| |
Oleh: Budiarto Shambazy Tuntutan dari berbagai daerah merupakan fenomena yang wajar pada masa demokrasi sedang tumbuh merekah. Namun, respons dari kepemimpinan nasional kerap kali tidak menawarkan solusi--malah menimbulkan masalah baru. Jika diibaratkan daerah telah melakukan digitalisasi, namun pusat ternyata masih memakai sistem analog. Menurut telaah historis awal pembangkangan daerah terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) telah dimulai tahun 1949 setelah Belanda menerima kemerdekaan Indonesia tahun 1949 versi KMB (Konferensi Meja Bundar). Den Haag menerima perjanjian KMB sekalipun menolak klaim Indonesia atas Papua Barat. Per tanggal 27 Desember 1949 Indonesia menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat) yang terdiri dari 16 negara kecil yang terpecah-belah, termasuk RI (Republik Indonesia). Jumlah ini merupakan peningkatan dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah provinsi sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu RI terdiri dari delapan provinsi, yakni Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. RIS tak bertahan lama karena menimbulkan kekecewaan negara-negara yang tergabung di dalamnya. Kekecewaan itu sebagian besar bersumber dari kegagalan sistem demokrasi parlementer. Rakyat lelah menyaksikan kabinet yang jatuh dan bangun dalam waktu relatif singkat cuma karena masalah-masalah yang sepele. Nyaris setiap kabinet didominasi pimpinan partai politik maupun tokoh-tokoh masyarakat yang kurang kompeten, yang menjalani kabinet-kabinet yang kurang efektif karena terlalu sering melakukan trial and error. Akhirnya RIS dibubarkan per tanggal 17 Agustus 1950 dan Pemerintah RI kembali lagi ke konstitusi UUD '45 dan dipimpin oleh Presiden Soekarno serta Wapres Muhammad Hatta. Republik yang "baru tetapi lama" ini mempunyai wilayah baru, yang antara lain mencakup pula Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Selesaikah pembangkangan oleh daerah? Ternyata belum. Sejarah membuktikan pembangkangan di berbagai daerah pada era pasca-RIS justru lebih kerap terjadi. Sebagian dari pembangkangan itu bahkan berubah menjadi pemberontakan bersenjata. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pembangkangan/pemberontakan adalah praktik politik devide et impera yang dijalani oleh Belanda yang masih tetap ingin bercokol di Nusantara. Mereka memanfaatkan kelompok-kelompok maupun pimpinan daerah sebagai kepanjangan tangan untuk meletuskan pembangkangan/pemberontakan. Tidak lama setelah RIS dibubarkan, Belanda, misalnya, melancarkan provokasi di Bandung melalui Kapten Raymond Westerling yang memperalat sejumlah tokoh lokal di Jawa Barat. Hampir di saat yang bersamaan Darul Islam memulai gerakan untuk membentuk NII (Negara Islam Indonesia), sebuah cita-cita yang mendapat dukungan dari Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan sekitar tahun 1952. Jangan dilupakan pula peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta yang dipelopori oleh sejumlah perwira TNI-AD yang memuncak pada pemberontakan bersenjata PRRI/Permesta tahun 1957 yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Rangkaian pembangkangan/pemberontakan yang terjadi dalam kurun waktu sekitar satu dasawarsa itulah yang menimbulkan ketegangan hubungan antara pusat dengan daerah yang berlangsung hingga dewasa saat ini. Menurut saya salah satu penyebab ketegangan tersebut adalah kultur politik kepemimpinan nasional yang berciri konservatif, sentralistis, dan feodalistis. Tipologi kepemimpinan nasional semacam ini bersumber dari "kultur Mataram" yang berlangsung pada sistem pemerintahan di Jawa sekitar abad ke-16 sampai abad ke-19. Ahli politik Indonesia Lama, Soemarsaid Moertono (1922-1987) dalam karya klasik "State and Statecraft in Old Java" (1968) menulis tentang kegemaran raja-raja Mataram terhadap konsep-konsep magis-religius (macigo-religious). Semua yang berbau magis-religius senantiasa menjadi sumber primer dalam penerapan otoritas, penegakan wibawa, dan pelestarian integritas kerajaan. "Presiden-presiden Mataram" ini memercayai konsep magis-religius antara lain dengan mengoleksi berbagai pusaka sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka memanfaatkan jargon-jargon modern yang berbau mistis, misalnya Bung Karno yang gemar mengucapkan "revolusi belum selesai" atau Pak Harto yang menyenangi slogan "rela berkorban demi pembangunan." Apalagi konsep-konsep magis-religus tersebut dapat diujudkan dalam bentuk yang amat konkret. Ambil contoh kitab "Babad Tanah Jawi" yang mencatat ucapan Tumenggung Jayengrana di Surabaya mengenai kondisi Sunan Amangkurat III yang sempat kelimpungan karena diserbu oleh pasukan Pangeran Puger. Kitab itu menulis, "Sang Sunan Amangkurat III telah kehilangan cahaya, wajahnya pucat seperti orang sakit perut." Wajah pucat dapat diartikan bahwa mandat raja telah dicabut oleh Yang Maha Kuasa. Mandat yang diwangsitkan dari "makro-kosmos" atau dari Yang Maha Kuasa itu mungkin saja berbentuk sinar biru atau tombak sakti mandraguna. Oleh sebab itu pernah beredar cerita tentang Pak Harto yang kehilangan sinar biru tersebut setelah istrinya tutup usia. Tongkat komando Bung Karno dipercayai sama ampuhnya dengan pedang milik Raja Arthur, tokoh fiktif yang mendirikan Kerajaan Inggris. Jadi raja-raja Mataram merupakan penguasa di "mikro-kosmos" di Bumi ini yang mewakili Yang Maha Kuasa. Sang raja mempunyai kewajiban untuk menjaga keteraturan yang mendominasi kehidupan alam jagat raya ini. Tidak mengherankan presiden-presiden yang memercayai kultur Mataram pada dasarnya bertindak seperti demigod (manusia setengah dewa) yang antikritik. Mereka memang pandai berbicara mengenai demokrasi, namun sebenarnya menjalani kepemimpinan yang BA (bureaucratic-authoritarian). Contohnya Bung Karno yang mengenalkan konsep Demokrasi Terpimpin yang konservatif, sentralistis, dan feodalistis. Pak Harto juga mengulang kesalahan Bung Karno saat mengintrodusir konsep Demokrasi Pancasila. Pada kenyataannya bersikap konservatif karena anti terhadap kritik, menerapkan kepemimpinan yang sentralistis karena tidak memberikan kesempatan yang lebih besar kepada daerah-daerah, dan secara jelas menggemari feodalisme yang mengkultusindividukan mereka. Keteraturan di alam jagat raya yang dipelihara oleh sang raja Mataram biasanya berbentuk fenomena alam seperti saat waktu siang hari berganti menjadi malam hari atau siklus kehidupan berdasarkan takdir Yang Maha Kuasa: lahir, tumbuh, dan mati. Raja sama sekali tidak berhak menggugat keteraturan itu. Raja justru mesti bertanggung jawab atas terciptanya toto dan tentrem di alamt jagat raya ini. Sementara hubungan mikro-kosmos dengan makro-kosmos harus berlangsung harmonis. Pertama, konsep harmoni mengisyaratkan setiap orang maupun benda di mikro-kosmos hanya boleh berada di tempatnya masing-masing alias dilarang bergerak. Kedua, di mikro-kosmos ini tidak ada ruang untuk melakukan penyesuaian, baik secara sukarela maupun melalui pemaksaan. Penyimpangan terhadap harmoni ini menyebabkan alam jagat raya bereaksi melalui bencana-bencana alam. Oleh sebab itu raja maupun kawula (rakyat) dengan perjuangan mati-matian, dengan ketaatan dan kepatuhan yang luar biasa, wajib bekerja bersama-sama untuk menjaga kelangsungan harmoni yang sempurna. Harmoni yang sempurna bukan hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kelangitan, namun juga yang berhubungan dengan sphere of life (lingkungan kehidupan) manusia. Pemerintah dinilai belum bekerja jika tidak mendorong terbangunnya rasa tenteram (tentrem). Pemerintah dianggap gagal andaikan belum berhasil membuat tata (toto) kehidupan, misalnya ketersediaan atau stok sembako. Mungkin saja Bung Karno dan Pak Harto dianggap telah mendatangkan ketenteraman dengan cara mereka masing- masing. Bung Karno, misalnya, melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 memerdekakan bangsa dan negara ini yang jelas bukan lagi Mataram. Pak Harto mendatangkan ketenteraman melalui pembangunan ekonomi ala Repelita. Jika harmoni Proklamasi atau Repelita terganggu alias menimbulkan situasi kurang harmonis, maka "sindrom Mataram" terulang kembali. Akibatnya sang raja, para mahapatih, juga para patih, dan para punakawan akan menghalalkan semua cara untuk melibatkan diri dalam pertumpahan darah pada setiap proses pergantian kepemimpinan. Harmoni yang terbaik sempat tercipta saat ditulisnya kitab "Negara Kertagama" karya Empu Prapanca tahun 1365. Kitab ini bercerita tentang kepemimpinan Raja Majapahit yang didampingi Patih Gajah Mada yang luhur budi pekertinya. Raja menjalankan konsep mukti, yakni kesediaannya mengulurkan kasih dan materi kepada rakyat yang membalasnya dengan bhakti. Ke-mataram-an Bung Karno dan Pak Harto tampak dari gaya penokohan diri dan praktik politik yang sejumlah elemen yang berwatak delusional. Sejak medio dekade 1950 Bung Karno semakin jarang berkunjung ke daerah dan begitu pula Pak Harto pada awal kekuasaan Orde Baru. Bung Karno meneguhkan sentralitas kekuasaannya yang konservatif dan feodalistis dengan, misalnya, mengenalkan seragam kepresidenan yang dihiasi deretan pangkat dan tanda-tanda jasa di dadanya untuk memperlihatkan dirinya sebagai pusat alam jagat raya Nusantara. Pak Harto juga idem ditto dengan mengelilingi dirinya rapat-rapat dengan para "maha patih" atau "patih" yang bernama dari Asisten Pribadi, Pangkopkamtib, sampai Sesdalopbang. Bung Karno mengkultuskan diri sebagai "Penyambung Lidah Rakyat" atau "Presiden Seumur Hidup," sementara Pak Harto digelari sebagai "Bapak Pembangunan Nasional." Kultur Mataram yang konservatif, sentralistis, dan feodalistis inilah yang lambat laun menggumpalkan kekecewaan di berbagai daerah. Sejak tahun 1950-an mereka menggugat keadilan yang merata, namun selalu ditampik pusat. Jakarta menjadi pusat BA (bureaucratic-authoritarian) sekalipun jangkauan tangannya tidak mampu mencapai ke berbagai pelosok daerah pelosok. Pembangunan oleh Orde Baru terkonsentrasi hanya di Pulau Jawa saja. Penentuan kepala-kepala daerah, termasuk Panglima Kodam atau Gubernur, harus mendapatkan restu dari pusat pula. Pulau Jawa menjadi pos yang amat bergengsi yang diperebutkan khusus untuk mereka yang diplot menjadi pimpinan teras TNI atau Kapolri. Jika hadirin memperhatikan benar sentimen kedaerahan terhadap pusat masih bisa dirasakan semangatnya antara lain di lapangan hijau dalam kompetisi sepak bola perserikatan. Katup-katup pengaman untuk membungkam pembangkangan/pemberontakan daerah sesungguhnya tidak efektif selama masa kekuasaan Orde Lama maupun Orde Baru karena berwatak semu dan bersifat sementara (adhoc). Ketidakpuasan di Papua Barat, yang kemudian berganti nama menjadi Irian Barat/Jaya, masih berlangsung sampai kini. Penanganan konflik di Aceh maupun Timtim tidak pernah tuntas sampai kedua provinsi tersebut mengambil jalan pintas, masing-masing lewat Perjanjian Helsinki dan jajak pendapat 1999. Setelah Pak Harto lengser ing keprabon, pembangkangan/pemberontakan daerah bertambah marak. Para hadirin tentu masih ingat petualangan sejumlah provinsi yang telah bersiap-siap "memerdekakan diri" tidak lama setelah terjadinya Reformasi 1998. Menurut saya tipologi kepemimpinan nasional yang konservatif, sentralistis, dan feodalistis sudah tidak relevan lagi untuk mengembangkan hubungan pusat dengan daerah yang sehat. Tipologi kepemimpinan nasional itu hanya menghasilkan pemerintahan yang berciri BA (bureaucratic-authoritarian) yang sudah ketinggalan zaman. Tuntutan dari berbagai daerah merupakan fenomena yang wajar pada masa demokrasi sedang tumbuh merekah. Namun, respons dari kepemimpinan nasional kerap kali tidak menawarkan solusi--malah menimbulkan masalah baru. Jika diibaratkan daerah telah melakukan digitalisasi, namun pusat ternyata masih memakai sistem analog. * Penulis adalah wartawan Harian Kompas (1982-kini) dan mengajar di FISIP-UI (1988-kini), lulusan S-1 Jurusan Ilmu Politik FISIP-UI dan S-2 Faculty of Political Science, University of Hawaii, Honolulu, Hawaii (Amerika Serikat). |
Wednesday, October 7, 2009
Kepemimpinan Nasional vs Pembangkanan Daerah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment