Thursday, August 20, 2009

Demokrasi Untuk Kesejahteraan Rakyat

Pileg dan Pilpres yang telah berlangsung secara demokratis, tidak hanya sekedar regenerasi elit atau kepemimpinan secara formalitas. Tetapi, lebih jauh dari itu, sangat diharapkan mampu melahirkan pemimpin bangsa yang berkualitas, lebih peduli terhadap masyarakat yang diwakilinya.

Mereka yang terpilih sebagai “pemimpin bangsa” betul-betul memaknai “transfer kedaulatan” secara mendasar, bahwa kedaulatan yang sepenuhnya merupakan milik rakyat tetapi kemudian di delegasikan kepada mereka yang “dipercaya”. Transfer kedaulatan itu tentu tidak gratis, harus dibalas dengan kesejahteraan yang lebih bagi rakyat itu sendiri.

Jika selama ini implementasi demokrasi dalam kehidupan bangsa maupun dalam kehidupan masyarakat, masih sebatas prosedural, belum sampai pada substansi demokrasi itu sendiri. Ke depan, demokrasi sebagaimana konsep dasarnya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat harus betul-betul terimplementasi dalam kehidupan masyarakat dan umumnya pada kehidupan bangsa dan negara.

Publik sebagai pemilik kedaulatan yang sah di negeri ini, seharusnya diperlakukan secara baik, memberikan ruang bebas dalam menyampaikan setiap harapannya. Sebagai jawabannya, tidak cukup hanya retorika yang indah, dibutuhkan jawaban yang lebih cerdas dan tepat, sebagai wakil rakyat (legislative) dan kepala pemerintahan dapat lebih optimal melakukan berbagai ikhtiar untuk menjawab berbagai harapan masyarakat.

Apapun agenda program yang ditawarkan, idealnya memperioritaskan kepentingan rakyat itu sendiri. Dalam kontkeks ini, rakyat harus menjadi sasaran utama pembangunan. Bukan sebaliknya, membangun demokrasi elit, yang kemudian rakyat menjadi korbannya.

Bagi anggota legislatif yang memiliki otoritas dalam membuat regulasi, tentu bukan hanya sukses mengesahkan sekian banyak regulasi, tetapi mampu memberikan jaminan kepada publik bahwa regulasi yang telah dibuat pada dasarnya mendorong tumbuhnya semangat demokrasi dan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Secara umum semua pihak sesuai dengan posisinya masing-masing diharapkan dapat melembagakan nilai dan konsep demokrasi pada wilayahnya masing-masing, termasuk juga ke dalam institusi dan aturan-aturan hukum yang demokratis. Lebih dari itu, diharapkan juga dalam mendemokratisasikan aktor sampai pada tingkat komunitas yang paling kecil. Partai politik sebagai salah satu insitusi demokrasi harus juga mengembangkan demokrasi di internal partai secara baik.

Demokrasi tentu juga mengharuskan semua pihak khususnya mereka yang diberikan kepercayaan untuk melayani publik, agar dapat memberikan pelayanan yang lebih prima. Memberikan perhatian dan jalan keluar terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Rakyat harus diperlakukan sebagai ”raja” yang dilayani kebutuhannya secara baik. Jangan sampai rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sesungguhnya hidup dalam derita kemiskinan tetapi kemudian ”wakil-nya” hidup serba kemewahan.

Mungkin sebagian dari kita masih belum yakin dengan sistem demokrasi dapat memberikan jalan keluar tercapainya kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Karena sejak reformasi tahun 1998 sampai kini, demokrasi belum menunjukkan hasil yang signifikan, khsusunya pada kesejahteraan masyarakat.

Tentu tidak bisa kita generalisasi bahwa sistem demokrasi lebih menjanjikan kesejahteraan rakyat dari sistem manapun. Tetapi, sistem demokrasi yang hadir sekarang ini, minimal telah memberikan ruang bagi rakyat untuk bisa berekspresi, menentukan pemimpinnya, mendorong adanya transparansi, kontrol publik pada penyelenggaraan negara dan masih banyak lagi lainnya.

Sistem demokrasi telah menempatkan eksistensi rakyat sebagai salah satu aktor penting, jika tidak bisa dikatakan sebagai aktor utama, tidak hanya sebagai pelengkap penderita sebagaimana di orde baru.

Demokrasi juga mendorong pilar-pilar negara kesejahteraan seperti kebebasan, keadilan dan solidaritas terus didorong dalam relasi negara pasar dan masyarakat. Meski diakui masih memiliki kelemahan di sana-sini.

Intinya, demokrasi yang kita terapkan selama ini dapat menghasil sesuatu terbaik jika semua pihak konsisten dalam mekaksanakan agenda demokrasi. Konsisten dalam memberikan perhatian yang lebih optimal pada masyakat. Tentu harus membutuhkan waktu, dan niat baik semua pihak khususnya elit eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam merawat dan mengelola negeri ini.

Memperioritaskan kepentingan bangsa dari pada kepentingan golongan tertentu, tidak hanya sekedar selogan, tetapi betul-betul diimplementasikan dalam segala pikiran dan tindakan nyata.

Harus terus diingat, bahwa rakyat sudah lama hidup menderita. Jangan menambah penderitaan baru yang membuat masyarakat bisa kehilangan kesabaran. Masyarakat tidak lagi butuh janji, butuh langkah kongkrit. Semoga hasil Pemilu Pileg dan pilpres dapat mengahadirkan pemimpin yang bisa memperkuat sistem demokrasi dan mempercepat hadirnya kesejahteraan yang telah lama dirindukan rakyat Indonesia. (sumber: GP Ansor)

Wednesday, August 19, 2009

Kekerasan Dipengaruhi Faktor Kultural

Rabu, 19 Agustus 2009 | 03:48 WIB

Jakarta, Kompas - Kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak dipengaruhi masalah kultural. Dalam budaya sebagian masyarakat, pertengkaran atau kekerasan oleh anggota keluarga adalah aib yang harus ditutup rapat. Secara tidak langsung hal ini ikut melanggengkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan atau anak pada kelompok masyarakat rentan menyebabkan mereka berada pada posisi yang semakin terpuruk.

Demikian benang merah yang mengemuka pada diskusi peluncuran buku Panduan Pelatihan HAM: Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bekerja sama dengan Kedutaan Besar Perancis di Indonesia, Selasa (18/8) di Jakarta.

Direktur Jenderal HAM Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun bawah. Korban kekerasan terbesar menimpa perempuan.

”Statistik yang dikeluarkan Komnas Perempuan, tahun 2008 tercatat 54.425 perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan dan 91 persen di antaranya adalah kasus KDRT,” tuturnya.

Hadi Supeno dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia mengatakan, persoalan KDRT selama ini dianggap persoalan domestik setiap rumah tangga dan bukan persoalan publik. ”Perlu ada terobosan untuk menghentikan dan mengatasi persoalan ini,” kata Hadi. (NAL)

Manajemen STIE Al-Khairiyah Masa Bakti 2009-2013



Sunday, August 16, 2009

Perdagangan Bebas dan Pembangunan


Oleh: Syamsul Hadi


Perundingan maraton dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO di Geneva, 21-30 Juli, berakhir tanpa kesepakatan baru dalam perdagangan global.

Negosiasi menemui jalan buntu ketika membahas mekanisme perlindungan atas sektor pertanian di negara-negara berkembang terhadap liberalisasi perdagangan yang lebih luas.

Dalam proposal WTO, negara berkembang memiliki special safeguard mechanism (SSM) yang ditujukan untuk melindungi produk pertanian lokal dari tekanan produk impor dengan pengenaan tambahan tarif bea masuk sampai dengan 15 persen.

Syarat penerapan SSM adalah jika volume impor mencapai 40 persen dan harga produk turun. Negara-negara berkembang menolak proposal itu dan mengusulkan syarat bagi penerapan SSM adalah 10-15 persen, tanpa harus menunggu turunnya harga produk pertanian lokal. India dan China bersikeras mendesakkan keinginan negara berkembang ini, tetapi AS menolak.

Akar kebuntuan

Perundingan di Geneva merupakan lanjutan dari putaran perundingan WTO yang dimulai di Doha, Qatar, November 2001. Putaran Doha diluncurkan tidak lama setelah tragedi 11 September yang memunculkan pandangan tentang keterkaitan antara kemiskinan global dan instabilitas internasional.

Negara-negara maju berjanji menjadikan putaran ini sebagai ”putaran pembangunan” (development round), yaitu perundingan yang ditujukan bagi terciptanya rezim perdagangan internasional yang lebih memerhatikan kepentingan negara berkembang untuk mengatasi kemiskinan.

Secara politis ”Janji Doha” dipandang perlu karena negara-negara berkembang menyadari, fokus perundingan dan kesepakatan dalam putaran sebelumnya lebih banyak mencerminkan kepentingan negara maju, seperti dalam hal liberalisasi aliran modal dan penguatan hak cipta intelektual. Mengingat keberadaannya sebagai basis keunggulan komparatif utama negara berkembang, sektor pertanian mendapat perhatian khusus dalam Agenda Pembangunan Doha.

Sayang, tuntutan negara berkembang bagi penurunan proteksi pertanian di negara maju tidak mendapatkan hasil yang seperti diharapkan. Salah satu tuntutan terpenting negara berkembang adalah penurunan subsidi AS untuk sektor pertanian domestiknya yang mencapai 16,5 miliar dollar AS per tahun.

Di Geneva, AS bersedia menurunkan subsidi menjadi 15 miliar dollar AS. Bagi negara berkembang, jumlah ini masih terlalu besar. Mereka memandang subsidi pertanian di AS seharusnya cukup 7 miliar dollar AS per tahun (Kompas, 24/7).

Kebuntuan dalam perundingan di sektor pertanian jelas mengecilkan prospek dicapainya kesepakatan perdagangan global lebih lanjut serta dikhawatirkan akan memunculkan gejala proteksionisme baru.

Jajak pendapat di AS yang diselenggarakan NBC News dan Wall Street Journal (dikutip oleh Scheve dan Slaughter dalam Foreign Affairs, July/August 2007) menemukan, dalam periode Desember 1999 hingga Maret 2007 persentase responden yang memandang kesepakatan perdagangan bebas akan merugikan AS mencapai angka 46 persen, dibandingkan dengan 28 persen responden yang memandang perdagangan bebas sebagai hal yang menguntungkan.

Scheve dan Slaughter melihat ini sebagai bentuk peningkatan skeptisme warga AS terhadap globalisasi, yang mencerminkan opini publik terbaru yang akan membuat perilaku politisi AS menjadi lebih proteksionis. Kemunduran ekonomi AS akibat krisis subprime mortgage tampaknya juga ikut mendorong sikap AS yang kurang akomodatif terhadap tuntutan negara-negara berkembang di Geneva.

Di sisi lain, negara-negara berkembang banyak belajar dari pola negosiasi di WTO, yang kerap diwarnai berbagai model tekanan dari negara-negara maju. Negara- negara berkembang menyiasati tekanan ini dengan melakukan pengelompokan, seperti G-33, G-20, dan African Group.

Selain itu, sikap percaya diri dan tough para negosiator India dan China yang menjadi panutan negara berkembang menyebabkan sulitnya dicapai kompromi di meja perundingan.

Indonesia dan WTO

Dalam Making Globalization Work (2006), Joseph Stiglitz memastikan kegagalan Putaran Doha akibat ketidaksetaraan posisi atau perbedaan level of playing field dalam negosiasi antarnegara maju dan berkembang.

Penurunan tarif di bidang manufaktur berteknologi tinggi, misalnya, akan sangat menguntungkan negara maju karena jenis dan kualitas produksinya yang bernilai tambah tinggi. Sebaliknya, negara berkembang tidak dapat berbuat banyak dalam kaitan itu karena rendahnya teknologi dan kualitas produk yang kurang kompetitif.

Terbukti, sektor-sektor yang merupakan sumber keunggulan komparatif negara berkembang, seperti pertanian dan unskilled labour, merupakan sektor yang secara politik amat sensitif di negara maju. Kebuntuan KTM WTO di Geneva membuktikan para pemimpin negara maju enggan mengorbankan kepentingan konstituen politik domestiknya dibandingkan memenuhi ”Janji Doha”, yang menjanjikan dukungan pembangunan bagi negara berkembang.

Dalam konteks Indonesia, tekanan IMF menyebabkan tarif bea masuk produk pertanian sangat rendah dibandingkan negara-negara berkembang lain. Tarif impor beras yang sekitar 30 persen, misalnya, lebih rendah daripada ketentuan yang dibolehkan oleh WTO sendiri.

Maka, agak absurd menyaksikan positioning Indonesia dalam WTO yang, sebagai ketua G-33, memperjuangkan perlindungan bagi sektor pertanian di negara-negara berkembang, sementara petani di Indonesia sendiri dipaksa hidup tanpa proteksi memadai.

Penting bagi Indonesia untuk menyadari, perdagangan bebas hanya instrumen kebijakan yang harus dipilih dengan penuh kesadaran akan manfaat dan mudaratnya. Ia bukan tujuan pembangunan itu sendiri. Tanpa implementasi program pembangunan yang mampu memperkuat daya saing ekonomi bangsa, keterlibatan dalam negosiasi perdagangan bebas hanya kelatahan di atas basis struktural yang rapuh

Wednesday, August 5, 2009

Masyarakat Sipil dan Konsolidasi Demokrasi Daerah

Oleh: Novri Susan
(Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Unair)

Abstrak

“Konsolidasi demokrasi di Indonesia sangat memerlukan peran masyarakat sipil (civil society) untuk menjadi suatu sistem yang benar-benar menjamin terbentuknya negara yang memberi keadilan dan kesejaheraan rakyatnya. Peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil menjadi sangat penting ketika konsolidasi demokrasi ditandai oleh partisi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah. Sejauh mana demokrasi di daerah bisa berjalan salah satunya ditentukan oleh kiprah masyarakat sipil pada level ini. Berkaitan dengan persoalan tersebut, menjadi sangat penting untuk membahas dalam tulisan ini konsep masyarakat sipil, perkembangan di Indonesia, dan perannya dalam konsolidasi demokrasi daerah.“

Pengantar

Indonesia yang sedang memulai demokrasi, atau dalam masa menuju konsolidasi demokrasi menurut istilah Larry Diamond (2003), masih berada dalam fase transisi yang perlu terus disempurnakan di konteks keindonesiaan. Walaupun beberapa kalangan menganggap demokrasi sebagai sistem dianggap mampu berjalan dengan niscaya, menurut Diamond (1992) demokrasi juga menuntut tumbuhnya masyarakat beradab yang bersemangat, gigih dan pluralis. Tanpa satu masyarakat yang beradab demikian, demokrasi tidak akan mungkin dikembangkan dan menjadi langgeng. Pada jangkauan yang lebih jauh, demokrasi tidak akan mampu menjalankan misinya membentuk negara yang adil dan mensejahterakan rakyatnya tanpa adanya peran masyarakat sipil

Masyarakat sipil (civil society) dalam kasus negara-negara berkembang termasuk Indonesia berhadapan dengan dua persoalan. Pertama terminologi dan konsep masyarakat sipil yang masih bisa diperdebatkan diantara kalangan akademisi maupun kalangan aktivis demokrasi. Persoalan yang kedua adalah peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil dalam proses perubahan-perubahan sosial politik di Indonesia, terutama sekali pada saat demokrasi masih dalam fase transisi. Transisi demokrasi di Indonesia ditandai oleh partisi kekuasaan atau desentralisasi yang mempunyai dimensi-dimensi permasalahan kontekstual, terutama sekali berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan agenda terbentuknya local good government. Walaupun, faktanya kapasitas dan nilai’nilai demokrasi masih lemah. Sehingga, pada situasi ini civil society mempunyai peran yang strategis dalam mengawal konsolidasi demokrasi di tingkat daerah.

Konsep Masyarakat Sipil

Istilah “civil society” semenjak awal 90-an sampai saat ini masih menjadi diskursus di lingkungan akademik dan aktivis gerakan sosial. Pada saat yang sama, perubahan-perubahan sosial politik terus bergulir sebagai bagian dari terus bergeraknya dinamika antara masyarakat sipil dan negara. Istilah civil society oleh sebagai kalangan disepakati mempunyai kesamaan konsep dengan istilah masyarakat madani. Kedua istilah ini, civil society dan masyarakat madani, sebenarnya berangkat dari konteks historis yang berbeda. Civil society merupakan konsep dari sejarah Barat/Eropa. Pada sisi lain masyarakat madani merujuk pada sejarah Islam di awal penyebarannya. Walaupun demikian banyak kalangan akademis bersepakat bahwa konsep umum masyarakat Madani dan civil society mempunyai kesamaan.

Istilah civil society berasal dari bahasa latin, civilis societas. Cicero (106-43 SM) bisa jadi orang pertama yang menggunakan istilah itu untuk melihat gejala budaya perorangan dan masyarakat. Dawam Rahardjo (1999) menjelaskan bahwa Cicero menyebut masyarakat sipil sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturannya. Masyarakat seperti itu, dizaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.

Dalam penggunaan istilah modern civil society pertama kali dikembangkan di awal pencerahan Skotlandia. Salah satu pemikir pencerahan, Adam Ferguson dalam tulisan klasiknya An Essay on the History of Civil Society, menduga munculnya masyarakat sipil berkaitan dengan lahirnya pasar ekonomi modern. Masyarakat sipil juga wilayah khusus yang dicirikan oleh penyempurnaan moral dan budaya, perhatian terhadap pelaksanaan rule of law oleh pemerintahan, satu semangat publik, dan pembagian kerja (division of labor) yang kompleks (Chandhoke, 2005). Adam Ferguson dan beberapa pemikir abad pencerahan di Skotlandia mulai memisahkan antara fenomena masyarakat sipil dan negara (Hikam, 1996: 2). Masyarakat sipil dinilai merupakan fenomena munculnya kemandirian masyarakat yang berseberangan dengan negara dalam arti kritis terhadap struktur dan kebijakan negara.

Secara mendasar masyarakat sipil menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik serta kontrol terhadap kekuasaan. Dalam realitas empirisnya masyarakat sipil mengorganisasi dirinya secara independen dari negara sekaligus mempunyai landasan pengetahuan yang menjadikan mereka berbeda dari masyarakat biasa yang tidak kritis dan pasif dalam struktur sosial yang bisa jadi menindas mereka.

Masyarakat biasa (parokial) dan masyarakat sipil bisa dijelaskan dengan istilah mass society dan public society yang dikembangkan oleh C. Wright Mills (1956). Mass society adalah masyarakat yang cenderung pasif, tidak kritis terhadap kekuasaan dan pada sisi berseberangan public society merupakan masyarakat kritis, independen dan mampu mengorganisasi diri untuk melakukan tuntutan terhadap ketidakadilan. Neera Chandoke (2005) menyatakan dukungannya bahwa masyarakat sipil adalah lembaga-lembaga yang kritis terhadap Negara. Walalupun kritis terhadap negara, Diamond (2003) menekankan bahwa masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat politik yang mencakup semua aktor terogarnisasi terutama partai politik dan organisasi kampanye.

Selain kritis terhadap negara civil society mempunyai kemandirian dalam banyak hal. Bahwa civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung kehidupan material, dan tidak terserap dalam jaringan-jaringan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam, 1996: 3). Larry Diamond dalam bukunya developing democracy toward consolidation (2003) menyimpulkan lebih luas bahwa masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial berorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Selanjutnya Diamond menekankan bahwa masyarakat sipil bersedia aktif secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki fungsi struktur negara, dan untuk menuntut akuntabilitas negara.

Masyarakat sipil yang kritis dan mandiri secara esensial didukung oleh orientasi pasarnya, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa tumbuh berkembang dan mendapat jaminan rasa aman ia membutuhkan perlindungan dari tatanan hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara tetapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law (Diamond, 2003). Berkaitan dengan pencirian masyarakat sipil Diamond mengajukan lima ciri masyarakat sipil. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman. Artinya, organisasi yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civic community adalah konsep yang lebih luas dan lebih sempit sekaligus: lebih luas karena ia mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial); lebih sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horizontal di seputar ikatan yang sekira mempunyai kebersamaan, kooperatif, dan saling mempercayai (Diamond, 2003: 281-283).

Persoalan mendasar lainnya setelah pendefinsian adalah siapa yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Pada level ini seringkali terjadi persoalan karena kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat seringkali menunjuk kepada kelompok yang lain bukan sebagai bagian dari masyarakat sipil tetapi sebagai masyarakat politik. Untuk menengahi ini kita bisa mengkutip pendapat Diamond bahwa masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi: ekonomi, kultural, informasi dan pendidikan, kepentingan, pembangunan, berorientasi isu, dan kewarganegaraan.

Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu pada pengertian ini, tampaknya civil society juga bisa merupakan kelas menengah. Kelas menengah oleh Hikam (1999) yang di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan kelompok-kelompok pro demokrasi,

Fakta menarik dalam diskursus mengani konsep civil society adalah munculnya wacana mandiri mengenai konsep civil society dari aktor-aktor yang berbeda. Dari laporan Lokakarya Pengukuran Indeks Kesehatan Masyarakat Sipil yang dilakukan oleh Yappika di 6 region, pada proses penentuan definisi masyarakat sipil dua region menolak definisi Civicus. Fenomena yang menarik sesungguhnya bahwa masyarakat sipil sendiri mempunyai konsepsi mengenai civil society yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik di daerah masing-masing. Artinya kita menyaksikan bahwa proses pendefinisian sangat dipengaruhi oleh konteks sosial politik masing-masing kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat sipil.

Masyarakat sipil sendiri akan bisa tumbuh berkembang dan menjadi penyeimbang negara ketika terdapat proses-proses yang sehat, keterbukaan dan partisipatif. Menurut Eisenstadt (dalam Gaffar, 1999: 180) terdapat empat komponen berkaitan dengan kemungkinan tumbuhnya masyarakat sipil; pertama adalah otonomi yang berarti sebuah civil society harus lepas sama sekali dari pengaruh Negara, apakah itu dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Kedua, akses masyarakat terhadap lembaga negara. Dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok, harus mempunyai akses terhadap agencies of the state. Artinya, individu dapat melakukan partisipasi politik dengan berbagai bentuknya, apakah dengan menghubungi pejabat (contacting), menulis pikiran di media massa, atau dengan terlibat langsung atau tidak langsung organisasi politik. Ketiga, arena publik yang otonom, dimana berbagai macam organisasi social dan politik mengatur diri mereka sendiri. Keempat, arena publik yang terbuka, yaitu arena public yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan rahasia, eksklusif dan setting yang bersifat korporatif.

Masyarakat Sipil Indonesia: Dari Otoriterianisme ke Demokrasi

Membincangkan masyarakat sipil dalam dunia modern dalam konteks keindonesiaan, kita menyadari hal itu tidak lepas dari transformasi modernitas yang mulai berlangsung pada masa kolonialisme. Masyarakat tradisional yang berbasis komunitas dan pengorganisasian tradisional mulai mengubah strategi untuk melakukan aksi-aksi aksi kritis. Bahkan kemunculan organisasi-organisai pemberdayaan keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis dan lainnya merupakan respon terhadap struktur kolonialisme. Pada dasarnya kolonialisme dan struktur kekuasaannya yang menindas merupakan rahim bagi kelompok-kelompok independen pribumi yang berusaha melakukan perlawanan kritis melalui proses pemberdayaan masyarakat maupun penolakan-penolakan kebijakan politik pemerintahan kolonial. Lahirnya Syarekat Islam (SI), Budi Utomo, Indische Party, dan berbagai kelompok di luar pemerintahan kolonial adalah beberapa contoh organisasi sipil yang kritis terhadap negara.Pada awal berdirinya Negara Indonesia demokrasi liberal seolah menjadi refleksi euphoria berbagai kelompok kepentingan pada waktu itu setelah lepas dari struktur politik kolonialisme. Multi partai sebagai landasan empiris bahwa demokrasi sedang berlangsung memberi kenyataan bahwa Indonesia sesungguhnya memulai bangsa ini dengan demokrasi. Akan tetapi situasi politik yang diciptakan oleh persaingan antar kelompok politik dengan agenda ideologis masing-masing terhadap negara menyebabkan lahirnya dekrit presiden pada 5 Juli 1959. Semenjak itu demokrasi hanya bunga hias di meja istana negara karena kekuasaan dipegang oleh presiden dengan menggunakan idiom demokrasi terpimpin sebagai kuda troya. Rezim otoriter berlanjut ke pemerintahan Orde Baru Suharto dengan menampilkan demokrasi pancasila yang tidak lebih dari depolitisasi masyarakat Indonesia.

Civil society di awal berdirinya Indonesia sesungguhnya mulai mendapatkan iklim yang tepat dan sekaligus berkembang baik pada awal demokrasi parlementer di awal berdirinya Indonesia sebagai negara bangsa pada tahun 1950-an. “Kenyataan ini tidak lepas bahwa organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebasa dan memperoleh dukungan dari warga masyarakat yang baru saja merdeka. Tambahan pula, pada periode ini, negara yang baru lahir belum mempunyai kecenderungan intervesionis, sebab kelompok elite penguasa berusaha berusaha keras mempraktikkan sistem Demokrasi Parlementer” (Hikam, 1996: 4). Akan tetapi perubahan politik yang tragis menyebabkan proses terbentuknya masyarakat sipil yang mandiri, kritis dan menjadi penyeimbang bagi negara terhenti. Ormas-ormas dan lembaga-lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan ideologi. Kenyataan ini semakin diperparah oleh rezim Soekarno yang menerapkan pemerintahan otoriter dengan memusatkan kekuasaan di tangannya melalui jargon demokrasi terpimpin. Mobilisasi massa di lingkungan masyarakat bisa dicurigai sebagai gerakan kontra revolusi.

Pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan pada strategi negara menciptakan sistem semu baik pada politik maupun ekonomi (erzats capitalism) yang sesungguhnya strategi praktik politik otoriter Suharto. Situasi ini jelas berpengaruh terhadap tumbuhnya masyarakat sipil. Intervensi negara Orde Baru terhadap proses sosial politik masyarakat dengan legitimasi hukum yang diciptakan rezim merupakan proses penyempitan ruang gerak masyarakat sipil dalam ruang public (public sphere). Dalam konteks persoalan ini, Soeharto menggunakan mekanisme carrot and sticks terhadap masyarakat dalam ruang publik yang telah ia kontrol. Artinya, siapa yang taat dan patuh akan mendapatkan bantuan maupun kemudahan akses sosial ekonomi sedangkan yang membangkang akan mendapatkan pukulan keras, ditangkap sebagai pelaku subversif.

Politik otoriter Orde Baru sesungguhnya tidak lepas dari ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang membutuhkan politik sentralisme untuk kontrol pembangunan. Pada dasawarsa awal pemerintahan Orde Baru pembangunan , lebih luas modernisasi, pada gilirannya merupakan topik fundamental bagi kalangan NGO sebagai bagian dari masyarakat sipil. Dalam situasi politik yang terkontrol oleh negara, NGO mencoba melakukan upaya penyesuaian dengan memberdayakan masyarakat berkaitan dengan modernisasi yang sedang berlangsung.

Pada era 1970-an lembaga-lembaga seperti LP3ES, LSP, Yayasan Dian Desa, Yayasan Bina Swadaya merupakan contoh gerakan NGOs Indonesia yang berorientasi integrasi masyarakat dalam pembangunan negara. Kontribusi utama mereka adalah mempromosikan modernisasi sosial ekonomi diantara kelompok-kelompok marjinal. Pada dasawarsa 80-an gerakan NGO di Indonesia semakin bervariasi, ditandai dengan munculnya gerakan yang mengkritik modernisasi yang dijadikan landasan pembangunan. Gerakan lingkungan hidup (WALHI), bantuan hukum struktural (LBH, YLBHI), gerakan konsumen (YLKI) mulai meramaikan peta bumi NGO di Indonesia. Sejak kekuasaan rezim Orde Baru, mencapai klimaksnya di tahun 1990-an gerakan CSO dan NGO semakin radikal dan bervariasi. Mereka mulai melakukan usaha reformasi kebijakan public secara structural. Pembentukan koalisi antar gerakan NGO Advokasi mulai bertumbuhan. Di bidang reformasi agrarian misalnya, KPA, AKATIGA, Bina Desa mulai mempersoalkan ketimpangan struktur penguasaan tanah dan ketimpangan distribusi income penduduk di pedesaan (Thamrin, 2001).

Pada awal keruntuhan Orde Baru isu-isu korupsi mulai menyeruak diantara hubungan masyarakat dan negara. Protes dari kalangan masyarakat sipil yang bukan hanya dari NGO, termasuk mahasiswa dan kalangan bisnis maupun media, melakukan gerakan protes mengenai korupsi dan perilaku birokrasi pemerintahan. Pada saat Orde Baru tidak mampu menjawab gerakan tersebut, masyarakat sipil semakin menyadari bahwa otoritarianisme adalah kunci dari munculnya berbagai dimensi persoalan yang menjerat Indonesia, baik dengan isu kerusakan ekologis, korupsi, ketimpangan sosial, dan demokrasi. Selanjutnya, gerakan masyarakat sipil mendorong jatuh rezim otoriter dan berusaha membentuk sistem politik demokratis dengan proses komunikasi dan kerjasama dengan eleit-elite politik maupun partai-partai politik reformis. Hasilnya adalah demokrasi bagi Indonesia, yang secara momentum dimulai dengan pemilu 1999 yang mempresentasikan persaingan politik multi partai.

Agenda demokrasi tidak hanya berhenti pada dilaksanakannya pemilu nasional. Demokrasi harus diterapkan konsisten untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Proses penyempurnaan yang dilakukan, dari periode pemerintahan BJ. Habibie, Abdurraman Wahid, Megawati dan SBY memberi kesan bahwa Indonesia serius dengan agenda demokrasi untuk menjawab berbagai persoalan bangsa. Kenyataan ini dipertegas dengan berbagai dukungan dan pujian dunia internasional terhadap Indonesia berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi.

Sistem politik demokrasi menjadi semakin mampu berjalan dengan baik ketika diberlakukan pada skala yang tidak terlalu besar. Diamond mencatat bahwa ketika gelombang ketiga (demokrasi, pen.) sekitar setengah dari negara-negara (merdeka) berukuran sangat kecil ini lebih demokratis (dibandingkan 23% negara-negara yang lebih besar). Secara keseluruhan, pada awal 1998, hampir 75 persen negara-negara yang demokratis, disbanding dengan kurang dari 60 persen negara-negara yang lebih besar (Diamond, 2003: 151).

Kenyataan inilah yang juga mendasari bagi pelimpahan demokrasi di level daerah (lokal) atau desentralisasi. Desentralisasi di Indonesia dimulai diterapkan melalui UU 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah yang selanjutnya diperbaiki dengan UU 33 Tahun 2004 dimana desentralisasi berada di tingkat pemerintahan Kabupaten/kota. Walaupun menurut Afan Gaffar (1999) Indonesia belum memiliki masyarakat sipil karena terutama sekali faktor transisi politik, perekonomian dan tingkat pendidikan masyarakat akan tetapi dengan melihat perkembangan politik yang semakin membuka ruang publik, kita bisa bisa berharap bahwa masyarakat sipil pada saat yang bersamaan melakukan proses pembentukan (penyempurnaan) dan melakukan gerakan sosial berkaitan dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berlansung.

Konsolidasi Demokrasi Daerah

Demokrasi daerah dalam implementasinya telah menghadirkan beberapa kasus persoalan yang merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan masyarakat sipil, baik persoalan yang muncul dari masyarakat maupun pemerintahan daerah. Tahap awal yang memperlihatkan persoalan konsolidasi demokrasi daerah adalah kasus pemilihan kepada daerah secara langsung (pilkadal). Pada kasus pemilihan kepala daerah secara langsung tahap pertama telah muncul persoalan-persoalan mendasar.

Pada kasus pilkada di Jawa Timur yang dilaksanakan oleh 15 daerah kabupaten/kota pada tahap pertama telah memunculkan persoalan berkaitan dengan partisipasi politik dan stabilitas sosial.

Partisipasi politik masyarakat dalam pilkada jika dihitung secara kuantitas terhitung baik. Bahkan Kabupaten Mojokerto mendapatkan rekor dari MURI (Museum Rekor Indonesia) karena berhasil mendorong partisipasi politik sampai di atas 80 persen. Akan tetapi partisipasi politik tidak hanya dihitung dari kuantitas warga dalam pencoblosan, lebih mendasar lagi adalah apakah partisipasi tersebut telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, seperti tidak adanya politik uang, ancaman dari pihak-pihak tertentu dan rasionalitas memilih. Kalangan akademik maupun NGO mensinyalir bahwa politik uang masih mungkin terjadi mengingat pilkada dilaksanakan pada saat kondisi perekonomian rakyat sangat buruk. Selain persoalan partisipasi politik, stabilitas sosial juga menjadi persoalan.

Kenyataan ini tidak lepas dari maraknya kerusuhan paska pencoblosan di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada.

Hampir di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada mengalami konflik pilkada yang melibatkan mobilisasi massa dan aksi kekerasan. Untuk daerah Surabaya terjadi mobilisasi massa besar-besaran dan sempat terjadi pengrusakan fasilitas di kantor Ketua DPRD Surabaya (Republika, 13 Juli 2005). Walaupun tingkat anarkisme massa lebih rendah dibandingkan dengan derah-darah lain seperti Gowa di Sulsel, ini tetap memberikan dampak terhadap stabilitas sosial. Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat akan menjadi budaya politik yang buruk di daerah. Elite-elite politik yang kalah pun cenderung tidak bisa menerima kekalahan mereka dan sebaliknya melakukan proses mobilisasi massa dan manuver-manuver politik yang tidak sehat.

Pada dimensi yang lain, arah konsolidasi demokrasi daerah (desentralisasi) juga menghadirkan persoalan mendasar yaitu diperlukannya pemerintahan lokal yang baik (local good government). Pemerintahan lokal pada periode desentralisasi ini mempunyai wewenang yang sangat besar dalam pengelolaan daerah. Bahkan melahirkan konstelasi persaingan atar elite-elite politik lokal, antara eksektif maupun legislative, antara bupati dan gubernur dalam membagi wilayah kekuasaan. Pada saat bersamaan, pemerintahan daerah dengan sistem baru berhadapan dengan kenyataan bahwa terdapat berbagai persoalan baik pada dimensi regulasi, organisasi dan sumberdaya manusia. Dalam kasus di Kota Madiun, masyarakat mempunyai persepsi kurang baik terhadap kinerja pemerintahan kota. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berubahnya kondisi perekonomian, sosial, politik yang buruk (krisis) menjadi lebih baik (Laporan LGSP Madiun USAID/RTI, 2005). Kenyataan ini harus dihadapai oleh seluruh elemen masyarakat sipil bahwa membentuk pemerintahan yang baik (local good government) sangat penting agar proses politik dan pemerintahan menghasilkan kemungkinan positif bagi rakyat daerah.Daerah juga membutuhkan dana-dana untuk kas keuangan daerah sehingga ada kencenderungan melakukan eksplotasi sumber alam dan peningkatan pajak usaha maupun retribusi pada awal otonomi daerah dilaksanakan. Kebijakan ini semakin memperluas persoalan, eksplotiasi alam menyebabkan konflik dan peningkatan pajak usaha akan menyebabkan proses ekonomi menjadi lamban karena para pengusaha tingkat menengah dan bawah sulit berkembang.

Beberapa kasus eksploitasi sumber alam daerah memberi dampak terhadap kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Laporan assessment PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Universitas Airlangga mengenai konflik lingkungan di Klaten Jawa Tengah menunjukkan bahwa eksploitasi air menyebabkan kerusakan lingkungan dan menurunnya kemampuan petani mengelola sawah ladang karena pengairan semakin sulit. Konflik antara petani terhadap pemerintah daerah dan Aqua Danone dengan bendera PT. Tirta Investama sampai saat ini tidak terpecahkan karena eksploitasi masih terus berlanjut. Di sini, peran masyarakat sipil menjadi sangat krusial berkaitan dengan penyelesaian konflik dan kontrol terhadap penguasa lokal yang bekerjasama dengan pihak penanam modal.

Jika kita melihat kasus-kasus di atas sesungguhnya elemen-elemen sipil saat ini sedang berhadapan dengan persoalan-persoalan yang muncul dalam proses konsolidasi di tingkat daerah. Kalangan NGO maupun CSO perlu meletakan peran (role enactment) yang strategis agar konsolidasi daerah bisa berlangsung dengan maksimal. Konsolidasi demokrasi pada dasarnya berlangsung pada dimensi kultural dan sistem. Baik mencakup persoalan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan perilaku birokrasi pemerintahan dan kebijakan-kebijakan lokal. Akan tetapi pada saat bersamaan kalangan sipil sendiri masih perlu melakukan konsolidasi gerakan.

Demokrasi di tingkat daerah adalah suatu tugas baru bagi elemen-elemen masyarakat sipil. Secara mendasar masyarakat sipil harus mampu melakukan gerakan-gerakan sosial yang mampu mensukseskan proses demokrasi di tingkat loal. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan elemen-elemen sipil di darah, berkaitan dengan presoalan-persoalan di atas, dalam konteks konsolidasi demokrasi daerah dapat kita lihat pada; 1) pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal, 2) partisipasi politik warga berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan dan pemilu, 3) pendidikan politik bagi elite-elite dan kelompok-kelompok politik , 4) pendampingan (advokasi) masyarakat berkaitan dengan kebijakan pemda, dan 5) agenda mendukung pembentukan pemerintahan yang baik (good government).Agenda masyarakat sipil ini akan menjadi titik keberhasilan konsolidasi demokrasi daerah. Konsolidasi demokrasi daerah tidak akan berjalan tanpa peran yang diberikan masyarakat sipil karena posisi strategis mereka dalam struktur sosial. Mereka sekaligus adalah kelas menengah, yang bisa bernegosiasi dengan pemerintah dan bisa berkomunikasi dengan kebutuhan masyarakat bawah.

Penutup

Kita tidak bisa memungkiri bahwa proses menuju konsolidasi demokrasi akan timpang dan runtuh jika masyarakat sipil gagal menempatkan peran strategisnya. Demokrasi yang dipartisi pada level daerah sesungguhnya memberi ruang yang semakin luas terhadap masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi. Isu-isu penting berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, partisipasi politik dan pembentukan pemerintahan lokal yang baik harus digarap dengan komitmen dan konsentrasi. Walaupun masing-masing elemen mempunyai isu dan kepentingan yang berbeda, paling tidak sebagaimana disebutkan Diamond (2003) bahwa gerakan elemen-elemen sipil akan mengarah pada pengakan hukum (law enforcement), pengawasan kinerja dan perilaku pemerintah, dan melindungi masyarakat melalui pemberdayaan dan advokasi.