Sunday, August 16, 2009

Perdagangan Bebas dan Pembangunan


Oleh: Syamsul Hadi


Perundingan maraton dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO di Geneva, 21-30 Juli, berakhir tanpa kesepakatan baru dalam perdagangan global.

Negosiasi menemui jalan buntu ketika membahas mekanisme perlindungan atas sektor pertanian di negara-negara berkembang terhadap liberalisasi perdagangan yang lebih luas.

Dalam proposal WTO, negara berkembang memiliki special safeguard mechanism (SSM) yang ditujukan untuk melindungi produk pertanian lokal dari tekanan produk impor dengan pengenaan tambahan tarif bea masuk sampai dengan 15 persen.

Syarat penerapan SSM adalah jika volume impor mencapai 40 persen dan harga produk turun. Negara-negara berkembang menolak proposal itu dan mengusulkan syarat bagi penerapan SSM adalah 10-15 persen, tanpa harus menunggu turunnya harga produk pertanian lokal. India dan China bersikeras mendesakkan keinginan negara berkembang ini, tetapi AS menolak.

Akar kebuntuan

Perundingan di Geneva merupakan lanjutan dari putaran perundingan WTO yang dimulai di Doha, Qatar, November 2001. Putaran Doha diluncurkan tidak lama setelah tragedi 11 September yang memunculkan pandangan tentang keterkaitan antara kemiskinan global dan instabilitas internasional.

Negara-negara maju berjanji menjadikan putaran ini sebagai ”putaran pembangunan” (development round), yaitu perundingan yang ditujukan bagi terciptanya rezim perdagangan internasional yang lebih memerhatikan kepentingan negara berkembang untuk mengatasi kemiskinan.

Secara politis ”Janji Doha” dipandang perlu karena negara-negara berkembang menyadari, fokus perundingan dan kesepakatan dalam putaran sebelumnya lebih banyak mencerminkan kepentingan negara maju, seperti dalam hal liberalisasi aliran modal dan penguatan hak cipta intelektual. Mengingat keberadaannya sebagai basis keunggulan komparatif utama negara berkembang, sektor pertanian mendapat perhatian khusus dalam Agenda Pembangunan Doha.

Sayang, tuntutan negara berkembang bagi penurunan proteksi pertanian di negara maju tidak mendapatkan hasil yang seperti diharapkan. Salah satu tuntutan terpenting negara berkembang adalah penurunan subsidi AS untuk sektor pertanian domestiknya yang mencapai 16,5 miliar dollar AS per tahun.

Di Geneva, AS bersedia menurunkan subsidi menjadi 15 miliar dollar AS. Bagi negara berkembang, jumlah ini masih terlalu besar. Mereka memandang subsidi pertanian di AS seharusnya cukup 7 miliar dollar AS per tahun (Kompas, 24/7).

Kebuntuan dalam perundingan di sektor pertanian jelas mengecilkan prospek dicapainya kesepakatan perdagangan global lebih lanjut serta dikhawatirkan akan memunculkan gejala proteksionisme baru.

Jajak pendapat di AS yang diselenggarakan NBC News dan Wall Street Journal (dikutip oleh Scheve dan Slaughter dalam Foreign Affairs, July/August 2007) menemukan, dalam periode Desember 1999 hingga Maret 2007 persentase responden yang memandang kesepakatan perdagangan bebas akan merugikan AS mencapai angka 46 persen, dibandingkan dengan 28 persen responden yang memandang perdagangan bebas sebagai hal yang menguntungkan.

Scheve dan Slaughter melihat ini sebagai bentuk peningkatan skeptisme warga AS terhadap globalisasi, yang mencerminkan opini publik terbaru yang akan membuat perilaku politisi AS menjadi lebih proteksionis. Kemunduran ekonomi AS akibat krisis subprime mortgage tampaknya juga ikut mendorong sikap AS yang kurang akomodatif terhadap tuntutan negara-negara berkembang di Geneva.

Di sisi lain, negara-negara berkembang banyak belajar dari pola negosiasi di WTO, yang kerap diwarnai berbagai model tekanan dari negara-negara maju. Negara- negara berkembang menyiasati tekanan ini dengan melakukan pengelompokan, seperti G-33, G-20, dan African Group.

Selain itu, sikap percaya diri dan tough para negosiator India dan China yang menjadi panutan negara berkembang menyebabkan sulitnya dicapai kompromi di meja perundingan.

Indonesia dan WTO

Dalam Making Globalization Work (2006), Joseph Stiglitz memastikan kegagalan Putaran Doha akibat ketidaksetaraan posisi atau perbedaan level of playing field dalam negosiasi antarnegara maju dan berkembang.

Penurunan tarif di bidang manufaktur berteknologi tinggi, misalnya, akan sangat menguntungkan negara maju karena jenis dan kualitas produksinya yang bernilai tambah tinggi. Sebaliknya, negara berkembang tidak dapat berbuat banyak dalam kaitan itu karena rendahnya teknologi dan kualitas produk yang kurang kompetitif.

Terbukti, sektor-sektor yang merupakan sumber keunggulan komparatif negara berkembang, seperti pertanian dan unskilled labour, merupakan sektor yang secara politik amat sensitif di negara maju. Kebuntuan KTM WTO di Geneva membuktikan para pemimpin negara maju enggan mengorbankan kepentingan konstituen politik domestiknya dibandingkan memenuhi ”Janji Doha”, yang menjanjikan dukungan pembangunan bagi negara berkembang.

Dalam konteks Indonesia, tekanan IMF menyebabkan tarif bea masuk produk pertanian sangat rendah dibandingkan negara-negara berkembang lain. Tarif impor beras yang sekitar 30 persen, misalnya, lebih rendah daripada ketentuan yang dibolehkan oleh WTO sendiri.

Maka, agak absurd menyaksikan positioning Indonesia dalam WTO yang, sebagai ketua G-33, memperjuangkan perlindungan bagi sektor pertanian di negara-negara berkembang, sementara petani di Indonesia sendiri dipaksa hidup tanpa proteksi memadai.

Penting bagi Indonesia untuk menyadari, perdagangan bebas hanya instrumen kebijakan yang harus dipilih dengan penuh kesadaran akan manfaat dan mudaratnya. Ia bukan tujuan pembangunan itu sendiri. Tanpa implementasi program pembangunan yang mampu memperkuat daya saing ekonomi bangsa, keterlibatan dalam negosiasi perdagangan bebas hanya kelatahan di atas basis struktural yang rapuh

No comments: