Oleh: Susanto Pudjomartono (Wartawan senior, mantan Duta Besar RI di Rusia)
Sumber: Tempo, 14 September 2009Tatkala pada 23 Mei lalu mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun bunuh diri dengan meloncat ke jurang di pegunungan dekat rumahnya, bukan hanya rakyat Korea yang terenyak. Dunia pun tersentak. ”Saya berutang (budi) kepada banyak orang,” demikian ia menulis pesan terakhir di komputernya. ”Begitu banyak orang yang menderita karena saya. Jangan bersedih, jangan menyalahkan siapa pun. Ini sudah takdir.”
Beberapa pekan sebelumnya, Roh menyerahkan diri kepada aparat kejaksaan setelah muncul tudingan ia telah menerima sogokan US$ 6 juta. ”Saya malu sekali,” ujarnya waktu itu. ”Maaf, saya telah membuat Anda semua kecewa.” Roh sebelumnya dikenal sebagai politikus bersih dan pejuang antikorupsi. Ia memulai kariernya dari bawah sebagai anak miskin yang belajar sendiri untuk menjadi pengacara. Ia terpilih menjadi presiden pada 2002. Jelas bahwa Roh melakukan bunuh diri karena nuraninya terganggu rasa malu.
Akhir April lalu istri Roh dituduh menerima uang suap dari seorang pengusaha sepatu. Dalam pemeriksaan, Roh mengaku istrinya memang menerima US$ 1 juta, tapi menurut dia itu bukan sogokan. Adapun US$ 5 juta lainnya dikiranya uang investasi. Namun banyak yang percaya duit itu akhirnya sampai ke tangan Roh. Pada Mei lalu itu juga seorang kakak lelaki Roh dijatuhi hukuman empat tahun penjara karena terlibat skandal suap.
Mengomentari berita itu, penyanyi Iwan Fals mengatakan ia menaruh rasa hormat kepada Roh. ”Sebab, setidaknya ia masih mempunyai rasa malu.” Rasa malu? Rasa bersalah karena malu? Bukankah kita sebagai bangsa juga pernah memiliki budaya malu?
Namun, rasanya, sebagai bangsa, kita kini telah kehilangan budaya malu atau memakai istilah gaul: kita telah kehilangan urat malu. Dulu kita malu kalau di lingkungan kita ketahuan ada warga yang ternyata maling. Malah semua warga kampung akan merasa ikut malu bila ada jiran yang melakukan tindakan yang dianggap aib, tindakan asusila misalnya. Yang dianggap bersalah umumnya lantas memperoleh sanksi sosial, tidak ditegur sapa, dikucilkan atau ”dikeluarkan” dari kewargaan setempat.
Tapi sekarang kita bagai tak peduli bila ada tetangga yang pejabat dan kaya mendadak, yang patut diduga berkat korupsi. Bahkan para koruptor yang sudah terbukti atau terpidana pun dianggap dan diperlakukan sebagai selebritas dan hebatnya mereka pun bersikap tidak tahu malu dan bertindak seperti tokoh selebritas tulen. Nilai-nilai seakan sudah jungkir balik dan apa yang dulu dianggap sebagai ajaran moral yang dijunjung tinggi sekarang telah diempaskan.
Menyogok atau memberi ”salam tempel” kini dianggap wajar. Petugas atau pejabat yang mempunyai posisi jabatan yang ”basah”, tapi hidupnya merana, dianggap bodoh karena tidak memanfaatkan peluang. Memberikan kesaksian berdasarkan sumpah yang dipercaya sebagai sumpah palsu sekarang diterima sebagai hal yang sah-sah saja. Surat keterangan sakit dari dokter? Gampang, hal itu bisa diusahakan walau kita sehat 200 persen dan bisa diterima oleh pihak yang berwenang. Toh, semua kesalahan dapat ditimpakan kepada ”oknum”.
Di atas segalanya, kita tidak lagi malu disebut sebagai salah satu negara paling korup di dunia selama bertahun-tahun. Seolah-olah kita sudah kebal dan tak peduli akan predikat yang sebetulnya sangat memalukan tadi. Korupsi bukan dianggap musuh. Juga dianggap bukan aib atau dosa. Di sekeliling kita dengan mudah bisa ditemukan kasus korupsi yang kecil-kecilan dan kelas menengah. Bisa dimaklumi bila masyarakat bersikap makin skeptis dan sinis menghadapi hal ini.
Sebenarnya kita telah berubah menjadi bukan bangsa pemalu sejak zaman Orde Baru, ketika kita tidak malu-malu mulai mencari utang secara besar-besaran, sampai-sampai untuk membayar bunga utang saja kita sekarang harus termehek-mehek. Di zaman Orde Lama, Bung Karno pun meneriakkan go to hell with your aids. Tapi sekarang? Generasi mendatang pun masih akan terbebani membayar utang kita yang semakin menumpuk, yang telah melampaui doomsday point, yang dulu ditakuti. Dan hebatnya, sebagian utang yang kita perhalus dengan istilah ”bantuan luar negeri” itu pun ternyata dikorup.
Sekarang pun kita masih mencoba menutupi rasa malu itu dengan mengatakan bahwa dalam alam globalisasi kini pinjam-meminjam dana internasional adalah sesuatu yang lazim. Bahkan bukankah Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa di dunia pun menjual surat utang dan pembeli terbesarnya adalah Republik Rakyat Cina?
Tapi rasanya ada yang terus mengusik hati nurani kita kalau dikatakan bahwa urat malu bangsa kita sudah hilang. Bukankah kita punya Komisi Pemberantasan Korupsi? Bukankah kita punya pengadilan Tindak Pidana Korupsi? Bukankah ratusan orang telah diadili karena dituduh korupsi? Bukankah ada sejumlah tokoh, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bahkan mantan menteri kabinet, yang sekarang pun masih ada di balik jeruji penjara karena terbukti korupsi? Dan bukankah pemerintah dan pejabat-pejabat, berkali-kali telah menegaskan bahwa kita punya komitmen untuk memberantas korupsi?
Tapi mengapa orang tak kunjung jera? Mengapa orang tidak takut melakukan korupsi? Mengapa orang tidak malu melakukan korupsi?
Banyak teori tentang penyebab korupsi, mulai gaji yang tidak cukup, lemahnya pelaksanaan hukum, melemahnya nilai-nilai moral, sampai masih terbuka lebarnya peluang untuk korup dan kuatnya keyakinan bahwa korupsi yang canggih tidak akan bisa ketahuan. Kalaupun sang koruptor tertangkap, hukumannya ringan.
Belakangan pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi korupsi yang ”sistemik” dengan, antara lain, menaikkan gaji pegawai negeri, mereformasi birokrasi, dan memperketat pengawasan serta mulai menindak pelaku korupsi. Walau pemerintah sudah memasang target korupsi akan berkurang secara signifikan dalam belasan tahun mendatang, belum ada jaminan bahwa hal itu akan dapat terwujud.
Rasanya kita perlu lebih tegas melakukan terobosan baru. Di bidang hukum, kita belum berani memakai sistem pembuktian terbalik, ketika seseorang yang dicurigai korup harus membuktikan dari mana sumber kekayaannya. Sebagai bangsa yang santun dan Pancasilais kita tidak berani melakukan tindakan tegas. Bahkan rencana pemakaian baju seragam ”terdakwa koruptor” dalam sidang pengadilan pun dianggap ”kurang santun” atau dianggap ”menzalimi” terdakwa dan menjadi wacana belaka.
Iklan seorang anak yang mengagetkan bapaknya karena tidak mau memakai seragam sekolahnya karena duitnya berasal dari korupsi, yang beberapa waktu lalu pernah ditayangkan di televisi, pun menghilang begitu saja. Padahal, pada hakikatnya, iklan itu untuk membangkitkan kembali budaya malu.
Di sini peran media massa sangat besar. Kebiasaan untuk mengangkat seorang koruptor menjadi tokoh yang layak diberitakan secara besar-besaran harus diubah. Kriteria ”layak muat” atau ”layak tayang” perlu diubah. Alih-alih mengangkat dia sebagai selebritas, pemberitaannya semestinya difokuskan pada ”akibat” penyelewengannya pada bangsa dan negara, bukan hanya dampak ekonominya, melainkan juga pengaruh negatifnya pada moral bangsa.
Pendidikan juga memegang peran penting untuk membangun kembali budaya malu lewat pengajaran moral, dengan mengajarkan agar orang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar, serta mana yang pantas dengan mana yang tak layak.
Dan yang terpenting adalah membangkitkan rasa malu dan tercela bila salah seorang anggota keluarga melakukan korupsi. Dengan demikian, akan muncul rasa malu kolektif dari keluarga dan lingkungan bila seseorang melakukan korupsi. Sanksi sosial dan lingkungan bisa diberikan, tapi melakukan pengucilan seperti masyarakat zaman dulu tentu susah dilakukan. Yang penting adalah memunculkan kesadaran bersama untuk merasa malu dan bersalah tadi.
Kelihatannya gerakan moral seperti ini sangat susah dijalankan, tapi bukannya tak mungkin. Sekarang kita hidup dalam sistem kapitalistik yang menganggap uang dan modal sebagai sesuatu yang sangat berharga. Ada kecenderungan orang untuk tidak peduli dari mana dan bagaimana uang dan modal itu diperoleh. Dalam sistem seperti itu masyarakat, termasuk media massa, cenderung ikut mendewakan uang dan modal. Akibatnya telah kita rasakan: peringkat korupsi di Indonesia tetap tertinggi.
Pemilihan umum legislatif dan pemilu presiden telah kita selesaikan dengan cukup baik. Kita kini bisa lebih fokus bergerak menuju ke depan. Kita sudah punya kebangkitan nasional dan kebangkitan teknologi. Mengapa kita tidak melakukan gerakan kebangkitan budaya yang sekarang kita rasakan makin melorot? Membangkitkan kembali budaya malu adalah salah satu hal yang perlu diprioritaskan.
No comments:
Post a Comment