang dan jenis pendidikan.
3- Perlunya kerjasama untuk memperjuangkan Hak atas Pendidikan sebagai Hak Asasi Rakyat, dengan melakukan advokasi dan kegiatan legislasi, pengkajian Instrumen Internasional maupun Nasional. Serta memperperjuangkan ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,
4- Memperjuangkan peningkatan Anggaran Pendidikan sebesar 20 % dari APBN, sesuai dengan amanat konstitusi, untuk memenuhi hak atas pendidikan sebagai hak asasi manausia
5- Bekerjsama dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, media massa dan lembaga-lembaga pengkajian untuk memantau kebijakan dan pelaksanaan pedndidikan nasional.

Merancang Pendidikan Transformatif

Oleh: Teddy Suryana

Wacana tentang pendidikan yang mengemuka akhir-akhir ini,
seharusnya diselesaikan secara tuntas. Sebab, perdebatan seputar pendidikan
Indonesia tersebut baru sebagian yang sampai menghujam pada akar persoalan
pendidikan kita. Perdebatan mutakhir berputar pada wacana otonomi daerah (otda)
yang berpengaruh pada persoalan kebijakan dan finansial.Akan tetapi, sejauh yang kita amati, wacana pendidikan tersebut belum
menghunjam pada akar persoalan pendidikan di Indonesia. Artinya, pendidikan
seharusnya dibaca dalam kerangka konstruksi ideologis yang tersembunyi di balik
pendidikan Indonesia. Tanpa pembacaan seperti itu, berbagai perbincangan
tersebut hanya karikatural belaka. Tulisan ini membaca pendidikan sebagai suatu
'teks' yang tidak terlepas dari teks lain dan juga konteksnya.

Pendidikan merupakan salah satu entitas sosial yang terelasi dengan teks sosial
yang melingkupinya. Artinya, konstruksi pendidikan suatu bangsa merupakan salah
satu metafor kebudayaannya, yang merefleksikan ideologi dan filsafat
pendidikannya. Karena itu, persoalan sosial suatu bangsa tidak dapat dilepaskan
dari konstruksi pendidikannya yang menjadi kerangka kerja proses sosial.

Dengan demikian, pendidikan harus dibaca dalam setting sosial dan budayanya
yang terajut dalam interrelasi antarteks sosial. Pembacaan tersebut memunculkan
realitas, pendidikan di Indonesia disubordinasikan dalam wacana
developmentalism yang merupakan ideologi ekonomi negara.Ini terlihat, misalnya, dalam berbagai kebijakan dan politik pendidikan yang
diterapkan. Konsep subordinasi organ mahasiswa di bawah rektorat era Daoed
Yoesoef, konsep link and match yang digagas era Wardiman, konsep Pengabdian
Pada Masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dibangun atas dasar
asumsi teori modernisasi dan terakhir gagasan otonomi perguruan tinggi,
merefleksikan wacana developmentalistik. Selain ideologi kapitalisme,
pendidikan kita, konon, juga menjadi penandaan bagi ideologi militeristik
seperti terefleksikan dalam penyeragaman dari cara bersetubuh hingga nalar,
feodalisme yang tecermin dalam metodelogi pengajaran yang berlogika
kawula-gusti dan nasionalisme-fasis melalui penjejalan doktriner ideologi
Pancasila.

Subordinasi kasar ini, lama kelamaan mendistorsi filsafat dasar pendidikan
bangsa sebagai wahana pencerdasan dan pencerahan bangsa. Pendidikan berjalan di
luar kodratnya. Kurikulum pendidikan didominasi sains positivistik dan
paradikma fungsionalisme yang juga dipaksakan diterapkan dalam sains sosial dan
humaniora. Keberhasilan pendidikan diukur melalui nilai verbal dan ijazah tanpa
mau tahu proses material munculnya nilai tersebut.

Maka, yang terjadi adalah pendidikan hanya menjadi wahana transfer of knowledge
yang oleh Freire dikatakan tidak lebih dari pendidikan preskriptif, jauh dari
pendidikan dialogis yang ideal. Model pendidikan tersebut merupakan model
pendidikan yang dalam bahasa Freire, membelenggu (domesticating) yang kontras
dengan pendidikan membebaskan (liberating), yang selain memuat dimensi to know
juga memuat dimensi to transform.

Oleh karena pendidikan diseting untuk memenuhi hanya salah satu aspek dalam
kehidupan manusia yakni kepentingan pasar, maka pendidikan tidak dapat
responsif menghadapi dinamika dan perubahan sosial yang kompleks. Pendidikan
yang tidak dirancang untuk menjawab tantangan secara komprehensif tantangan
masa depan ini, menjadikannya mengalami stagnasi bahkan involutif karena gagal
mengakomodasi transformasi sosial yang ada.

Involusi tersebut tecermin, misalnya, dalam dataran teknis. Upaya membangun
infrastruktur yang memadai sebagai investasi masa depan, dipandang kurang
penting dibanding anggaran militer. NER (Net Enrolment Ratio) untuk tingkat SD,
SMP, SMU di Indonesia yang rata-rata lebih rendah dibanding negara berkembang
lainnya, dapat dijelaskan dalam politik pendidikan ini.Dalam tataran diskursus, pendidikan yang berjalan di luar kodratnya melahirkan
tradisi fashion dalam pergulatan intelektualisme. Tren diskursus intelektual
yang berkembang tidak berasal dari basis sosial permasalahan yang ada. Namun
terpengaruh oleh isu intelektualisme yang berkembang di barat yang memiliki
basis sosial berbeda.

Era 1990-an, misalnya, intelektual terkena demam postmodernism sebagai wacana
an sich yang tidak dibenturkan dengan realitas objektif. Begitu juga wacana
civil society yang amat penting itu. Wacana ini lebih sering dibaca secara
konseptual daripada elaborasinya dalam konteks Indonesia. Tren wacana paling
mutakhir adalah cultural studies, yang siap dijadikan onani intelektual. Maka,
dapat dikatakan wacana yang dikembangkan intelektual tidak sebangun dengan
persoalan sosial yang digumuli rakyat, terserabut dari akar sosial dan
kulturalnya.

Oleh karena itu, diperlukan paradigmatisasi pendidikan transformatif. Suatu
pendidikan yang dikembangkan sesuai kebutuhan objektif, visioner, didasarkan
atas falsafah tujuan negara. Pendidikan ini diarusutamai oleh menyatunya
pendidikan dengan persoalan sosial yang tengah digumuli rakyat dan memberikan
perspektif terhadap problematika masa depan. Pendidikan tersebut menghendaki
pendidikan dibaca sebagai salah satu entitas sosial yang diletakkan dalam
kerangka besar transformasi masyarakat Indonesia. Dengan demikian, pendidikan
transformatif adalah pendidikan yang mampu menggerakkan transformasi sosial.
Gagasan paradigma ini dimulai dengan melakukan dekonstruksi total terhadap
konstruksi ideologi pendidikan Indonesia sekarang. Tugas dekonstruksi ini
diarahkan untuk membebaskan pendidikan dari berbagai belenggu ideologis dan
politik yang menyelubunginya.

Pendidikan harus dibebaskan dari proyek hegemoni penyebarluasan teori
modernisasi, seperti digambarkan Escobar (1990; dalam Mansur Faqih; 1996: 74),
'penciptaan jaringan kerja yang luas (dari organisasi internasional dan
universitas hingga pelaku pembangunan tingkat lokal) yang menjamin pemungsian
aparat ini secara efisien. Sekali dikonsolidasikan, sistem ini menentukan apa
yang dapat dikatakan, dipikirkan, dibayangkan. Singkatnya, sistem itu
mendefinisikan bidang perseptual, ruang pembangunan'.

Pendidikan di Indonesia era Orba, di samping disubordinasikan dalam
developmentalism juga dipakai sebagai instrumen politik mempertahankan
kekuasaan. Fiske (1998; Rahmat Wahhab: 1999) mengatakan, sekolah merupakan
sumber kekuasaan politik, media praktik kekuasaan dan senjata politik. Orde
baru menjadikan pendidikan sebagai sumber kekuasaan dengan cara mempekerjakan,
memberhentikan, mempromosikan dan mengangkat guru dan pegawai untuk mendapatkan
dukungan. Ini terlihat, misalnya, ketika Letjend Amir Machmud (mendagri) pada
1997 mengarahkan seluruh anggota Korpri untuk menyatakan loyalitas tunggalnya
pada Golkar.

Itulah strategi kuasa Orba yang disebut Gus Dur dengan meminjam analisis
governmental rationality-nya Foucault, dengan istilah regementasi. Yaitu
strategi Orba dalam menjalankan pengendalian politik secara lengkap,
sistematis, sentralistik, dalam membangun legitimasinya. Pendidikan menjadi
salah satu instrumen politik untuk menangkal bahaya (politic of exclusion),
reproduksi dan distribusi wacana resmi.

Proses dekonstruksi di atas dilanjutkan dengan rekonstruksi pendidikan.
Rekonstruksi menuju pendidikan transformatif yang didasarkan atas kondisi
objektif dan proyeksi masa depan yang hendak dicapai. Pada titik ini,
pendidikan Indonesia menghadapi tantangan internal dan eksternal yang berat.
Problem internal terkait dengan dunia pendidikan sendiri seperti filsafat
dasarnya, infrastruktur, sumberdaya manusia, dana dan kelembagaan dalam
kebijakan politik pendidikan.

Secara eksternal, pendidikan dihadapkan pada problem nasional dan kompeksitas
problematik globalisasi. Problem nasional bukan hanya persoalan krisis ekonomi
yang tak kunjung usai, namun juga mencakup current issues seperti SARA,
pluralisme, lingkungan hidup, etika dan demokrasi. Sedangkan problem global
dipicu oleh tantangan dan dampak revolusi teknologi informatika, komunikasi dan
komputer. Revolusi teknologi yang menjadi sokoguru kapitalisme ini, menciptakan
kompetisi antarbangsa yang bercorak keunggulan SDM. Juga berbagai dampak buruk
yang menyertakan yang terangkum dalam isu global serta hegemoni ekonomi negara
maju.

Tanpa merancang paradigma pendidikan transformatif, pendidikan Indonesia tidak
akan dapat memberi konstribusi dalam transformasi sosial di abad ke-21. Bahkan,
jika pendidikan Indonesia masih tetap menghirup udara sosial positivistik, maka
barangkali perlu direnungkan pandangan sejarah Levi Strauss, yang melihat
pengembangan sains hanya akan membawa manusia pada kehancuran struktur nilai
peradabannya.

Kepemimpinan Transformatif

oleh ; Yudi Latif

Di Multazam, sambil merapatkan tubuh ke dinding Ka'bah, yang pertama
terlintas dalam doaku adalah Indonesia: "Ya Allah, jadikan negeriku
tempat yang aman. Berkatilah warganya dengan kemakmuran dan
kebahagiaan. Tumbuhkanlah para pemimpin yang lebih besar dari dirinya
sendiri."

Seperti Ismail siap disembelih, ucapan Sherif Haramaian yang menerima
rombongan terasa menusuk kalbu. "Indonesia tempat bermukim seperlima
pemeluk Muslim dunia dengan kekayaan alam, terlalu penting untuk
dilupakan dan terlalu menjanjikan untuk disia-siakan."

Ada percik kebenaran dalam ucapannya. Sekadar berbekal minyak, Arab
Saudi nan tandus dengan kepemimpinan otoritarian, toh masih sanggup
menghadirkan kesejahteraan bagi warganya.

Ketika Raja Fahd dibuatkan istana di sebuah bukit pinggir kota
Madinah, masih tersisa kearifan tradisional yang menggugah
keinsyafannya. "Bagaimana mungkin saya tinggal di atas bukit,
sedangkan rakyatku bermukim di bawah sana."

Adapun Indonesia, negeri subur dengan kepemimpinan demokratis yang
seharusnya memuliakan daulat rakyat, bayangan yang segera terlintas
adalah barisan TKI yang miskin marwah dan perlindungan.

Dalam pesawat yang membawa pulang, seorang TKW yang mengalami gangguan
ingatan—yang menurut para pramugari merupakan fenomena yang
lumrah—secara ngelantur menyebut Indonesia sebagai "Ibu pertiwi yang
tega menyembelih anak-anaknya sendiri".

Tirani mayoritas

Setelah demokratisasi berjalan sembilan tahun, tanpa perbaikan
kualitas hidup, mestinya terbit kesadaran lain, tirani pemerintahan
tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan (freedom).
Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik yang memperhadapkan tirani
dengan keadilan (justice). Kebebasan tanpa keadilan hanya membuat
tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah
lembut permainan prosedur.

Jauh hari, pemikir demokrasi seperti Alexis de Tocqueville wanti-wanti
akan kemungkinan munculnya bentuk tirani lain dalam demokrasi, yakni
tirani mayoritas. Namun, dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia,
yang muncul tetap tirani minoritas, yakni tirani pemodal yang
bersekutu dengan oligarki kepartaian.

Jika masalah demokrasi kita adalah defisit keadilan, bukan kebebasan,
maka isu utamanya bukan pergantian elite dan prosedur politik, tetapi
kapasitas transformatif kekuasaan. Bagaimana mengakhiri gerak
sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal
yang berorientasi kemaslahatan umum. Malang, pergeseran dari
otoritarian menuju demokrasi di Indonesia belum menyentuh aspek ini
sehingga upaya reformasi tidak menghasilkan perubahan substansial.

Dalam hal ini, watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meski
kepemimpinan merupakan fitur permanen yang diperlukan masyarakat dan
segala zaman, perlu dicatat tidak ada pemimpin yang cocok untuk segala
musim. Seperti dikatakan Montesquieu dan Max Weber, kepemimpinan
merupakan fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup, dan
kepentingannya, tergantung perkembangan masyarakat. Konsekuensinya,
kekuasaan dan lokus tindakan seorang pemimpin ditentukan oleh watak
personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya.

Krisis kepemimpinan

Masa krisis dan kekacauan memerlukan peran kepemimpinan yang lebih
besar sekaligus pemimpin besar (great men) dibanding pada masa normal
dan stabil. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi
munculnya para pemimpin karismatis dengan pesan pembebasan dan
pemulihan tertib politik.

Namun, perkembangan antiteori sekali lagi terjadi di Indonesia. Krisis
terus memagut, tetapi para pemimpin karismatis tak kunjung muncul,
atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana
seperti inilah yang kini diratapi sebagai krisis kepemimpinan. Hal itu
terjadi karena rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan di era
reformasi lebih mengandalkan sumber daya "alokatif" ketimbang
"otoritatif".

Yang pertama berarti kemampuan kontrol atas aneka fasilitas material.
Yang kedua adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain
berdasar kewibawaan visi dan ideologis. Yang dipikirkan bukan
kapasitas transformatif kekuasaan, tetapi daya beli para pemimpin.
Akibatnya, partai politik gagal mereproduksi intelektual organiknya;
sedangkan para pemimpin yang punya bibit-bibit karismatis sebagai
pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika "alokatif",
yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.

Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak
kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu menghadang kita. Itu
sebabnya mengapa new deal harus diperjuangkan seiring kemunculan new
dealers.

Kita harus memulai perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal
di mana kekuasaan bukan akhir perjalanan, tetapi sarana untuk
memperjuangkan kebajikan bersama. Setiap pemimpin di segala bidang dan
tingkatan harus menyadari dan belajar mengemban tugas pastoral,
sebagai penggembala yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan
rakyatnya. Untuk itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar
dari dirinya sendiri.

Seperti kata Vaclav Havel, "Mustahil menulis persoalan besar tanpa
hidup dalam persoalan besar, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi
manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa
tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab
terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri." Dengan jiwa
para pemimpin yang kerdil, kekayaan alam hanya akan menjadi sumber
kutukan


Koalisi Islam atau Kolaisi demokrasi

oleh :Ahmad Fuad Fanani
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Jakarta

PERHITUNGAN sementara pemilu legislatif menampakkan partai-partai Islam atau
yang berbasis Islam, perolehan suaranya terbukti berada di bawah partai
nasionalis. Namun, keinginan mereka untuk memenangkan pemilihan presiden
pada Juli nanti masih tampak besar. Keinginan untuk mendukung calon presiden
dari kalangan Islam dan memenangkan pemilihan presiden adalah sebuah
cita-cita yang mulia dan wajar dilakukan. Soalnya, dengan jumlah penduduk
mayoritas di Indonesia, umat Islam banyak yang merasa berhak untuk menguasai
negeri ini.
Dan bila kepemimpinan diserahkan pada umat lain atau orang yang diragukan
komitmen keislamannya, menurut mereka sangat dimungkinkan terjadi
peminggiran dan pengekangan aspirasi Islam. Salah satu agenda yang tampak
maka untuk mencapai kemenangan itu adalah membentuk Forum Umat Islam (FUI)
beberapa waktu yang lalu. Salah satu tujuan terpenting dari forum itu adalah
penyatuan langkah dalam menghadapi pemilihan presiden secara langsung pada 5
Juli mendatang. Langkah-langkah yang akan diambil, nantinya akan mengerucut
pada dukungan satu calon presiden yang berasal dari kalangan Islam.
Forum Umat Islam adalah sebuah forum yang tampak luar biasa dan solid.
Paling tidak, jika dilihat dari para penanda tangan deklarasinya. Hampir
semua partai politik Islam dan yang berbasis Islam (PKB dan PAN) mengikuti.
Belum lagi, ormas-ormas Islam dari yang kecil, sampai NU, Muhammadiyah, MUI
pun bersemangat mengikuti forum tersebut. Jika diamati, forum itu merupakan
bentuk langkah yang lebih maju dari gagasan koalisi parpol Islam yang sudah
bergulir sejak enam bulan terakhir.
Pengalaman sejarah
Langkah-langkah politik seperti di atas sebetulnya sudah terdapat preseden
sejarahnya, paling tidak mulai zaman kemerdekaan hingga Pemilu 1999 kemarin.
Dulu, ketika menjelang pemilu dilaksanakan, biasanya ormas dan parpol Islam
menggelar sebuah Kongres Umat Islam (KUI). KUI pertama yang dilakukan pada
tahun 1945, berhasil membentuk Partai Masyumi yang ditujukan untuk menampung
aspirasi politik dan memperjuangkan cita-cita umat Islam.
Dan KUI kedua yang digelar pada 1999, merekomendasikan untuk mengharamkan
presiden perempuan dan menolak caleg dari kalangan non-Islam. KUI tidak
diselenggarakan pada zaman Orde Baru, soalnya saat itu umat Islam
termarginalisasi secara politik dan terdapat larangan untuk menggelar
forum-forum yang berbau primordialis dan mengancam stabilitas negara.
Bila kita mempelajari pengalaman penyatuan umat Islam pada dua kali momen
penting itu, sebetulnya hasil yang dicapai tidaklah memuaskan dan sesuai
tujuan awal. Pembentukan Masyumi sebagai wadah tunggal politik umat Islam,
akhirnya tercerai berai oleh konflik internal akibat perebutan kursi menteri
dan jabatan strategis di partai. Dan NU akhirnya keluar dari Masyumi, dan
mendirikan partai sendiri pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun, pada akhirnya
juga keluar dari keanggotaan istimewa Masyumi dan lebih memfokuskan diri
pada kegiatan pendidikan dan dakwah sosialnya (Ahmad Syafii Maarif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, 1985). Begitu juga, KUI 1999 yang merekomendasikan
melarang calon presiden perempuan dan memilih parpol yang banyak mengajukan
caleg nonmuslim, akhirnya juga kandas di tengah jalan. Hal itu paling tidak
tampak dari kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 dengan suara yang
jauh melampaui parpol Islam.
Meski Poros Tengah yang sering dianggap sebagai turunan dari KUI berhasil
menghadang Megawati pada pemilihan presiden dan mendudukkan Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), hal itu hanya berlangsung sebentar. Dan akhirnya, Gus Dur
pun diturunkan akibat kekecewaan banyak parpol Islam dan umat Islam atas
sepak terjangnya yang cenderung kontroversial dan menguntungkan umatnya
sendiri. Kemudian Megawati yang sangat diragukan keislamannya dan yang
partainya didominasi oleh non-Islam, dengan pragmatisme politik para
politikus di Senayan, akhirnya didudukkan menjadi presiden.
Penyatuan umat Islam lewat jalur nonpolitik seperti pendirian ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 1990-an, terbukti juga banyak
mengecewakan. ICMI pada akhirnya hanya bertujuan untuk menggapai tangga
kekuasaan dan pembagian jatah menteri. Sedangkan aspek-aspek kultural dan
kerja-kerja sosial yang mestinya menjadi tujuan intinya, hanya menjadi hal
yang karikatif saja. Hal itu ditambah lagi dengan terlalu tertumpunya ICMI
pada figur Habibie. Dan setelah Habibie tidak lagi berkuasa, akhirnya ICMI
hanya menjadi perkumpulan para pensiunan menteri dan orang yang tidak
tertampung di partai. Apalagi, Adi Sasono sebagai Ketua Umum ICMI pun
akhirnya mengundurkan diri dan lebih senang berkiprah di partai.
Koalisi demokrasi
Maka, berdasarkan pengalaman preseden sejarah yang tampak kurang
menggembirakan itu, selayaknya kita tidak terlalu menaruh harapan yang
terlalu besar pada FUI (Forum Ukhuwah Islam). Terlebih lagi, forum itu
tampaknya juga hanya didasari pada tujuan jangka pendek untuk memenangkan
pemilu. Soalnya, banyak kerja-kerja kultural yang meski harus dilakukan dan
dicarikan strategi pelaksanaannya. Aspirasi umat Islam, tentu tidak akan
bisa hanya ditampung pada forum seperti itu. Dan Pemilu 2004, hanyalah
bentuk fase yang harus dilalui dalam waktu dekat ini. Sedangkan perjuangan
umat pada jangka panjang, tentu tidak hanya bisa digantungkan pada
kemenangan hari ini yang bisa jadi menguntungkan politikus dan petinggi
organisasi Islam itu.
Penyatuan politik umat Islam sebetulnya juga hanya akan mempertebal
eksklusivisme kelompok tertentu saja. Soalnya, bila ada organisasi atau
partai lain yang tidak mau masuk di dalamnya tapi juga menampung banyak umat
Islam, apakah aspirasinya juga akan diperjuangkan? Begitu juga dengan umat
agama lain, apakah dia akan hanya dijadikan warga negara kelas dua yang
aspirasinya akan dipinggirkan bila umat Islam berkuasa? Parpol dan ormas
Islam yang berkoalisi pun selayaknya juga harus diuji komitmen dan diteliti
track record-nya selama ini dalam memperjuangkan aspirasi umat. Bila mereka
terbukti tidak bisa dipercaya, berpengalaman menjadi politikus 'kutu
loncat', dan juga pernah melakukan korupsi, kenapa pula kita terlalu percaya
diri memercayakan aspirasi yang besar pada mereka?
Menurut penulis, koalisi yang layak dan harus dilakukan oleh umat Islam
adalah koalisi untuk demokrasi dan transformasi rakyat. Koalisi ini tidak
harus memandang asal agama dan kelompok masing-masing, tapi lebih
menitikberatkan pada substansi perjuangan dan pembelaan rakyat kecil. Paling
tidak, koalisi itu pada tahap awal harus melakukan penyadaran pada rakyat
akan pentingnya menghadang kekuatan lama, kekuatan status quo, dan kekuatan
yang terbukti menyengsarakan rakyat, menjual aset negara, melanggengkan KKN,
memperjualbelikan hukum, serta yang menampung para politikus bermasalah.
Maka, semua parpol yang terindikasi melakukan itu dan para aktivisnya pernah
membohongi rakyat, entah berasal dari Islam atau agama lain, hendaknya tidak
dipilih.
Harus segera disadari dan disosialisasikan secepatnya, bahwa jalur politik
dan kekuasaan yang dianggap sebagai jalan tercepat untuk mengubah nasib umat
adalah sebuah imajinasi yang menyesatkan. Soalnya, bila tidak ada kontrak
sosial antara pemilih dan para politikus, nasib umat hanya menjadi penyuplai
suara agar mereka (baca-para elite) mencicipi kursi kekuasaan. Reformasi
kultural dan politik, menurut pemikir Robert A Dahl, merupakan sebuah
keterkaitan yang harus dijalankan untuk mewujudkan negara yang demokratis.
Selain itu, transparansi, pelindungan hak-hak warga, kebebasan berpendapat,
pemajuan pendidikan, dan penegakan hukum adalah tujuan yang harus juga
menjadi agenda koalisi untuk demokrasi dan transformasi rakyat ini. Dengan
koalisi itu, pengawalan arah transisi dan pengentasan krisis sebetulnya
lebih dimungkinkan dibanding dengan koalisi yang mengagungkan simbol
primordialisme dan tujuan jangka pendek.***



Saturday, February 7, 2009

The Sultan Center (TSC)

Pusat Studi Kepemimpinan Publik

Direktur Eksekutif

Achmad Rozi El Eroy

Sekretaris Eksekutif

Toni Anwar Mahmud

Deputy Keuangan:

Surti Zahra

Deputy Riset:

Nursoleh “Ollien”

Deputy Kajian dan Strategi:

Asep Koswara

Deputy Advokasi :

Jayadi Hasan

Deputy kebijakan Publik:

Ukun Kurnia

Deputy Diklat:

Malik Fathoni

Deputy Pengembangan Organisasi:

Edi Muhammad Abduh

Deputi Kesos

Gema Ikasari

Deputy Humas:

Boby Saufi Alhabibi

Etika Politik Caleg

Menjelang Pemilu 2009 yang tinggal beberapa bulan lagi, sebuah pertanyaan menarik yang muncul adalah, Apa yang harus dilakukan oleh seorang caleg (calon legislatif) ketika akan mencalon diri menjadi anggota legislatif pada pemilu 2009 yang akan datang? Menunggu berkah dari kemenangan Partai, tanpa kontribusi apapun? Menggalang massa sejak dini melalui pembentukan simpul-simpul atau kantong-kantong suara di setiap daerah pemilihan (dapil)? Atau mengumpulkan “gizi” untuk digunakan sebagai money politic terhadap masyarakat?

Terlepas dari pilihan masing-masing caleg, terhadap tiga pertanyaan diatas, paling tidak mereka akan dihadapkan pada sebuah nilai etis yang berlaku dimasyarakat dan harus dijaga serta ditaati, sehingga kualitas dari Caleg dan Parpol yang terlibat dalam hajat Pemilu 2009 tidak tercoreng. Seorang caleg harus menjaga nilai-nilai etis tersebut karena hal tersebut menyangkut tindakan politik yang dilakukan. Artinya bahwa tindakan politik caleg dan parpol diperlukan untuk memelihara keharmonisan dalam pergaulan politik. Suatu tindakan politik yang tidak etis dan mengganggu keharmonisan politik, serta tidak adanya etika dalam tindakan politik, bukan saja menjadikan sopan santun hilang dari tingkah laku berpolitik, tetapi juga dapat menciptakan keadaan menjadi tidak tertib bahkan secara internal partai politik tertentu akan melahirkan polarisasi bahkan bisa menciptakan konflik partai politik.

Etika atau moral atau kesopanan adalah tata cara seseorang untuk bersikap kepada sesama (orang lain). Tata cara ini sangat berhubungan erat dengan nilai-nilai yang diyakini oleh orang tersebut. Artinya jika lingkungan orang tersebut bebas dari nilai, maka dapat dipastikan akan menyimpang dari aturan-aturan sopan santun. Juga dapat dikatakan bahwa Etika atau sopan santun adalah salah satu norma yang terdapat dalam masyarakat. Misalnya tidak mungkin rasa hormat dan harga menghargai timbul dari orang yang pola tingkah lakunya menyimpang dari nilai yang lazim dan dianut oleh lingkungan sosialnya. Orang yang tidak memiliki nilai dalam hidupnya akan melakukan apa saja sesuai dengan keinginan hatinya. Etika bertolak dari internal pribadi dan lingkungan sosial.

Etika yang dianut oleh seseorang bergantung pada nilai yang ia peroleh sejak kecil dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya. Setiap komunitas sosial politik bukan saja bersentuhan dengan norma etika atau kesopanan, tetapi juga bersentuhan dengan norma-norma lainnya. Yaitu; pertama Norma Agama, norma ini merupakan aturan-aturan yang berasal dari Ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Norma agama didasarkan pada kitab suci. Dalam kitab suci terdapat sanksi-sanksi, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Secara horizontal sanksi tersebut berasal dari masyarakat bahkan dari hukum Negara dan sanksi vertikal tersebut berasal dari Tuhan, dan hal ini benar-benar telah diyakini oleh semua orang beriman. Kedua Norma Hukum, ini merupakan kaedah hukum yang menjadi patokan untuk bertingkah laku agar tercipta kehidupan yang tertib, aman dan adil. Hukum dalam arti undang-undang mengandung perintah dan larangan. Bagi yang melanggar perintah dan larangan itu akan mendapatkan sanksi hukum.

Ketiga Norma Kesusilaan. Ini merupakan peraturan-peraturan hidup yang berasal dari hati nurani manusia. Ia menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, berdasarkan bisikan suara hatinya. Dengan norma susila ini setiap orang dan kelompok sosial dapat menentukan mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak baik. Misalnya, dilarang melecehkan orang lain, melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan didepan umum dan mengambil barang yang bukan haknya.

Etika Partai Politik dalam Pemilu

Menurut Deliar Noer (2002: 112), untuk menciptakan kondisi politik yang kondusif, maka masing-masing partai politik diharapkan mampu mengembangkan kerukunan, persaudaraan dan kesamaan dalam berkiprah sebagai bagian dari kekuatan masyarakat. Dengan menciptakan kondisi seperti itu maka ketidakamanan, kerusuhan, kekerasan dan perkelahian yang banyak melanda negeri ini akan dapat dieliminir secara natural, tanpa perlu pemerintah bertindak represif menanggulanginya.

Disamping itu, partai politik juga harus mampu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang akan mengganggu stabilitas politik, khususnya disaat dilangsungkannya pesta demokrasi Pemilu misalnya, yaitu dengan bersikap sebagai berikut; pertama, dilarang menghina partai lain atau menawarkan bantuan uang atau menawarkan bantuan lain untuk memperoleh pengikut atau menolak partai lawan atau yang tidak disenanginya ataupun memprovokasi masyarakat untuk tidak ikut memilih. Kedua, partai hendaknya menerima dengan rela hasil pemilu yang diselenggarakan dengan jujur dan adil; ketiga, partai hendaknya dapat secara sinergis membantu panitia pemilu sehingga pekerjaan-pekerjaan panitia dapat berjalan dengan lancar; dan keempat hendaknya tidak berusaha untuk mendapatkan bantuan atau dukungan dari pegawai negeri manapun (PNS/TNI/Polri) untuk memajukan atau menghalangi pemilihan seseorang calon dalam pemilu.

Etika Politik Caleg

Sebagaimana yang pernah diulas dimuka, bahwa agar tetap survivel ditengah-tengah masyarakat dan menjadi pilihan pertama, Partai Politik beserta seluruh jajarannya, anggota, caleg, pengurus harus dapat membangun dan mengembangkan etika politik yang santun, bersih, jujur, dan bertindak rasional. Etika politik harus dijadikan sebagai basic needs setiap caleg Partai dalam melaksanakan misi perjuangan Partai Politiknya. Etika politik harus menjadi pedoman utama setiap caleg, yaitu politik santun, cerdas, dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan Partai dan golongan. Tidak semestinya caleg memprovokasi masyarakat yang sudah jatuh miskin dengan tindakan-tindakan yang memancing kekerasan di kalangan masyarakat. Secara eksternal seorang caleg harus menghindari kekerasan, intimidasi, suap-menyuap, manipulasi, pembohongan publik, dan pemaksaan kehendak terhadap konsituen pemilih dalam pemilu. Sebaliknya caleg harus menjadi teladan dan panutan. Jangan sampai keinginan berkuasa, memperebutkan pengaruh justru mengorbankan rakyat kecil. Kekuasaan uang (money politic) dan kekerasan harus dicegah untuk menuju demokratisasi sejati.

Akhirnya, kualitas Pemilu 2009 akan sangat bergantung dan ditentukan oleh sejauhmana Komitmen Caleg dan Partai politik dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dalam etika politik yang sudah disepakati, disamping juga bergantung pada sistem yang ditetapkannya. Sistem akan berjalan dengan baik seandainya pemegang mandat penegakan sistem mampu menjalankan amanahnya serta mendapat dukungan dari masyarakat. ***



[1] Direktur Eksekutif The Sultan Center (TSC), & tulisan ini telah dimuat di Harian Baraya Post, 31 Januari 2009

Menyoal Ketimpangan Pembangunan

Dalam sebuah negara pasti tidak akan terlepas dari aktivitas-aktivitas perekonomian. Aktivitas perekonomian ini terjadi dalam setiap bentuk aktivitas kehidupan dan terjadi pada semua kalangan masyarakat, baik masyarakat menengah ke bawah maupun pada masyarakat kalangan atas. Dalam pelaksanaannya, perekonomian selalu menimbulkan permasalahan. Terlebih lagi dalam pelaksanaannya di sebuah negara yang sedang berkembang. Begitu juga dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Permasalahan perekonomian yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks karena letak antara pulau satu dengan pulau yang lainnya sangat berjauhan.

Permasalahan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia yang tetap terjadi hingga saat ini adalah terjadinya ketimpangan pembangunan perekonomian.. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah perekonomian pemerintah harus menyelesaikan permasalahan akarnya yaitu ketimpangan pembangunan dan perekonomian yang terjadi di wilayah Indonesia. Apabila permasalahan inti ini sudah terselesaikan atau paling tidak pembangunan perekonomian di Indonesia mulai terjadi pemerataan, maka permasalahan perekonomian lain yang timbul sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan perekonomian akan terpecahkan satu per satu dari masalah yang terkecil.

Setiap pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, setidaknya akan medapatkan apa yang namanya prestasi pembangunan, untuk mengetahui Prestasi pembangunan suatu negara atau daerah kita dapat menilainya dengan berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non ekonomi. Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan. Tolak ukur pendapatan perkapita, sebagaimana kita sadari belum cukup untuk menilain prestasi pembangunan. Karena baru merupakan konsep rata-rata, pendapatan perkapita tidak mencerminkan bagaimana pendapatan suatu daerah terbagi dikalangan penduduknya, sehingga unsur kemerataan atau keadilan tidak terpantau. Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu daerah dikalangan penduduknya

Dalam kontek untuk mengukur dan menilai kemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi pendapatan, kita dapat melihatnya berdasarkan, pertama Kurva Lorenz dan Indek atau Rasio Gini. Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan dikalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan presentase kumulatif pendapatan. Sedangkan sisi datarnya mewakili presentase kumulatif penduduk. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jika Kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distibusi pendapatan semakin timpang dan tidak merata.

Sementara pada pendekatan Indek atau Rasio Gini, adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan. Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik atau merata distribusi. Dilain pihak, koefisien yang semakin besar (semakin mendakati 1) mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang.

Sebab Ketimpangan Pembangunan

Menurut Sarjono HW (2006) pada kontek mikro, yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara lain:

1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.

2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah.

3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.

4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.

5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.

6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.

7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.

8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan

Sementara pada aspek makro, Dumairy (1996), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan yang tidak tepat_cenderung berorientasi pada pertumbuhan, (growth).

Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara bekal “resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan). Sumberdaya alam yang dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antar daerah, begitu pula yang lain-lainnya seperti kapital, keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.

Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini berlangsung dan berwujud khsususnya pada Negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional misalnya, dapat dilihat berdasarkan perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi dan pertumbuhan.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah, tentunya karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu mengatasi persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis. Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-benarnya dapat dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya kearah yang lebih sehat dan kompetitif. Kue-kue pembangunan harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, jangan sampai kue pembangunan hanya milik segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasan dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis. Wallahualam Biashowaf.



[1] tulisan ini telah dimuat di Koran Fajar BAnten, 5 Februari 2009