Friday, July 17, 2009

Rapuhnya Pilar Demokrasi

Oleh : AM. Fatwa

Era reformasi telah membuka peluang lahirnya banyak partai politik (parpol)–seperti terlihat sekarang ini–yang diharapkan dapat menjadi kekuatan untuk menegakkan demokrasi yang sehat. Kita mengetahui, parpol memiliki fungsi dan peran sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi rakyat sekaligus sebagai alat perjuangan rakyat untuk mencapai kemakmuran dalam keadilan.
Parpol merupakan pilar demokrasi yang juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat, penciptaan iklim yang baik, serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Parpol juga berperan sebagai sarana partisipasi politik dan rekrutmen politik.
Masalahnya, apakah parpol sudah kuat menopang demokrasi dengan melaksanakan fungsi, peran, dan memperjuangkan kepentingan rakyat? Tampaknya, fakta lebih menunjukkan bahwa sebagian besar parpol belum mampu melaksanakan fungsi dan peran itu. Kebanyakan parpol belum memperjuangkan kepentingan konstituen, tetapi lebih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok elite partai.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, muncul banyak slogan dan janji, serta bagi-bagi uang untuk membeli suara. Elite parpol tidak secara konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat. Rakyat ternyata hanya dijadikan objek untuk mencapai ambisi pribadi mereka.
Pendidikan politik itu penting bagi rakyat, khususnya dalam rangka membangun budaya politik dan demokrasi. Dengan demikian, rakyat memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pada akhirnya mereka tidak diombang-ambingkan oleh kehendak segelintir oportunis partai. Namun, itu juga tidak menjadi fokus perhatian dan jarang diprogramkan secara jelas oleh elite parpol. Proses pendidikan politik justru lebih banyak dilakukan oleh media massa sebagai pilar lain demokrasi, tentu melalui penyebaran informasi.
Fungsi dan peran parpol sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa juga terabaikan oleh elite parpol. Bahkan, jika terjadi konflik, elite parpol kurang terlihat melakukan upaya mencegah atau menyelesaikannya. Itu karena kebanyakan elite parpol lebih menunjukkan loyalitas sempit kepada partai, dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Fungsi dan peran parpol kini telah terdistorsi kepentingan sesaat: sekadar untuk mencapai kekuasaan demi keuntungan pribadi dan kelompok.
Fungsi dan peran parpol nyaris gagal dilakukan kader-kader parpol, karena–antara lain–rekrutmen kader yang tidak jelas kriterianya. Yang terjadi saat ini adalah praktik money politics dan like and dislike dalam menentukan kader yang akan diperjuangkan menduduki jabatan publik atau pejabat negara. Oleh karena itu, tidak aneh jika di era reformasi ini banyak elite politik dan pejabat negara melakukan pelanggaran pidana, di samping pelanggaran moral dan etika politik.

Sumber : Suara Karya


No comments: