Friday, July 24, 2009

TANTANGAN KEPEMIMPINAN BISNIS INDONESIA MASA DEPAN

Oleh : Indarto (staf pengajar FE USM)

Pendahuluan
Dinamika Lingkungan Bisnis dan Kepemimpinan

Dinamika lingkungan bisnis, perubahan-perubahan yang mengalir dengan cepat, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, transportasi serta teknologi di bidang manufaktur telah membawa organisasi bisnis menuju dunia global. Dalam era global dunia menjadi tanpa batas (unborderless) mobilitas sumberdaya menjadi semakin cepat, informasi menjadi instan, organisasi dihadapkan pada berbagai peluang dan sekaligus tantangan yang semakin kompleks. Pada kondisi ini aturan main dalam bisnis juga mengalami revolusi yang sangat cepat. Perubahan telah memunculkan ”the new rule of the game” dan organisasi bisnis dituntut untuk dapat bertindak cepat dan fleksibel demi eksistensi dan perkembangannya dimasa yang akan datang.
Perubahan lingkungan berimplikasi pada perubahan strategi organisasi. Selama ini organasisasi bisnis bersaing dengan basis produk dan pasar, artinya kepemimpinan produk dan pasar menjadi penentu keunggulan organisasi. Kondisi ini kemudian berubah, dimana dalam upaya untuk menciptakan keunggulan bersaing organisasi fokus pada persaingan dengan basis sumberdaya dan kompetensi. Perkembangan kedepan organisasi dituntut untuk dapat bersaing dengan basis talenta dan impian (talent and dream). Singkatnya organisasi harus selalu harmoni dengan perubahan (In harmony with change), dan berpandangan jauh kedepan sehingga tidak selalu tertinggal dengan perubahan,sebaliknya akan menjadi pemimpin perubahan itu sendiri.
Kapabilitas organisasi untuk beradaptasi dengan dinamika lingkungan dan kapabilitas untuk berubah dan berkembang, akan sangat ditentukan oleh agen perubahan yang ada dalam organisasi. Dalam kondisi ini diperlukan kehadiran seorang pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan, kepemimpinan yang memiliki sense of change yang tinggi, pemimpin yang sadar akan posisinya ditengah-tengah lingkungan yang terus berubah. Pemimpin yang tidak hanya menjadi agen perubahan tetapi sekaligus memimpin perubahan itu sendiri. Kepemimpinan strategis yang memiliki sense of businness yang tinggi, mampu bertindak proaktif, kreatif dan inovatif. Kepemimpinan yang mampu menciptakan kondisi yang dapat menumbuhkan motivasi seluruh elemen organisasi untuk terus belejar dan berkembang.

Tantangan perubahan lingkungan tidak terkecuali juga dihadapi oleh dunia bisnis di Indonesia. Munculnya perusahaan-perusahaan berskala internanasional, munculnya organisasi-organisasi perdagangan dunia seperti pasar bersama Eropa, AFTA dan bahkan organisasi perdangan dunia (WTO) merupakan fakta konkrit yang harus dihadapi. Disamping itu berkembangnya e-bussinnes dan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (Knowledge based Economi) adalah peluang dan sekaligus tantangan yang harus diantisipasi kedepan.

Menghadapi realitas diatas, kepemimpinan bisnis di Indonesia juga dihadapkan pada tantangan-tantangan yang sama. Kepemimpinan harus dapat mendesain tata kelola organisasi yang baru untuk dapat memuaskan seluruh stakeholdernya. Realitas keberagaman dalam berbagai bidang seperti konsumen, persaingan, negara (country), mata uang (currency) dan bahkan budaya (Culture), menuntut kapabilitas pemimpin yang dapat berpikir lintas budaya, lintas fungsi, lintas kapabilitas, lintas bahasa dan sebagainya demi kesuksesan organisasi. Pada saat yang sama pemimpin juga diharapkan dapat berpikir keluar dari tata nilai dan budaya organisasi yang memang sudah tidak relevan. Sebaliknya pemimpin harus berani berfikir beda untuk menciptakan peluang dan mewujudkan mimpi organisasi.

Menarik untuk dicermati bahwa, hampir setiap aspek kerja dipengaruhi oleh, dan tergantung pada kepemimpinan (Overton, 2002). Artinya, kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan sebuah organisasi dalam membangun kapabilitas dan kompetensinya untuk memenangkan persaingan secara berkelanjutan (sustainable competitive advantage). Oleh karena itu tema kepemimpinan merupakan topik yang selalu menarik untuk diperbincangkan dan tak pernah habis dibahas. Masalah kepemimpinan akan selalu hidup dan digali setiap masa, dari generasi ke generasi guna mencari formulasi sistem kepemimpinan yang aktual dan tepat untuk diterapkan pada masanya. Hal ini mengindikasikan bahwa paradigma kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat dinamis dan memiliki kompleksitas yang tinggi.

Evolusi Teori Kepemimpinan

Trait theory
Teori kepemimpinan telah dikenal sejak tahun 1940-an yang dikenal dengan The Trait Theory sampai pemikiran Bolman dan Deal (2001) tentang Leading with Soul: an uncommon journey of the spirit. The Trait Theory atau Teori Pembawaan berkembang dengan memusatkan pada karakteristik pribadi seorang pemimpin. Teori ini menjadi dasar dari banyak penelitian tentang kepemimpinan, mencatat bakat-bakat pembawaan yang meyakinkan sebagai ciri-ciri pemimpin. Daftar ini makin lama makin panjang, meliputi segala macam faktor fisik, kepribadian dan pengertian termasuk tinggi badan, kecerdasan dan ketrampilan berkomunikasi. Tetapi pada akhirnya tidak banyak ciri konklusif yang membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. Berikut ini berbagai karakteriktik pemimpin ideal yang disarikan dari berbagai literatur :
Tabel 1
Berbagai Karakteristik Pemimpin ideal
No Karakteristik No Karakteristik
1 Jujur 11 Bisa diandalkan
2 Kompeten 12 Berani
3 Berpandangan jauh 13 Memperhatikan orang lain
4 Bisa memberi inspirasi 14 Kooperatif
5 Cerdas 15 Matang
6 Adil 16 Berambisi
7 Berpandangan luas 17 Tegas
8 Terus terang 18 Mengusai diri
9 Berdaya imajinasi 19 Setia
10 mendukung 20 Independen
Sumber : disarikan dari berbagai literatur.

Behavior theory
Dengan surutnya minat pada Teori Pembawaan, para peneliti kemudian lebih memusatkan perhatinnya pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin daripada memperhatikan atribut yang melekat pada diri pemimpin itu, yang kemudian membuka jalan bagi timbulnya teori-teori perilaku seperti Managerial Grid dari Robert Blake dan Jane Mouton. Dengan Managerial Grid mereka mencoba menjelaskan bahwa ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik, dengan berbagai kombinasi dua faktor mengenai dua hal, yaitu produksi dan orang. Dari penelitian ini ditentukan 5 macam gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa gaya manajemen tim sebagai yang terbaik.

Situational Theory
Karena kecewa dengan teori tersebut, timbullah pendekatan Situational Theory dari Hersey dan Blanchard yang mengatakan bahwa pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbeda-beda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapinya. Pendekatan situasional yang dominan pada tahun 1950-an mengatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin kelompok tidak berkaitan dengan kepribadiannya, melainkan sangat berkaitan dengan berbagai faktor seperti rentetan kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan yang mengelilingi kelompok itu. Dengan kata lain, seorang pemimpin adalah seseorang yang berada di suatu tempat yang tepat pada waktu yang tepat.Tetapi teori ini pun tidak menjawab pertanyaan mengapa seorang anggota kelompok muncul sebagai pemimpin sementara yang lain tidak, atau mengapa seorang pemimpin terbukti lebih baik dalam beberapa situasi dan kurang berhasil pada situasi yang lain.

Interactional Theory
Teori yang muncul kemudian berusaha menjelaskan anomali yang terjadi itu. Pendekatan interaksionis (Interactional Theory) menyatakan bahwa ciri-ciri individual dan situasi tempat kelompok berada, kedua-duanya menentukan siapa yang menjadi pemimpin. Akibat teori ini kemudian timbul pandangan yang menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin itu terlahir (born) dan terbentuk (made), karena pemimpin itu memerlukan kemampuan dan ketrampilan tertentu, tetapi bila situasi dan kebutuhan kelompok berubah, demikian pula orang yang diterima sebagai pemimpin juga berubah.

Contingency theory
Dari teori interaksionis ini kemudian berkembang teori kontingensi (contingency theory) dari Fidler. Teori ini menghubungkan efektivitas seorang pemimpin dengan aspek-aspek situasi tempat kelompok itu bekerja, sehingga faktor-faktor tertentu seperti struktur tugas, hubungan personal antara pemimpin dengan kelompok serta basis/dasar kekuasaan saling berinteraksi menentukan gaya kepemimpinan mana yang efektif bagi situasi itu. Dengan kata lain, apakah gaya yang berorientasikan tugas (task-oriented) atau yang berorientasi kelompok (group oriented).Dari hasil penelitian, Fiedler menyimpulkan bahwa pendekatan yang beroreintasikan tugas lebih eektif bila kondisi kelompok sangat menguntungkan (pemimpin baik/hubungan kelompok baik, posisi pemimpin kuat, dan struktur buruk/relasi kelompok buruk , posisi pemimpin lemah dan tugas yang tidak jelas). Kepemimpinan yang berorientasi kelompok lebih disukai/baik bila kondisi relatif stabil, yang dengan demikian perhatian dapat dicurahkan pada preservasi relasi kelompok, upaya pencegahan konflik, dan pekerjaan yang tidak efisien yang kemudian dapat membuat keadaan kelompok menjadi tidak harmonis.

Path- Goal Theory
Robert Haouse mengemukakan Path- Goal Theory yang menjelaskan bahwa efektivitas seorang pemimpin didasarkan atas kemampuannya di dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi para anggota kelompok, dengan menggunakan rancangan insentif untuk penghargaan dan hukuman bagi mereka yang berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang pemimpin diwajibkan untuk menggunakan perilaku kepemimpinan yang berbeda sesuai dengan tuntutan situasi. Perilaku pemimpin akan diterima oleh anggota kelompok sejauh mereka menganggap itu sebagai sumber kepuasan langsng atau kepuasan pada masa yang akan datang.

Normative Theory
Berbeda tetapi berhubungan dengan path goal theory adalah teori kepemimpinan Vroom dan Yetton yang disebut Teori Normatif (Normative Theory), yang berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan, meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok.
Teori-teori kepemimpinan yang berkembang kemudian masih cukup banyak, tetapi disini hanya akan dikemukakan dua teori yang cukup menarik perhatian para pengamat dan praktisi pengembangan sosial.
1. Teori kepemimpinan karismatik (Charismatic Leadership)
Pengikut memberikan atribut-atribut heroik atau kepemimpinan yang luar biasa bila mereka mengamati perilaku-perilaku para pemimpin itu. Pemimpin-pemimpin karismatik menampilkan ciri-ciri sebagai berikut:
a. memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas
b. mengkomunikasikan visi itu dengan efektif
c. mendemonstrasikan konsistensi dan fokus
d. mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.
e. bertindak berdasakan krisis (crisis based)
f. berani mengambil risiko
g. membuat perubahan, dipersepsikan sebagai agen perubahan yang radikal

2. Teori Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership). Pemimpin-pemimpin transaksional membimbing atau memotivasi pengikutnya ke arah tujuan yang telah ditentukan dengan cara menjelaskan ketentuan-ketentuan tentang peran dan tugas. Pemimpin-pemimpin transformasional memberikan pertimbangan yang bersifat individual, stimulasi intelektual, dan memiliki kharisma. Kepemimpinan transformasional dibangun/berkembang dari kepemimpinan transaksional. Berikut beberapa perbedaan karakteristik kepemimpinan transaksional dan trasformasional:
Tabel 2
Perbedaan Antara Kepemimpinan Transaksional dan Tranformasional
No Kepemimpinan Transaksional No Kepemimpinan Transformasional
1 Bekerja dalam situasi 1 Mengubah situasi
2 Menerima keterbatasan 2 Mengubah apa yang biasa dilakukan
3 Patuh pada peraturan dan nilai organisasinya 3 Berbicara tentang tujuan luhur
4 Timbal balik dan tawar- menawar 4 Memiliki acuan nilai kebebasan, keadilan dan kesamaan
Sumber: Tjiharjadi,dkk (2007)

Berdasarkan karakteristik kepemimpinan transaksional dan transformsional , dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasinal lebih sesuai diterapkan pada lingkungan yang dinamis yang ditandai oleh perubahan-perubahan yang sangat cepat. Menurut Chandra (2004) yang dikutip dari Tjiharjadi,dkk (2007) terdapat beberapa karakteristik kepemimpinan transformasional yang tampak pada semua pemimpin terkenal, yakni sebagai berikut :
• Inspiring : memunculkan kegairahan
• Stimulating: memunculkan minat terhadap hal baru
• Coacing : memberikan bimbingan satu per satu
• Team bulding : bekerja melalui kelompok kerja

Kepemimpinan yang melayani (servant leadership)
Dapat dikemukakan disini bahwa bila seseorang menaruh respek pada seorang pemimpin, dia tidak berpikir tentang atribut-atributnya. Dia mengamati apa yang diperbuatnya sehingga dia mampu mengetahui siapa sebenarnya pemimpin itu. Observasi tersebut digunakan untuk memastikan apakah dia pemimpin yang patut dihormati dan dipercaya, ataukah dia orang yang mementingkan diri sendiri yang menyalahgunakan otoritasnya agar kelihatan baik dan menguntungkan dirinya. Pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri tidak akan efektif karena anggotanya hanya akan tunduk kepadanya tetapi tidak akan mengikuti dia.
Dasar kepemimpinan yang baik adalah karakter yang baik dan pelayanan tanpa pamrih kepada organisasi. Di mata para anggotanya, kepemimpinan adalah segala hal yang dilakukan pemimpin yang membuat tujuan organisasi tercapai dan kemudian membawa kesejahteraan bagi para anggota. Seorang pemimpin yang baik memusatkan diri pada apakah dia (keyakinan atau karakter), apa yang diketahuinya (pekerjaan, tugas, sifat manusia) dan apa yang dilakukannya (melaksanakan, memotivasi, memberi arah). Spears dalam Tjiharjadi (2007) mengemukakan indikator-indikator kehadiran pemimpin yang melayani sebagai berikut :
 Kesediaan untuk menyimak
 Kuat dalam empati
 Melakukan pemulihan-pemulihan
 Penyadaran/peningkatan kesadaran
 Memiliki sikap persuasif
 Mampu membuat konsep
 Mampu membuat perkiraan yang tepat
 Penatalayanannya baik
 Memiliki komitmen untuk menghasilkan proses pembelajaran
 Serius dalam upaya pembentukan dan pengembangan komunitas.

Motivasi dan Kepemimpinan
Motivasi memberikan daya untuk maju lebih jauh lagi. Tanpa motivasi apapun, apa yang dikerjakan hanyalah menjadi beban. Seorang pemimpin yang tidak memiliki motivasi positif dalam dirinya hanya akan melemahkan pengikutnya. Pemimpin yang baik akan menunjukkan motivasi dalam semangat kerja dan komitmen pada tujuan. Bekerja dengan penuh semangat akan menginspirasi orang lain, meningkatkan energi kreatifitas dan daya tahan.
Kualitas kepemimpinan dan motivasi sangat mempengaruhi manajemen bisnis maupun karyawan. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam kelompok. Menjadi pemimpin yang baik memerlukan pemahaman apa yang dapat memotivasi orang lain. Pemimpin akan mempengaruhi sesuatu untuk berlanjut atau menciptakan perubahan. Juga cara memilih orang dengan keahlian tertentu untuk mengerjakan tugas. Dalam rangka menjadi pemimpin, adalah penting untuk mengetahui apa yang memotivasi karyawan di sekitarnya. Seorang pemimpin harus dapat menemukan kebutuhan fundamental dari karyawan , rekan sekerja dan atasan.
Setiap orang memiliki kebutuhan pendapatan dan kepentingan dasar . Selain itu, mereka memiliki kebutuhan untuk hubungan dan persahabatan sosial. Kategori kebutuhan manusia yang lain adalah untuk berkembang dan tantangan. Seorang pekerja yang tertarik dengan sebuah pekerjaan karena pendapatannya yang tinggi, mungkin akan mencari pekerjaan yang tidak memuaskan jika mereka tidak menemukan persahabatan dan berhubungan dengan orang lain di pekerjaan tersebut. Jauh lebih mudah untuk memimpin dan memotivasi jika mampu memahami kebutuhan yang tak dapat disangkal.
Kepemimpinan lahir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang terlahir sebagi individu yang memiliki ketergantungan sosial (zoon politicon) yang sangat tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhannya (homo sapiens). Abraham Maslow mengidentifikasi adanya 5 tingkat kebutuhan manusia, yaitu:
1. kebutuhan biologis
2. kebutuhan akan rasa aman
3. kebutuhan untuk diterima dan dihormati oleh orang lain
4. kebutuhan untuk memiliki citra yang baik
5. kebutuhan untuk menunjukkan prestasi yang baik
Motivasi adalah perpaduan antara keinginan dan energi untuk mencapai tujuan tertentu. Mempengaruhi motivasi seseorang berarti membuat orang tersebut melakukan apa yang kita inginkan. Karena fungsi utama dari kepemimpinan adalah untuk memimpin, maka kemampuan untuk mempengaruhi orang adalah hal yang penting.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kelompok (teamwork) dalam bekerja dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Tujuan
Visi, misi dan tujuan yang jelas akan membantu team dalam bekerja. Namun hal tersebut belum cukup jika visi, misi dan tujuan yang ditetapkan tidak sejalan dengan kebutuhan dan tujuan para anggota.

2. Tantangan
Manusia dikarunai mekanisme pertahanan diri yang disebut ”fight atau flight syndrome”. Ketika dihadapkan pada suatu tantangan, secara naluri manusia akan melakukan suatu tindakan untuk mengahdapi tantangan tersebut (fight) atau menghindar (flight). Dalam banyak kasus tantangan yang ada merupakan suatu rangsangan untuk mencapai kesuksesan. Denga kata lain tantangan tersebut justru merupakan motivator.
Sebuah tim tidak selamanya akan menghadapi suatu tantangan. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya memberikan suatu tugas atau pekerjaan yang menantang interval. Salah satu kriteria yang dapat dipakai sebagai acuan apakah suatu tugas memiliki tantangan adalah tingkat kesulitan dari tugas tersebut. Jika terlalu sulit, mungkin dapat dianggap sebagai hal yang mustahil dilaksanakan, maka tim bisa saja menyerah sebelum mulai mengerjakannya karena dianggap tidak akan menimbulkan kebanggaan bagi yang melakukannya.

3. Keakraban
Tim yang sukses biasanya ditandai dengan sikap keakraban satu sama lain, setia kawan, dan merasa senasib sepenanggungan. Para anggota tim saling menyukai dan berusaha keras untuk mengembangkan dan memlihara hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal menjadi sangat penting karena hal ini akan merupakan dasar terciptanya keterbukaan dan komunikasi langsung serta dukungan antara sesama anggota tim.

4. Tanggungjawab
Secara umum, setiap orang akan terstimulasi ketika dieri suatu tanggungjawab. Tanggung jawab mengimplikasikan adanya suatu otoritas untuk membuat perubahan atau mengambil suatu keputusan. Tim yang diberi tanggungjawab dan otoritas yang proporsional cenderung akan memiliki motivasi kerja yang tinggi.

5. Kesempatan untuk maju
Setiap orang akan melakukan banyak cara untuk dapat mengembangkan diri, mempelajari konsep dan ketrampilan baru, serta melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Jika dalam sebuah tim setiap anggota merasa bahwa tim tersebut dapat memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan hal-hal tersebut di atas maka akan tercipta motivasi dan komitmen yang tinggi. Hal ini penting mengingat bahwa perkembangan pribadi memberikan nilai tambah bagi individu dalam meningkatkan harga diri.

6. Kepemimpinan
Tidak dapat dipungkiri bahwa leadership merupakan faktor yang berperan penting dalam mendapatkan komitmen dari anggota tim. Leader berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tim untuk bekerja dengan tenang dan harmonis. Seorang leader yang baik juga dapat memahami 6 faktor yang dapat menimbulkan motivasi seperti yang disebutkan di atas.

Pemimpin Yang Memberdayakan
Banyak para pemimpin cenderung ramah, berani, tinggi, disukai, pandai bicara dan beorientasi tugas. Tetapi tidak berarti semua kualitas tersebut benar. Pada kenyataannya, pemimpin-pemimpin yang sukses seperti Napoleon berpostur pendek, sedangkan Abraham Lincoln bersifat tertutup. Kesuksesan pemimpin-pemimpin tersebut lebih disebabkan oleh kemampuannya memberdayakan orang lain. Menurut John C. Maxwell (2001), pemimpin yang mampu menguatkan orang lain berarti pemimpin yang berada pada tahap keempat dari lima tingkat kepemimpinan. Dalam hal ini,pemimpin merasa bertanggung jawab untuk mengembangkan karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Adalah suatu kesalahan besar jika pemimpin dianggap sebagai satu-satunya orang yang bisa melakukan semua pekerjaan dengan sempurna. Oleh karena itu, pemimpin bertanggung jawab untuk mendelegasikan tugas kepada karyawan yang telah dilatih, memberi kesempatan untuk berkembang dengan penuh percaya diri, serta mendorongnya untuk memikul tanggung jawab yang telah diberikan.Covey (1992) menyatakan bahwa Manusia dikaruniai talenta, kecerdasan,kecerdikan dan kreativitas untuk menjadi pemberdaya. Pemimpin harus dapat melakukan penggalangan sejati terhadap suatu visi bersama dan bekerja dengan banyak orang. Pemimpin harus mampu menyatukan kumpulan ketrampilan dari sinergi keadaan pikiran (mindset) dari keadaan saling tergantung.
Bila pada masa lalu pemimpin diartikan sebagai seseorang yang memberi perintah namun kecenderungan yang terjadi sekarang dengan makin berkembangnya kesadaran akan demokrasi, pemimpin justru dituntut untuk memiliki gaya kolaboratif dan partisipatif . Farren dan Kaye memaparkan bahwa pemimpin masa depan harus mampu memainkan peran sebagai fasilitator, peramal, penasehat dan pemampu (enabler).

Tantangan Pemimpin Masa Depan
Globalisasi tdak hanya memberikan peluang yang lebih luas kepada pelaku bisnis Indonesia tetapi juga tantangan yang semakin berat. Pemimpin bisnis Indonesia pada masa mendatang harus semakin siap dengan perubahan-perubahan yang semakin cepat sehingga mampu bertahan. Sudah menjadi kecenderungan global bahwa hanya perusahaan yang dikelola dengan baik dan transparanlah yang dicintai stakeholder dan diburu investor.Menurut Alex Trotman (dalam Sembel, 2007) , mantan CEO di sebuah perusahaan otomotif global, Ford Motor Company, pemimpin bisnis di masa datang ditantang untuk memiliki 3 kemampuan utama yaitu:
1) Multi-cultural.
Dulu, perusahaan yang ber- “warga negara” Amerika Serikat, akan memilih pemimpin dengan warga negara yang sama untuk bisnis yang dijalani di negara-negara lain. Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan lain yang berasal dari suatu negara tertentu. Perusahaan-perusahaan tersebut cenderung akan mengangkat puncak pimpinan dari negara asal untuk menjadi pemimpin bisnis yang mewakili perusahaan di negara lain. Hal ini tidak berlaku lagi di zaman bisnis tanpa batas wilayah. Di era yang sedang bergulir ini, yang diperlukan adalah pemimpin bisnis global dengan wawasan global. Asal-usul atau kewarganegaraan pemimpin tersebut bukan suatu prasyarat. Yang menjadi prasyarat adalah pengalaman multi-cultural. Karena ia akan memimpin perusahaan di berbagai negara dengan berbagai latar belakang budaya, paling tidak ia juga punya pengalaman dari berbagai budaya (minimum dua atau tiga), misalnya: pernah sekolah, tinggal, atau bertugas di dua negara atau lebih untuk beberapa waktu tertentu yang memungkinkannya untuk mengenal budaya setempat. Pengalaman multi-cultural akan membuat seseorang menjadi lebih terbuka wawasannya, sehingga bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan dan tindakan bisnis.

2) Multi-lingual.
Mempelajari sebuah bahasa berarti juga mempelajari budayanya. Inilah yang menyebabkan kemampuan berbahasa menjadi penting dalam bisnis (karena orang yang memahami suatu bahasa asing, dengan sendirinya akan memahami budaya yang terkait dengan bahasa tersebut). Jadi, selain pengalaman budaya, seorang pemimpin bisnis global juga perlu menguasai dua atau lebih bahasa internasional (misalnya: bahasa Inggris dan Prancis atau Jerman serta Mandarin). Ia juga perlu memiliki kemampuan berbahasa lokal tempat ia ditugaskan. Misalnya: Jika ditugaskan di Filipina, sebaiknya ia juga segera mempelajari bahasa Tagalog; jika ditugaskan di Cina, ia perlu berusaha memahami bahasa setempat. Dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk berkomunikasi dengan warga dunia (dengan bahasa dunia), dan warga lokal (dengan menggunakan bahasa lokal: Tagalog, Indonesia, Mandarin, ataupun Thai).

3) Multi-functional.
Yang dimaksud dengan multi-functional adalah pengalaman di beberapa bidang kerja (dua atau lebih), misalnya: keuangan dan pemasaran; keuangan dan operasional; teknik dan pemasaran. Dengan pengalaman multi-functional, seorang pemimpin bisnis global akan lebih mampu melihat suatu permasalahan, kegagalan, dan kesempatan secara lebih utuh, yaitu dari berbagai aspek, sehingga keputusan ataupun tindakan yang diambil pun menjadi lebih berkualitas dan bijaksana. Ia juga bisa lebih mengantispasi masalah dari berbagai aspek bisnis. Jadi, jika Anda ingin menjadi pemimpin bisnis global, pastikan bahwa Anda pernah menjalani tugas, atau memiliki pengalaman di lebih dari satu fungsi bisnis saja. Usahakan untuk mencicipi pengalaman kerja di beberapa fungsi bisnis (keuangan, pemasaran, operasional, ataupun sumber daya manusia) untuk memperkaya wawasan Anda.
Selain ketiga kemampuan utama di atas, seorang pemimpin bisnis kelas dunia, juga perlu dilengkapi dengan empat persyaratan utama berikut, yang merupakan senjata pamungkas untuk selalu tampil terdepan dalam setiap usaha yang ditekuni.

1) Passion.
Seorang yang pandai tanpa passion (semangat) tak akan ada artinya bagi perusahaan dibandingkan dengan seorang dengan kemampuan standar tetapi memiliki semangat sukses yang tinggi. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh orang yang memiliki semangat. Semangat tinggi untuk maju bisa memperbaiki berbagai kesalahan, mengubah kegagalan menjadi kemenangan, membantu dalam mengidentifikasi kesempatan dalam ancaman.
Jadi, penting untuk dipastikan bahwa seorang pemimpin harus memiliki semangat yang tinggi dalam bidang kerja yang ditekuni sekarang.

2) Team Player.
Akan jauh lebih mudah bagi seorang pemimpin untuk meraih sukses dengan dukungan banyak orang, daripada harus melakukannya sendirian. Untuk itu, ia perlu memupuk keterampilan sama dalam sebuah tim.Bagaimana caranya mendapat dukungan tim? Untuk mendapat dukungan banyak orang, terlebih dahulu, pemimpin perlu mendukung banyak orang (misalnya: anggota tim ataupun di luar tim) untuk sukses. Dengan demikian, emosi positif terhadap sang pemimpin bisa tumbuh. Jika emosi positif sudah tumbuh, dengan sendirinya rasa saling percaya juga akan tumbuh. Rasa saling percaya dan saling mendukung inilah yang merupakan modal utama dalam bekerja sama dengan anggota tim.

3)Values.
Visi dan misi mungkin saja berubah (bahkan perlu berubah) sejalan dengan bergulirnya waktu. Tujuan bisnis dan teknologi juga bisa berubah (bahkan harus berubah). Namun, ada satu hal yang tidak boleh berubah: values (nilai-nilai yang dianut). Jika nilai yang dipegang teguh adalah kemanusiaan, maka nilai inilah yang akan melandasi segala perubahan, keputusan, ataupun peraturan serta prosedur yang dijalani.
Seorang pemimpin rumah sakit yang menganut nilai kemanusiaan, akan senantiasa berusaha menjadikan layanan rumah sakitnya lebih “manusiawi”. Ia akan berusaha memberikan layanan kesehatan dengan kualitas layanan yang lebih baik, harga lebih terjangkau, penyelesaian pekerjaan yang lebih tepat waktu, teknologi yang lebih tepat.

4) Future Outlook.
Orang biasa akan berusaha memahami, meniru, lalu mengejar perubahan yang digulirkan pasar. Namun, seorang pemimpin perlu melampaui apa yang terjadi di pasar. Ia perlu memiliki kemampuan melihat ke masa depan, sehingga ia tidak perlu lelah mengejar kemajuan pasar.Sebaliknya, ia perlu selalu berada di depan pasar dengan mengantisipasi perubahan dan meggulirkan perubahan di pasar yang ditekuni. Ia tidak perlu takut akan ditiru, karena begitu orang lain atau perusahaan lain sibuk berusaha untuk menirunya, ia memastikan bahwa ia ataupun perusahaan yang dipimpinnya sudah berada beberapa langkah di depan pasar. Invent and reinvent the future perlu dijadikan motto pemimpin dunia internasional. Motto ini diterapkan oleh Andrew Carnegie dari Intel, perusahaan semi-conductor yang selalu berada beberapa langkah di depan pasar. Produk-produk yang sudah diikuti ataupun yang sedang dipelajari oleh para pemain lain, ditawarkan dengan harga rendah, sehingga sulit bagi perusahaan lain untuk bersaing. Sedangkan produk-produk generasi baru diluncurkan dengan harga premium (karena belum ada yang meniru). Untuk itu, Intel selalu memfokuskan riset dan pengembangan produknya pada produk masa depan.
Hasil survei membuktikan bahwa ternyata para pemimpin bisnis dunia yang sukses secara berkelanjutan memiliki beberapa persamaan penting. Adapun persamaan yang ditemukan adalah sebagai berikut:

1.Usia
Survei yang dilakukan John R Shoup Lanham (A Collective Biography of Twelve World-Class Leaders: A Study on Developing Exemplary Leaders) menunjukkan bahwa usia rata-rata dari para pemimpin bisnis (CEO) di 800 perusahaan dunia terkemuka yang menjadi objek penelitian adalah 56 tahun.
Usia tertua adalah 83 tahun (William Dillard, Dillard’s Inc) dan yang termuda adalah 33 tahun (Michael Dell, CEO dari Dell Computers). Jadi, ternyata usia muda ataupun tua bukan hambatan untuk memulai usaha ataupun menjadi pemimpin yang sukses.Siapa pun bisa sukses, asalkan memiliki ketekunan, kompetensi, dan kemauan yang kuat untuk sukses. Para CEO ini ternyata sebagaian besar berjuang dari bawah sampai akhirnya mencapai posisi puncak di perusahaan mereka. Mereka sudah banyak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang industri yang mereka tekuni.

2.Pendidikan
Hasil survei juga menunjukkan bahwa sekitar 52 persen dari CEO dari 800 perusahaan dunia memiliki gelar kesarjanaan. Hasil ini memperlihatkan bahwa faktor pendidikan masih merupakan hal yang penting sebagai faktor pendukung dalam pengambilan keputusan dan dalam membentuk cara berpikir sukses. Namun, gelar sarjana bukanlah jaminan meraih sukses.Cukup banyak juga dari mereka yang tidak memiliki gelar sarjana, namun mereka kebanyakan yakin bahwa pendidikan sangat penting dalam membentuk cara berpikir taktis dan kritis. Pendidikan ini tidak harus selalu dicapai melalui pendidikan formal di sekolah atau univeristas. Banyak cara untuk senantiasa belajar dan menajamkan cara berpikir kreatif dan kritis dari kehidupan sehari-hari, misalnya dengan meneladani orang-orang sukses yang kita kagumi di sekitar kita.

3.Teknologi
Satu dari lima CEO yang menjadi objek penelitian memiliki keyakinan tinggi bahwa teknologi merupakan sarana penting untuk mempertajam kemampuan perusahaan mereka untuk bersaing di dunia bisnis. Untuk itulah mereka senantiasa melakukan pengkinian terhadap teknologi di perusahaan mereka.
Lebih dari separuh dari CEO di 800 perusahaan terkemuka dunia tersebut juga memiliki kemampuan dan keterampilan menggunakan komputer. Mereka mengakui bahwa keterampilan mereka dalam memanfaatkan komputer cukup baik sampai baik sekali. Mereka menggunakan teknologi dalam kehidupan mereka sehari-hari dan di kantor mereka juga memiliki perhatian dan minat yang tinggi dalam hal teknologi dan senantiasa memantau perkembangan teknologi dalam bisnis dan kehidupan mereka.

4.Optimisme
Dari hasil polling pendapat, ternyata hanya lima persen CEO yang pesimistis dalam menghadapi masa depan. Sebagian besar memiliki optimisme yang tinggi dalam menghadapi masa depan. Optimisme inilah yang mendorong mereka untuk selalu positif dalam mempersiapkan diri dan perusahaan menghadapi tantangan masa depan. Sikap optimisme ini merupakan faktor yang positif yang mendorong mereka untuk selalu berpikir kreatif dan inovatif. Cara berpikir positif seperti inilah yang banyak sekali membantu mereka untuk melakukan pembelajaran yang berkesinambungan. Proses pembelajaran ini merupakan proses yang kritis dalam mendorong para pemimpin bisnis untuk menelorkan ide-ide yang segar guna memperbaharui dan memperbaiki kinerja karyawan dan perusahaan.

5.Dukungan
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di balik sebuah kesuksesan yang diraih terdapat sekelompok orang yang menjadi pendukung para CEO tersebut: keluarga, kerabat, teman, dan karyawan. Untuk menggalang dukungan ini, para pemimpin bisnis juga harus berinvestasi dalam membina hubungan baik dengan banyak orang.Para karyawan dan orang-orang sekitar para pemimpin bisnis umumnya mengakui bahwa pemimpin mereka memiliki kualitas yang patut diteladani (exemplary quality) dan kompetensi yang tidak lagi diragukan di bidang yang mereka tekuni. Selain itu, mereka juga memiliki perhatian yang tinggi terhadap orang-orang di sekitar mereka.
Para pemimpin bisnis ini tidak memperlakukan karyawan seperti ”bawahan” melainkan lebih seperti mitra bisnis yang patut dihormati dan dihargai pendapatnya. Tindakan seperti ini akhirnya membuat orang-orang di sekitar para pemimpin bisnis merasa dihargai dan dihormati. Perasaan dihargai dan dihormati mendorong orang-orang sekitar mereka juga memberikan rasa hormat dan dukungan penuh mereka bagi para pemimpin bisnis tersebut.Jadi, jelaslah bahwa keterampilan membina hubungan baik merupakan keterampilan yang penting dimiliki jika ingin meraih sukses, karena sukses perlu mendapat dukungan banyak orang.

Pemimpin Masa Depan Dan Tanggung Jawab Sosial
Pemimpin bisnis masa depan Indonesia seharusnya tidak hanya memupuk pengalaman kerja yang kaya dalam budaya, bahasa, dan fungsi bisnis. Pemimpin juga perlu memiliki persyaratan utama berupa semangat, kemampuan bekerja dalam tim, nilai-nilai yang tak lengkang oleh waktu dan usia, serta kemampuan untuk melihat ke depan bukan mengejar ketinggalan saat ini. Pemimpin bisnis masa depan bukan saja harus memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni namun juga harus mampu membawa perusahaan untuk lebih beretika, fokus pada tujuan jangka panjang dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pemimpin masa depan harus menyukai tekanan sosial yang hadir dalam perusahaan termasuk intervensi dari pemerintah. Bila tidak menyukainya maka pemimpin akan disudutkan dalam kondisi bertahan dan itu dianggap tidak sehat untuk iklim bisnis ke depannya. Di sinilah dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang mampu mengembangkan kerangka kerja dan metodologi yang efektif sehingga meminimalisasi tekanan sosial tersebut. Dewasa ini, perusahaan bukan saja dihadapi oleh tekanan-tekanan teknis semata. Tekanan non-teknis dianggap juga memiliki pengaruh besar bagi keberlanjutan bisnis di masa yang akan datang. Beberapa contoh hadirnya tekanan sosial kepada perusahaan sebagai akibat sering “abainya” perusahaan dalam menyikapi aspek non-teknis adalah :

1. Perusahaan tidak pernah memahami dampak dari kegiatan operasinya. Padahal dalam kegiatan operasinya, sekalipun dalam skala kecil dampak dari kegiatan ini tetap saja akan timbul. Masalah ini sering muncul terutama bagi perusahaan di bidang ekstraktif. Contohnya seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan HPH yang masih banyak menggunakan teknik tebang bakar dalam membuka lahannya yang mengakibatkan munculnya kebakaran hutan. Akibatnya bukan saja asap yang membumbung, yang mengakibatkan penyakit ISPA bagi masyarakat sekitar, namun kebakaran hutan yang merusak ekosistem hutan secara keseluruhan .

2. Perusahaan jarang melakukan konsultasi publik dengan pemangku kepentingannya. Akibatnya, ketika sebuah kejadian yang berdampak kepada pemangku kepentingan timbul, sikap saling bemusuhan pun hadir. Padahal, melakukan sebuah konsultasi publik sebetulnya merupakan syarat wajib bagi perusahaan untuk mendapatkan social license to operate dari para pemangku kepentingannya. Ijin sosial ini penting untuk menjaga keberlanjutan kinerja perusahaan untuk masa mendatang dan menjamin keuntungan finansial setiap tahunnya. Bisa disimak bagaimana kasus Lumpur Lapindo Brantas yang tidak tuntas hingga detik ini, karena perusahaan tampaknya sama sekali tidak pernah melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingannya. Akibatnya, apa yang hendak dibuat perusahaan selalu salah di mata masyarakat dan selalu menimbulkan kecurigaan.

3. Pendekatan represif yang masih didemonstrasikan oleh segelintir perusahaan—biasanya dibantu oleh aparat justru menimbulkan sikap bermusuhan dari pemangku kepentinganya. Pemimpin perusahaan sering menganggap remeh dalam menyikapi hubungan perusahaan dengan pemangku kepentingan. Akibatnya, kesalahan yang dibuat perusahaan dalam mengelola hubungan berdampak buruk bagi kegiatan operasi maupun kinerja finansial perusahaan. Tekanan sosial yang hadir terbukti mampu membuat perusahaan mengalami kerugian finansial, sulitnya mendapatkan pinjaman modal dari pihak ketiga, hingga ancaman boikot jangka panjang terhadap produk yang dikeluarkannya. Sekali lagi, masalah Lapindo Brantas adalah contoh konkrit. Dijual dengan nilai seratus rupiahpun, mungkin tidak ada pihak yang ingin membeli karena buruknya kinerja mereka. Dampak lainnya akibat lumpur yang tidak kunjung berhenti, kompensasi yang harus dibayarkan hingga mencapai triliunan rupiah berpotensi menguras kas perusahaan. Dalam hitung-hitungan normal, perusahaan ini dipastikan akan bangkrut dan tutup. Kondisi ini jelas memberikan implikasi logis bagi kegiatan bisnis pada masa yang akan datang. Kegiatan usaha yang hendak dijalankan harus benar-benar mencerminkan upaya sungguh-sungguh yang mutlak dilakukan untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dari kegiatan operasi perusahaan untuk tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan perusahaan. Sudah banyak contoh perusahaan yang “tersandung” akibat tekanan nonteknis sebagai akibat tidak pekanya mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi di sekitar wilayah operasi perusahaan. Pemimpin perusahaan sebagai pihak tertinggi dalam proses pengambilan keputusan harus paham bahwa dalam mengambil keputusan, aspek non-teknislah juga harus dipertimbangkan masak-masak. Pemimpin perusahaan ketika hendak mulai melakukan kegiatan operasi perusahaan, harus bisa memastikan bahwa dampak negatif operasi perusahaan memang bisa ditekan seminimum mungkin, kalau bukan hilang sama sekali.

Pemimpin perusahaan yang baik dewasa ini, menurut Charan, memang harus memiliki kemampuan yang berlipat ganda. Layaknya seorang Superman, pemimpin perusahaan memang dituntut jeli, paham dan mampu mengatasi setiap permasalahan perusahaan secara bijaksana dalam waktu singkat. Pemimpin saat ini dituntut bak “dewa” yang mampu memberikan solusi tepat bukan saja dalam menghadapi masalah internal, namun juga masalah eksternal. Bukan lagi masalah manajerial internal semata yang harus diselesaikan, namun bagaimana pemimpin mampu membangun keseimbangan dengan para pemangku kepentingannya—internal maupun eksternal—sehingga dapat menjamin bahwa bisnis yang dijalaninya dapat terus berlanjut untuk mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Jelas, ini bukan pekerjaan mudah karena bekerja dengan pemangku kepentingan untuk mencapai keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan adalah sebuah keterampilan. Keterampilan ini bukan hanya didapat dengan cara membaca kumpulan teori atau kisah sukses yang kemudian dipraktikkan. Lebih daripada itu bagaimana pemimpin dapat selalu rajin untuk melihat kondisi nyata di lapangan karena akan banyak perbedaan yang timbul. Lebih lanjut, pemimpin juga hendaknya bisa memulai sebuah strategi bisnis yang lebih mendasari pada konsep-konsep ilmu pengetahuan, karena dengan dengan hal ini pemimpin punya acuan “pasti” bagaimana harus bertindak dan bergerak. Sudah bukan jamannya lagi, seorang pemimpin hanya mengandalkan intuisi bisnis semata. Apalagi, manajemen pemangku kepentingan adalah hal yang relatif baru. Karenanya, para pemimpin bisnis harus berupaya keras untuk mempelajarinya. Terkadang harus dengan membongkar kembali apa yang mereka percaya (proses unlearn) lalu mempelajari hal yang benar-benar bertentangan dengan itu (proses relearn). Lebih jauh dari pada itu, kemampuan manajerial “tradisional” pemimpin juga harus diimbangi dengan kemampuan “baru” untuk melakukan praktik tanggung jawab sosial perusahaan yang substansial. Dengan hal ini, jelas jaminan keberlanjutan bisnis perusahaan akan terus hadir di masa yang akan datang. Para pemimpin bisnis harus selalu ingat bahwa sukses perusahaan tidak lagi ditentukan dengan kinerja perusahaan dengan meningkatnya nilai saham perusahaan di lantai bursa atau meningkatkan pembagian deviden bagi para pemegang saham dalam jangka pendek. Saat ini, perusahaan dapat berhasil bila mampu menciptakan keseimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk mewujudkan kemitraan tiga pihak antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat dalam mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Hanya dengan cara demikian sajalah perusahaan akan meraih keuntungan dalam jangka panjang. Keberhasilan perusahaan untuk menjadi sustainable company ditentukan dari apakah ia bersedia untuk turut dalam arus sustainable development. Tekanan sosial yang mengarah ke sana harus disambut dengan hangat sebagai peluang perbaikan, bukan dihindari dengan represi atau tipuan.

Penutup


Realitas lingkungan menuntut kepemimpinan yang dapat mengelola keberagaman dalam berbagai aspek. Dibutuhkan mindset pemimpin yang holistik, sehingga mampu berfikir lintas budaya, lintas fungsi, lintas bahasa, lintas kapabilitas dan sebagainya untuk dapat menciptakan peluang dan keunggulan dari diversitas yang ada. Disamping itu perubahan yang cepat menuntut fleksibilitas dan kapabilitas dinamis yang tinggi, kondisi ini juga menuntut untuk mengubah paradigma kepemimpinan yang lebih memberdayakan seluruh kapabilitas yang ada ,kepemimpinan yang lebih demokratis dan partisipatif. Pemimpin masa depan harus berani keluar dari nilai-nilai dan budaya yang memang sudah tidak relevan lagi, untuk kemudian berpikir kreatif dan inovatif untuk menciptakan peluang organisasi. Kepemimpinan yang efektif adalah perbaduan antara talenta, ilmu pengetahuan dan ketrampilan serta lingkungan yang membentuknya.


Bennis dan Nanus (2006) menyatakan bahwa perhatian utama para pemimpin adalah membangun organisasi guna menjamin kelangsungan hidup dan kesuksesan jangka panjang. Pemimpin merupakan instrumen utama yang dimiliki oleh suatu organisasi untuk menyampaikan impiannya, menunjukkan ke arah keberhasilan mereka, dan membantu orang agar bisa bekerja sama secara efektif untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah. Oleh karena itu, bagi seorang pemimpin bisnis Indonesia masa depan sejati, membuat bukti adalah persyaratan, bukan sekedar visi atau tujuan. Artinya, pemimpin bisnis Indonesia di masa depan harus dapat membuktikan terciptanya keunggulan bisnis sekaligus bertanggung jawab terhadap lingkungan.


Friday, July 17, 2009

Rapuhnya Pilar Demokrasi

Oleh : AM. Fatwa

Era reformasi telah membuka peluang lahirnya banyak partai politik (parpol)–seperti terlihat sekarang ini–yang diharapkan dapat menjadi kekuatan untuk menegakkan demokrasi yang sehat. Kita mengetahui, parpol memiliki fungsi dan peran sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi rakyat sekaligus sebagai alat perjuangan rakyat untuk mencapai kemakmuran dalam keadilan.
Parpol merupakan pilar demokrasi yang juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat, penciptaan iklim yang baik, serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Parpol juga berperan sebagai sarana partisipasi politik dan rekrutmen politik.
Masalahnya, apakah parpol sudah kuat menopang demokrasi dengan melaksanakan fungsi, peran, dan memperjuangkan kepentingan rakyat? Tampaknya, fakta lebih menunjukkan bahwa sebagian besar parpol belum mampu melaksanakan fungsi dan peran itu. Kebanyakan parpol belum memperjuangkan kepentingan konstituen, tetapi lebih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok elite partai.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, muncul banyak slogan dan janji, serta bagi-bagi uang untuk membeli suara. Elite parpol tidak secara konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat. Rakyat ternyata hanya dijadikan objek untuk mencapai ambisi pribadi mereka.
Pendidikan politik itu penting bagi rakyat, khususnya dalam rangka membangun budaya politik dan demokrasi. Dengan demikian, rakyat memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pada akhirnya mereka tidak diombang-ambingkan oleh kehendak segelintir oportunis partai. Namun, itu juga tidak menjadi fokus perhatian dan jarang diprogramkan secara jelas oleh elite parpol. Proses pendidikan politik justru lebih banyak dilakukan oleh media massa sebagai pilar lain demokrasi, tentu melalui penyebaran informasi.
Fungsi dan peran parpol sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa juga terabaikan oleh elite parpol. Bahkan, jika terjadi konflik, elite parpol kurang terlihat melakukan upaya mencegah atau menyelesaikannya. Itu karena kebanyakan elite parpol lebih menunjukkan loyalitas sempit kepada partai, dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Fungsi dan peran parpol kini telah terdistorsi kepentingan sesaat: sekadar untuk mencapai kekuasaan demi keuntungan pribadi dan kelompok.
Fungsi dan peran parpol nyaris gagal dilakukan kader-kader parpol, karena–antara lain–rekrutmen kader yang tidak jelas kriterianya. Yang terjadi saat ini adalah praktik money politics dan like and dislike dalam menentukan kader yang akan diperjuangkan menduduki jabatan publik atau pejabat negara. Oleh karena itu, tidak aneh jika di era reformasi ini banyak elite politik dan pejabat negara melakukan pelanggaran pidana, di samping pelanggaran moral dan etika politik.

Sumber : Suara Karya


Demokrasi Prosedural dan Kekuatan Uang

Oleh : AM. Fatwa

SETELAH rezim birokratik otoritarian Orde Baru runtuh, demokrasi di Indonesia secara prosedural telah mengalami kemajuan sangat pesat. Pemilihan umum yang dilakukan secara periodik dan berkala dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan mekanisme yang memberikan jaminan terjadinya sirkulasi elite politik di negeri ini.

Pemilihan kepala daerah juga telah dilaksanakan secara langsung. Tak ada lagi individu yang dapat menduduki jabatan-jabatan politik karena ditunjuk. Dengan kata lain, perkembangan mekanisme demokrasi ini telah membuat kedaulatan rakyat untuk menentukan siapa wakil dan pemimpin mereka menjadi semakin besar. Idealnya, mekanisme demokrasi prosedural yang sudah menjadi lebih baik ini dapat menjadi alat untuk melahirkan para wakil dan pemimpin yang tidak hanya merupakan pilihan rakyat, tetapi juga memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai serta memiliki integritas dan komitmen untuk menciptakan perbaikan dan menyejahterakan rakyat.

Dari mekanisme ini, seharusnya lahir para pemimpin dan wakil yang benarbenar memahami persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya. Sebab, tugas utama pejabat publik (baca: pejabat politik) adalah menata dan menggerakkan struktur negara agar dapat memberikan manfaat untuk kehidupan rakyat.

Ternoda

Namun, demokrasi prosedural yang telah berlangsung saat ini telah terdistorsi. Kalau pada era Orde Baru mekanisme politik didistorsi oleh praktik nepotisme, mekanisme politik demokratik sekarang ini didistorsi oleh praktik politik uang. Telah menjadi rahasia umum bahwa proses-proses politik pada umumnya hampir selalu tak dapat dipisahkan dari wacana uang. Sekadar contoh, dana kampanye pasangan calon gubernur/wakil gubernur Fauzi Bowo- Prijato sebesar Rp46,8 miliar dan Adang Daradjatun-Dani Anwar sebesar Rp45,2 miliar. Ini adalah nominal yang dilaporkan.

Padahal, masih ada danadana lain selain dana kampanye yang sempat disebut dengan ”uang mahar” atau ”dana menyewa perahu”. Padahal ”uang mahar”untuk partai-partai besar menembus angka puluhan miliar rupiah. Jadi, bisa dikalkulasi berapa jumlah nominal yang harus dikeluarkan untuk menjadi pemimpin di level nasional, dalam konteks Indonesia yang memiliki 33 provinsi. Telah menjadi pandangan sebagian besar politisi, juga masyarakat umum, bahwa uang adalah modal paling utama dalam berpolitik.

Padahal,secara realistis tidak mungkin uang pribadi digunakan sebagai dana politik. Dapat dipastikan bahwa kekayaan yang dimiliki itu tidak akan berarti signifikan untuk membiayai keperluan secara keseluruhan sebuah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak yang karena itu tentu saja memerlukan jumlah dana yang sangat besar pula. Anggaran negaralah yang pasti akan digunakan. Karena itu, pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa seseorang yang hendak berpolitik seharusnya menjadi pengusaha dulu adalah pernyataan yang kurang tepat.

Yang dibutuhkan dalam berpolitik adalah wawasan, kompetensi, komitmen, dan integritas untuk mengelola struktur negara. Konteksnya adalah untuk mengalokasikan gagasan dan nilai-nilai guna memperbaiki kondisi kehidupan rakyat. Dalam merealisasikan gagasan dan nilai-nilai tersebut, tentu saja ada anggaran negara yang dialokasikan secara terencana. Sayangnya, yang sering terjadi kemudian adalah menggunakan anggaran negara tersebut, baik APBN atau APBD, seolah milik pribadi.

Inilah yang kemudian sering menyebabkan terjadinya konflik antara seorang gubernur/bupati/wali kota dengan wakilnya karena berebut anggaran yang hendak dialokasikan. Tujuan menguasai anggaran tersebut adalah agar dapat lebih leluasa dalam menyalurkan anggaran kepada daerahdaerah tertentu sehingga citranya di mata masyarakat tampak lebih baik dan jika hendak maju lagi dalam pemilihan umum berikutnya akan lebih mudah untuk menang.

Ketokohan Instan

Uang menjadi modal utama karena sebelumnya para kandidat yang hendak berkompetisi dalam pemilihan tidak dikenal kiprahnya secara signifikan dalam masyarakat. Aktivitas-aktivitas yang dijalani bukan aktivitas-aktivitas yang memiliki kaitan dan pengaruh luas dalam masyarakat, melainkan lebih berorientasi kepada (keuntungan) pribadi.

Karena itu, jika kemudian mereka berhasrat untuk mengikuti kompetisi politik, dibutuhkan cara-cara tertentu agar popularitas yang bersangkutan menjadi terdongkrak secara sangat cepat.Ketokohan instan menjadi pilihan karena tidak memerlukan tenaga, pikiran, dan pengorbanan yang besar serta waktu yang panjang. Selain itu, dalam suasana yang relatif normal tidak ada momentum besar yang dapat melambungkan nama seseorang menjadi tokoh yang dikenal luas karena perannya dalam perubahan. Popularitas yang dibangun dengan cara demikian sesungguhnya adalah popularitas semu. Biasanya cara instan yang diambil adalah dengan membagibagikan uang.

Cara lain yang biasanya ditempuh adalah menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Akibatnya, seseorang menjadi populer bukan karena kapasitas dan kompetensi untuk menjadi pejabat politik, tetapi karena sering disorot oleh media atau bahkan mengiklankan diri dan dibuat seolah-olah dia memiliki kapasitas dan kompetensi itu. Untuk melakukan semuanya, tentu butuh dana tidak kecil. Figur yang muncul karena rekayasa seperti ini tentu bukanlah figur yang kita butuhkan untuk menjadi pemimpin dan wakil yang akan diserahi amanat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berat yang dihadapi rakyat.Hampir bisa dipastikan bahwa politisi yang popularitasnya dihasilkan dengan cara yang dibuat-buat tidak akan mampu berperan secara optimal untuk membuat struktur negara bekerja untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat.

Disfungsi Partai

Keniscayaan uang dalam setiap proses politik juga menunjukkan bahwa partai politik belum bekerja dengan baik sebagai struktur yang mampu menjadi alat untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Struktur partai seharusnya menjalankan fungsi-fungsi partai sebagai alat untuk melakukan pendidikan dan sosialisasi politik. Dengan optimalisasi fungsi pendidikan dan sosialisasi politik yang baik,masyarakat akan dapat memiliki wawasan politik yang benar bahwa seseorang seharusnya dipilih menjadi pemimpin atau wakil bukan karena memiliki dan memberikan banyak uang, tetapi karena memiliki wawasan, kompetensi, dan komitmen sebagai wakil atau pemimpin,yakni dalam rangka mewujudkan perbaikan dan kesejahteraan rakyat.

Selain itu,keniscayaan uang juga menunjukkan bahwa partai politik belum berfungsi optimal dalam mempopulerkan kadernya yang hendak dijadikan sebagai wakil atau pemimpin. Secara teknis, ini terjadi karena lebih banyak partai politik yang belum memiliki struktur sampai ke bawah. Karena itu, struktur partai politik tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk memperkenalkan kader-kader yang potensial menjadi pemimpin di ka-langan masyarakat akar rumput.

Bahkan,kerap terjadi partai politik bertindak sangat pragmatis dengan hanya merekrut atau mendukung individu yang sudah populer untuk diajukan sebagai calon, walaupun popularitas itu bukan karena kemampuan, kompetensi, dan komitmen untuk mengelola struktur negara guna memperbaiki keadaan. Wallahu a’lam bissawab.

Sumber : Harian Sindo