Tuesday, September 29, 2009

Reformasi Birokrasi dan Pencegahan korupsi

Substansi pemberantasan korupsi bukanlah pada penindakan. Tapi, pencegahan. Karena, penindakan dilakukan setelah adanya korupsi. Persis pemadam kebakaran. Sedangkan, pencegahan justru dilakukan di muka. Tujuannya untuk menutup peluang semaksimal mungkin bagi terjadinya korupsi. Apa bentuknya? Pengembangan budaya antikorupsi dan dilakukannya reformasi birokrasi.

Budaya antikorupsi tumbuh melalui promosi dan penanaman nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan malu berbuat curang. Akarnya bisa dari agama dan tradisi setempat. Jalurnya bisa melalui sekolah, keluarga, ataupun berbagai bentuk kampanye lainnya. Motornya bisa Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, tentu tak akan efektif tanpa keterlibatan seluruh lapisan masyarakat. Ia harus menjadi gerakan sosial dan masif. Namun, di manapun, peran pemerintah tetaplah yang paling sentral. Karena, di sana ada organisasi, sumber daya, dan dana.


Tampaknya, tak ada masalah dengan pengembangan budaya antikorupsi. Sedangkan, menyangkut reformasi birokrasi bukanlah perkara mudah. Karena, di sini akan menyentuh langsung para pelaku korupsi. Ada rasa sungkan, bahkan perlawanan. Tarik ulur hadirnya KPK dalam pembahasan anggaran di DPR menapakan salah satu bentuk ketakmudahan langkah-langkah menuju reformasi birokrasi. Isunya menjadi bersifat politis, yakni intervensi KPK di parlemen. Padahal, poinnya bukan itu. KPK sedang mempelajari di mana titik lemah proses penyusunan anggaran yang akan menjadi titik masuk terjadinya korupsi. Setelah mengetahui bolong-bolongnya, KPK bisa memberikan rekomendasi perbaikan dalam penyusunan anggaran. Ada 16 langkah dalam proses penyusunan anggaran, salah satunya di parlemen. Lainnya adalah di birokrasi itu sendiri.


Terbongkarnya sejumlah kasus korupsi akhir-akhir ini ternyata berawal dari pembahasan anggaran di parlemen. Sejak masa reformasi, parlemen diberi hak untuk ikut terlibat dalam penyusunan anggaran hingga ke level sangat teknis. Berbeda dibandingkan masa Orde Baru. Saat itu, parlemen hanya dimintai persetujuan tentang programnya dan nilai anggarannya. Kini, parlemen ikut diberi hak untuk menolak atau menyetujui hingga ke level teknis. Pada saat itulah terjadi deal-deal di balik meja program disetujui, tapi si anu atau partai anu dapat jatah. Bentuknya bisa berupa persentase, bisa pula memasukkan nama perusahaan yang akan memenangkan tender pada program tersebut. Kasus suap yang melibatkan anggota parlemen, salah satunya berada pada titik ini.


Sebetulnya, ketika parlemen menuntut hak untuk terlibat di level teknis penyusunan anggaran, awalnya adalah untuk mencegah praktik korupsi. Saat itu, korupsi adalah monopoli birokrasi. Namun, ketika hak pengawasan itu diberikan, ternyata bukannya untuk mencegah korupsi, tapi justru dijadikan pintu masuk untuk ikut dapat jatah korupsi. Tentu saja, hal itu membuka peluang bagi meningkatnya angka kebocoran. Tak heran jika kualitas pembangunan makin menurun.


Kita berharap, masuknya KPK dalam forum pembahasan anggaran di parlemen tak hanya akan melahirkan rekomendasi bagi perbaikan praktik dan prosedur birokrasi. Tapi, juga untuk nguping dan sekaligus membangun aura rasa segan dan takut bagi anggota parlemen yang mulai pasang saham dalam rencana korupsi saat penyusunan anggaran tersebut. Kita juga berharap, keterlibatan KPK ini jangan sampai menjadi titik masuk bagi kemungkinan terseretnya KPK dalam bancakan korupsi. Itulah yang "dulu" terjadi pada parlemen.


Alhamdulillah, pertemuan pimpinan KPK dan pimpinan DPR, pada Selasa (5/8) lalu, berujung pada persetujuan DPR terhadap KPK untuk ikut hadir dalam rapat anggaran. Mari, kita berdoa agar ke depan parlemen benar-benar melakukan fungsi pengawasannya secara murni dan konsekuen.***


Sumber : Republika, 07 Agustus 2008

No comments: