Tuesday, September 29, 2009

Menumbuhkan Urat Malu

Oleh: Susanto Pudjomartono (Wartawan senior, mantan Duta Besar RI di Rusia)
Sumber: Tempo, 14 September 2009

Tatkala pada 23 Mei lalu mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun bunuh diri dengan meloncat ke jurang di pegunungan dekat rumahnya, bukan hanya rakyat Korea yang terenyak. Dunia pun tersentak. ”Saya berutang (budi) kepada banyak orang,” demikian ia menulis pesan terakhir di komputernya. ”Begitu banyak orang yang menderita karena saya. Jangan bersedih, jangan menyalahkan siapa pun. Ini sudah takdir.”

Beberapa pekan sebelumnya, Roh menyerahkan diri kepada aparat kejaksaan setelah muncul tudingan ia telah menerima sogokan US$ 6 juta. ”Saya malu sekali,” ujarnya waktu itu. ”Maaf, saya telah membuat Anda semua kecewa.” Roh sebelumnya dikenal sebagai politikus bersih dan pejuang antikorupsi. Ia memulai kariernya dari bawah sebagai anak miskin yang belajar sendiri untuk menjadi pengacara. Ia terpilih menjadi presiden pada 2002. Jelas bahwa Roh melakukan bunuh diri karena nuraninya terganggu rasa malu.


Akhir April lalu istri Roh dituduh menerima uang suap dari seorang pengusaha sepatu. Dalam pemeriksaan, Roh mengaku istrinya memang menerima US$ 1 juta, tapi menurut dia itu bukan sogokan. Adapun US$ 5 juta lainnya dikiranya uang investasi. Namun banyak yang percaya duit itu akhirnya sampai ke tangan Roh. Pada Mei lalu itu juga seorang kakak lelaki Roh dijatuhi hukuman empat tahun penjara karena terlibat skandal suap.

Mengomentari berita itu, penyanyi Iwan Fals mengatakan ia menaruh rasa hormat kepada Roh. ”Sebab, setidaknya ia masih mempunyai rasa malu.” Rasa malu? Rasa bersalah karena malu? Bukankah kita sebagai bangsa juga pernah memiliki budaya malu?

Namun, rasanya, sebagai bangsa, kita kini telah kehilangan budaya malu atau memakai istilah gaul: kita telah kehilangan urat malu. Dulu kita malu kalau di lingkungan kita ketahuan ada warga yang ternyata maling. Malah semua warga kampung akan merasa ikut malu bila ada jiran yang melakukan tindakan yang dianggap aib, tindakan asusila misalnya. Yang dianggap bersalah umumnya lantas memperoleh sanksi sosial, tidak ditegur sapa, dikucilkan atau ”dikeluarkan” dari kewargaan setempat.

Tapi sekarang kita bagai tak peduli bila ada tetangga yang pejabat dan kaya mendadak, yang patut diduga berkat korupsi. Bahkan para koruptor yang sudah terbukti atau terpidana pun dianggap dan diperlakukan sebagai selebritas dan hebatnya mereka pun bersikap tidak tahu malu dan bertindak seperti tokoh selebritas tulen. Nilai-nilai seakan sudah jungkir balik dan apa yang dulu dianggap sebagai ajaran moral yang dijunjung tinggi sekarang telah diempaskan.

Menyogok atau memberi ”salam tempel” kini dianggap wajar. Petugas atau pejabat yang mempunyai posisi jabatan yang ”basah”, tapi hidupnya merana, dianggap bodoh karena tidak memanfaatkan peluang. Memberikan kesaksian berdasarkan sumpah yang dipercaya sebagai sumpah palsu sekarang diterima sebagai hal yang sah-sah saja. Surat keterangan sakit dari dokter? Gampang, hal itu bisa diusahakan walau kita sehat 200 persen dan bisa diterima oleh pihak yang berwenang. Toh, semua kesalahan dapat ditimpakan kepada ”oknum”.

Di atas segalanya, kita tidak lagi malu disebut sebagai salah satu negara paling korup di dunia selama bertahun-tahun. Seolah-olah kita sudah kebal dan tak peduli akan predikat yang sebetulnya sangat memalukan tadi. Korupsi bukan dianggap musuh. Juga dianggap bukan aib atau dosa. Di sekeliling kita dengan mudah bisa ditemukan kasus korupsi yang kecil-kecilan dan kelas menengah. Bisa dimaklumi bila masyarakat bersikap makin skeptis dan sinis menghadapi hal ini.

Sebenarnya kita telah berubah menjadi bukan bangsa pemalu sejak zaman Orde Baru, ketika kita tidak malu-malu mulai mencari utang secara besar-besaran, sampai-sampai untuk membayar bunga utang saja kita sekarang harus termehek-mehek. Di zaman Orde Lama, Bung Karno pun meneriakkan go to hell with your aids. Tapi sekarang? Generasi mendatang pun masih akan terbebani membayar utang kita yang semakin menumpuk, yang telah melampaui doomsday point, yang dulu ditakuti. Dan hebatnya, sebagian utang yang kita perhalus dengan istilah ”bantuan luar negeri” itu pun ternyata dikorup.

Sekarang pun kita masih mencoba menutupi rasa malu itu dengan mengatakan bahwa dalam alam globalisasi kini pinjam-meminjam dana internasional adalah sesuatu yang lazim. Bahkan bukankah Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa di dunia pun menjual surat utang dan pembeli terbesarnya adalah Republik Rakyat Cina?

Tapi rasanya ada yang terus mengusik hati nurani kita kalau dikatakan bahwa urat malu bangsa kita sudah hilang. Bukankah kita punya Komisi Pemberantasan Korupsi? Bukankah kita punya pengadilan Tindak Pidana Korupsi? Bukankah ratusan orang telah diadili karena dituduh korupsi? Bukankah ada sejumlah tokoh, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bahkan mantan menteri kabinet, yang sekarang pun masih ada di balik jeruji penjara karena terbukti korupsi? Dan bukankah pemerintah dan pejabat-pejabat, berkali-kali telah menegaskan bahwa kita punya komitmen untuk memberantas korupsi?

Tapi mengapa orang tak kunjung jera? Mengapa orang tidak takut melakukan korupsi? Mengapa orang tidak malu melakukan korupsi?

Banyak teori tentang penyebab korupsi, mulai gaji yang tidak cukup, lemahnya pelaksanaan hukum, melemahnya nilai-nilai moral, sampai masih terbuka lebarnya peluang untuk korup dan kuatnya keyakinan bahwa korupsi yang canggih tidak akan bisa ketahuan. Kalaupun sang koruptor tertangkap, hukumannya ringan.

Belakangan pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi korupsi yang ”sistemik” dengan, antara lain, menaikkan gaji pegawai negeri, mereformasi birokrasi, dan memperketat pengawasan serta mulai menindak pelaku korupsi. Walau pemerintah sudah memasang target korupsi akan berkurang secara signifikan dalam belasan tahun mendatang, belum ada jaminan bahwa hal itu akan dapat terwujud.

Rasanya kita perlu lebih tegas melakukan terobosan baru. Di bidang hukum, kita belum berani memakai sistem pembuktian terbalik, ketika seseorang yang dicurigai korup harus membuktikan dari mana sumber kekayaannya. Sebagai bangsa yang santun dan Pancasilais kita tidak berani melakukan tindakan tegas. Bahkan rencana pemakaian baju seragam ”terdakwa koruptor” dalam sidang pengadilan pun dianggap ”kurang santun” atau dianggap ”menzalimi” terdakwa dan menjadi wacana belaka.

Iklan seorang anak yang mengagetkan bapaknya karena tidak mau memakai seragam sekolahnya karena duitnya berasal dari korupsi, yang beberapa waktu lalu pernah ditayangkan di televisi, pun menghilang begitu saja. Padahal, pada hakikatnya, iklan itu untuk membangkitkan kembali budaya malu.

Di sini peran media massa sangat besar. Kebiasaan untuk mengangkat seorang koruptor menjadi tokoh yang layak diberitakan secara besar-besaran harus diubah. Kriteria ”layak muat” atau ”layak tayang” perlu diubah. Alih-alih mengangkat dia sebagai selebritas, pemberitaannya semestinya difokuskan pada ”akibat” penyelewengannya pada bangsa dan negara, bukan hanya dampak ekonominya, melainkan juga pengaruh negatifnya pada moral bangsa.

Pendidikan juga memegang peran penting untuk membangun kembali budaya malu lewat pengajaran moral, dengan mengajarkan agar orang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar, serta mana yang pantas dengan mana yang tak layak.

Dan yang terpenting adalah membangkitkan rasa malu dan tercela bila salah seorang anggota keluarga melakukan korupsi. Dengan demikian, akan muncul rasa malu kolektif dari keluarga dan lingkungan bila seseorang melakukan korupsi. Sanksi sosial dan lingkungan bisa diberikan, tapi melakukan pengucilan seperti masyarakat zaman dulu tentu susah dilakukan. Yang penting adalah memunculkan kesadaran bersama untuk merasa malu dan bersalah tadi.

Kelihatannya gerakan moral seperti ini sangat susah dijalankan, tapi bukannya tak mungkin. Sekarang kita hidup dalam sistem kapitalistik yang menganggap uang dan modal sebagai sesuatu yang sangat berharga. Ada kecenderungan orang untuk tidak peduli dari mana dan bagaimana uang dan modal itu diperoleh. Dalam sistem seperti itu masyarakat, termasuk media massa, cenderung ikut mendewakan uang dan modal. Akibatnya telah kita rasakan: peringkat korupsi di Indonesia tetap tertinggi.

Pemilihan umum legislatif dan pemilu presiden telah kita selesaikan dengan cukup baik. Kita kini bisa lebih fokus bergerak menuju ke depan. Kita sudah punya kebangkitan nasional dan kebangkitan teknologi. Mengapa kita tidak melakukan gerakan kebangkitan budaya yang sekarang kita rasakan makin melorot? Membangkitkan kembali budaya malu adalah salah satu hal yang perlu diprioritaskan.


Reformasi Birokrasi dan Pencegahan korupsi

Substansi pemberantasan korupsi bukanlah pada penindakan. Tapi, pencegahan. Karena, penindakan dilakukan setelah adanya korupsi. Persis pemadam kebakaran. Sedangkan, pencegahan justru dilakukan di muka. Tujuannya untuk menutup peluang semaksimal mungkin bagi terjadinya korupsi. Apa bentuknya? Pengembangan budaya antikorupsi dan dilakukannya reformasi birokrasi.

Budaya antikorupsi tumbuh melalui promosi dan penanaman nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan malu berbuat curang. Akarnya bisa dari agama dan tradisi setempat. Jalurnya bisa melalui sekolah, keluarga, ataupun berbagai bentuk kampanye lainnya. Motornya bisa Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, tentu tak akan efektif tanpa keterlibatan seluruh lapisan masyarakat. Ia harus menjadi gerakan sosial dan masif. Namun, di manapun, peran pemerintah tetaplah yang paling sentral. Karena, di sana ada organisasi, sumber daya, dan dana.


Tampaknya, tak ada masalah dengan pengembangan budaya antikorupsi. Sedangkan, menyangkut reformasi birokrasi bukanlah perkara mudah. Karena, di sini akan menyentuh langsung para pelaku korupsi. Ada rasa sungkan, bahkan perlawanan. Tarik ulur hadirnya KPK dalam pembahasan anggaran di DPR menapakan salah satu bentuk ketakmudahan langkah-langkah menuju reformasi birokrasi. Isunya menjadi bersifat politis, yakni intervensi KPK di parlemen. Padahal, poinnya bukan itu. KPK sedang mempelajari di mana titik lemah proses penyusunan anggaran yang akan menjadi titik masuk terjadinya korupsi. Setelah mengetahui bolong-bolongnya, KPK bisa memberikan rekomendasi perbaikan dalam penyusunan anggaran. Ada 16 langkah dalam proses penyusunan anggaran, salah satunya di parlemen. Lainnya adalah di birokrasi itu sendiri.


Terbongkarnya sejumlah kasus korupsi akhir-akhir ini ternyata berawal dari pembahasan anggaran di parlemen. Sejak masa reformasi, parlemen diberi hak untuk ikut terlibat dalam penyusunan anggaran hingga ke level sangat teknis. Berbeda dibandingkan masa Orde Baru. Saat itu, parlemen hanya dimintai persetujuan tentang programnya dan nilai anggarannya. Kini, parlemen ikut diberi hak untuk menolak atau menyetujui hingga ke level teknis. Pada saat itulah terjadi deal-deal di balik meja program disetujui, tapi si anu atau partai anu dapat jatah. Bentuknya bisa berupa persentase, bisa pula memasukkan nama perusahaan yang akan memenangkan tender pada program tersebut. Kasus suap yang melibatkan anggota parlemen, salah satunya berada pada titik ini.


Sebetulnya, ketika parlemen menuntut hak untuk terlibat di level teknis penyusunan anggaran, awalnya adalah untuk mencegah praktik korupsi. Saat itu, korupsi adalah monopoli birokrasi. Namun, ketika hak pengawasan itu diberikan, ternyata bukannya untuk mencegah korupsi, tapi justru dijadikan pintu masuk untuk ikut dapat jatah korupsi. Tentu saja, hal itu membuka peluang bagi meningkatnya angka kebocoran. Tak heran jika kualitas pembangunan makin menurun.


Kita berharap, masuknya KPK dalam forum pembahasan anggaran di parlemen tak hanya akan melahirkan rekomendasi bagi perbaikan praktik dan prosedur birokrasi. Tapi, juga untuk nguping dan sekaligus membangun aura rasa segan dan takut bagi anggota parlemen yang mulai pasang saham dalam rencana korupsi saat penyusunan anggaran tersebut. Kita juga berharap, keterlibatan KPK ini jangan sampai menjadi titik masuk bagi kemungkinan terseretnya KPK dalam bancakan korupsi. Itulah yang "dulu" terjadi pada parlemen.


Alhamdulillah, pertemuan pimpinan KPK dan pimpinan DPR, pada Selasa (5/8) lalu, berujung pada persetujuan DPR terhadap KPK untuk ikut hadir dalam rapat anggaran. Mari, kita berdoa agar ke depan parlemen benar-benar melakukan fungsi pengawasannya secara murni dan konsekuen.***


Sumber : Republika, 07 Agustus 2008

Monday, September 7, 2009

Membedah Fungsi Legislatif

Achmad Rozi El Eroy[1]


Seminggu ini, sejumlah media masa lokal Banten memberi suguhan berita tentang pelantikan anggota legislative terpilih hasil pemilu legislative 2009. Mulai dari pelantikan anggota DPRD Provinsi Banten yang dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 2009, kemudian disusul oleh Pelantikan Anggota DPRD Kabupaten Serang dan Kota Serang pada tanggal 3 September 2009, dan yang terakhir kemarin adalah pelantikan Anggota DPRD kota Cilegon pada tanggal 4 September 2009.

Secara emosional, kita melihat bagaimana emosi para anggota Dewan terpilih, suka cita, senyum mengembang disana-sini, terlihat keramahan saat ditegur dan diberi ucapan selamat oleh rekan-rekan, kerabat serta pendukung. Ibarat orang yang sedang sakit bisulan, hari pelantikan anggota dewan kemaren dapat dianalogkan sebagai hari pecahnya bisul yang ditunggu-tunggu oleh mereka yang sedang sakit bisul. Bagaiamana tidak, panjangnya waktu menunggu pelantikan membuat para calon anggota dewan terpilih sedikitnya agak “stress” karena para pendukung dan simpatisan terus saja berdatangan untuk menanyakan kapan dilantik.

Bagi anggota dewan ini pelantikan kemarin merupakan sejarah dan kebanggaan yang sangat luarbiasa, bagaimana tidak, hampir ribuan calon legislative yang mendaftar dan ditetapkan sebagai daftar calon tetap, akhirnya hanya beberapa anggota saja yang lolos dan mereka yang kemarin dilantik itulah yang saat ini sedang berbahagia. Walaupun harus diingatkan bahwa, dipundak mereka begitu banyak harapan-harapan dari masyarakat untuk Anggota Dewan terpilih untuk segera bekerja dan bisa melakukan perubahan yang sigifikan sesuai dengan janji-janji mereka dalam kampanye pemilu legislative beberapa bulan yang lalu.

Tulisan ini merupakan kado untuk anggota legislative terpilih yang dapat dijadikan sebagai bekal dalam aktualisasi fungsi legislative sebagai bentuk akuntabilitas anggota dewan terpilih dalam menjalankan amanah yang diemban. Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa fungsi dari legislative adah terdiri dari pertama fungsi Legislasi; kedua fungsi Budgeting; dan ketiga, fungsi kontrol (pengawasan) . ketiganya merupakan pekerjaan pokok dari Anggota Legislatif terpilih untuk dijalankan secara konsisten dan akuntabel.

Fungsi Legislasi

Sistem politik demokrasi yang sekarang ini dijalankan oleh Indonesia, banyak mensyaratkan hal-hal mendasar yang sebelumnya terabaikan. Salah satunya adalah persyaratan dalam proses pembuatan kebijakan publik (policy making process). Jika dalam sistem politik tertutup dan otoriter (baca: rejim orde baru) proses pembuatan kebijakan publik lebih beorientasi kepada kepentingan negara (state oriented), maka dalam sistem politik terbuka dan demokratis ini proses kebijakannya lebih diorientasikan untuk kepentingan masyarakat (society oriented).

Bagaimana peran Legislatif daerah dalam suatu proses kebijakan publik? Secara umum kebijakan publik paling tinggi menurut prinsip dasar ajaran Trias Politica-nya Montesquieu adalah kebijakan yang dibuat oleh lembaga Legislatif, (Nugroho D., 2004:59). Sebagai bentuk kebijakan tertinggi di daerah, Perda kabupaten/kota yang sering berinisiatif membuat draft kebijakannya justru pihak eksekutif. Sedangkan pihak legislatif lebih sering berperan sebagai pembahas usulan maupun memberikan persetujuannya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa penyusunan agenda kebijakan daerah berangkat dari kepentingan pemerintah daerah bukan berdasarkan kepentingan rakyat melalui Legislatif. Situasi seperti ini bisa berdampak pada rendahnya kualitas dan legitimasi kebijakan daerah. Tidak nyambung antara masalah yang menimpa rakyat dengan solusi kebijakan yang dipilih pemerintah dan Legislatif.

Selain masalah tentang lemahnya inisiatif Legislatif dalam penyusunan agenda kebijakan, yang penting untuk diperhatikan adalah tiadanya bekal yang memadai bagi para anggota Legislatif dalam melangsungkan debat argumentasi kebijakan dengan pihak eksekutif. Dalam debat argumentasi pembuatan kebijakan daerah, pihak eksekutif selalu siap dengan dokumen data, analisis dan alternatif kebijakannya. Sementara itu para anggota Legislatif seringkali menghadapinya tanpa data yang memadai. Ibarat sebuah pertarungan, pihak eksekutif yang berbekal senjata komplit dan canggih ini bertarung dengan para anggota Legislatif yang hanya bermodal tangan kosong. Pertarungan tidak seimbang ini harus diakhiri, dengan cara membekali para anggota Legislatif dengan “senjata” yang jauh lebih komplit, akurat, dan memiliki daya jelajah menembus persoalan nyata bagi konstituennya.

Fungsi Penganggaran

Ada sejumlah argumentasi yang mendukung bahwa fungsi anggaran merupakan fungsi terpenting yang dimiliki Legislatif. Pertama, pencapaian kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan/ urusan dan fiskal tidak akan terwujud jika proses penganggaran dan kualitas manajemen belanja daerah (public expenditure management) tidak berpihak pada pencapaian tujuan tersebut sebagai akibat Legislatif tidak cukup optimal menggunakan fungsi anggaran untuk mengontrol perilaku belanja pemerintah daerah.

Kedua, fungsi anggaran memiliki makna strategis untuk memberikan arah atas pengelolaan kekayaan publik agar digunakan untuk kepentingan publik kembali. Selama ini praktek-praktek pengelolaan kekayaan publik sangat dekat dengan berbagai penyalahgunaan, baik dalam bentuk korupsi, mark-up dalam pengadaan, pelepasan aset dengan harga yang sangat murah maupun pelepasan aset sebagai hadiah bagi pejabat yang akan pensiun.

Ketiga, kebijakan yang paling nyata dan punya pengaruh langsung kepada masyarakat adalah kebijakan yang berkaitan dengan anggaran. Pada sisi kebijakan pendapatan daerah, masyarakat adalah penyumbang terbesar baik dalam bentuk pembayaran pajak daerah, retribusi daerah maupun pajak pusat. Pada sisi kebijakan belanja, masyarakatlah yang paling banyak dirugikan seandainya alokasi dan distribusi anggaran daerah tidak menyentuh langsung kepada kepentingan mereka.

Fungsi Pengawasan

Dalam konteks fungsi pengawasan Legislatif, pengawasan bisa dimaknai sebagai suatu proses atau rangkaian kegiatan pengamatan (monitoring) dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik, yang dilaksankan untuk menjamin agar semua kebijakan, program ataupun kegiatan yang dilakukan oleh lembaga publik (pemerintah daerah) berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai aturan-aturan yang telah ditetapkan adalah semua produk kebijakan yang dihasilkan oleh Legislatif bersama-sama dengan pemerintah daerah dalam proses legislasi dan penganggaran.

Karena berkaitan dengan produk legislasi maka dalam menjalankan fungsi pengawasan akan lebih melihat sejauhmana dan bagaimana lembaga eksekutif telah menjalankan kegiatan sesuai dengan arah dan tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan? Apakah dalam mencapai tujuan kebijakan atau program itu, lembaga eksekutif telah menggunakan cara-cara yang benar? Serta apakah dalam mencapai tujuan kebijakan atau program muncul kendala atau persoalan? Demikian pula ketika Legislatif harus menjalankan fungsi legislasi dan anggaran. Kedua fungsi itu akan bisa menghasilkan kebijakan yang lebih effektif (tepat sasaran), apabila Legislatif mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan baik. Dengan melakukan pengawasan yang baik, Legislatif selain bisa mencegah sedini mungkin penyimpangan terhadap tujuan yang telah ditetapkan dalam proses legislasi dan anggaran,

Dari rumusan di atas, fungsi pengawasan meliputi dua dimensi: dimensi pertama, pengawasan Legislatif merupakan sebuah proses untuk memantau, mengamati atau memonitor pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah sebagai implementing agency agar kebijakan berjalan sesuai dengan yang ditetapkan. Sehingga, dalam konteks ini, pengawasan merupakan langkah pencegahan (preventif) terhadap penyimpangan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dimensi kedua, pengawasan Legislatif merupakan sebuah proses melakukan evaluasi dan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah dan mungkin akan terjadi. ** Wallahu’alam Bishowaf



[1] Direktur Eksekutif The Sultan Center (TSC) Banten