Oleh : AM. Fatwa
SETELAH rezim birokratik otoritarian Orde Baru runtuh, demokrasi di Indonesia secara prosedural telah mengalami kemajuan sangat pesat. Pemilihan umum yang dilakukan secara periodik dan berkala dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan mekanisme yang memberikan jaminan terjadinya sirkulasi elite politik di negeri ini.
Pemilihan kepala daerah juga telah dilaksanakan secara langsung. Tak ada lagi individu yang dapat menduduki jabatan-jabatan politik karena ditunjuk. Dengan kata lain, perkembangan mekanisme demokrasi ini telah membuat kedaulatan rakyat untuk menentukan siapa wakil dan pemimpin mereka menjadi semakin besar. Idealnya, mekanisme demokrasi prosedural yang sudah menjadi lebih baik ini dapat menjadi alat untuk melahirkan para wakil dan pemimpin yang tidak hanya merupakan pilihan rakyat, tetapi juga memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai serta memiliki integritas dan komitmen untuk menciptakan perbaikan dan menyejahterakan rakyat.
Dari mekanisme ini, seharusnya lahir para pemimpin dan wakil yang benarbenar memahami persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya. Sebab, tugas utama pejabat publik (baca: pejabat politik) adalah menata dan menggerakkan struktur negara agar dapat memberikan manfaat untuk kehidupan rakyat.
Ternoda
Namun, demokrasi prosedural yang telah berlangsung saat ini telah terdistorsi. Kalau pada era Orde Baru mekanisme politik didistorsi oleh praktik nepotisme, mekanisme politik demokratik sekarang ini didistorsi oleh praktik politik uang. Telah menjadi rahasia umum bahwa proses-proses politik pada umumnya hampir selalu tak dapat dipisahkan dari wacana uang. Sekadar contoh, dana kampanye pasangan calon gubernur/wakil gubernur Fauzi Bowo- Prijato sebesar Rp46,8 miliar dan Adang Daradjatun-Dani Anwar sebesar Rp45,2 miliar. Ini adalah nominal yang dilaporkan.
Padahal, masih ada danadana lain selain dana kampanye yang sempat disebut dengan ”uang mahar” atau ”dana menyewa perahu”. Padahal ”uang mahar”untuk partai-partai besar menembus angka puluhan miliar rupiah. Jadi, bisa dikalkulasi berapa jumlah nominal yang harus dikeluarkan untuk menjadi pemimpin di level nasional, dalam konteks Indonesia yang memiliki 33 provinsi. Telah menjadi pandangan sebagian besar politisi, juga masyarakat umum, bahwa uang adalah modal paling utama dalam berpolitik.
Padahal,secara realistis tidak mungkin uang pribadi digunakan sebagai dana politik. Dapat dipastikan bahwa kekayaan yang dimiliki itu tidak akan berarti signifikan untuk membiayai keperluan secara keseluruhan sebuah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak yang karena itu tentu saja memerlukan jumlah dana yang sangat besar pula. Anggaran negaralah yang pasti akan digunakan. Karena itu, pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa seseorang yang hendak berpolitik seharusnya menjadi pengusaha dulu adalah pernyataan yang kurang tepat.
Yang dibutuhkan dalam berpolitik adalah wawasan, kompetensi, komitmen, dan integritas untuk mengelola struktur negara. Konteksnya adalah untuk mengalokasikan gagasan dan nilai-nilai guna memperbaiki kondisi kehidupan rakyat. Dalam merealisasikan gagasan dan nilai-nilai tersebut, tentu saja ada anggaran negara yang dialokasikan secara terencana. Sayangnya, yang sering terjadi kemudian adalah menggunakan anggaran negara tersebut, baik APBN atau APBD, seolah milik pribadi.
Inilah yang kemudian sering menyebabkan terjadinya konflik antara seorang gubernur/bupati/wali kota dengan wakilnya karena berebut anggaran yang hendak dialokasikan. Tujuan menguasai anggaran tersebut adalah agar dapat lebih leluasa dalam menyalurkan anggaran kepada daerahdaerah tertentu sehingga citranya di mata masyarakat tampak lebih baik dan jika hendak maju lagi dalam pemilihan umum berikutnya akan lebih mudah untuk menang.
Ketokohan Instan
Uang menjadi modal utama karena sebelumnya para kandidat yang hendak berkompetisi dalam pemilihan tidak dikenal kiprahnya secara signifikan dalam masyarakat. Aktivitas-aktivitas yang dijalani bukan aktivitas-aktivitas yang memiliki kaitan dan pengaruh luas dalam masyarakat, melainkan lebih berorientasi kepada (keuntungan) pribadi.
Karena itu, jika kemudian mereka berhasrat untuk mengikuti kompetisi politik, dibutuhkan cara-cara tertentu agar popularitas yang bersangkutan menjadi terdongkrak secara sangat cepat.Ketokohan instan menjadi pilihan karena tidak memerlukan tenaga, pikiran, dan pengorbanan yang besar serta waktu yang panjang. Selain itu, dalam suasana yang relatif normal tidak ada momentum besar yang dapat melambungkan nama seseorang menjadi tokoh yang dikenal luas karena perannya dalam perubahan. Popularitas yang dibangun dengan cara demikian sesungguhnya adalah popularitas semu. Biasanya cara instan yang diambil adalah dengan membagibagikan uang.
Cara lain yang biasanya ditempuh adalah menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Akibatnya, seseorang menjadi populer bukan karena kapasitas dan kompetensi untuk menjadi pejabat politik, tetapi karena sering disorot oleh media atau bahkan mengiklankan diri dan dibuat seolah-olah dia memiliki kapasitas dan kompetensi itu. Untuk melakukan semuanya, tentu butuh dana tidak kecil. Figur yang muncul karena rekayasa seperti ini tentu bukanlah figur yang kita butuhkan untuk menjadi pemimpin dan wakil yang akan diserahi amanat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berat yang dihadapi rakyat.Hampir bisa dipastikan bahwa politisi yang popularitasnya dihasilkan dengan cara yang dibuat-buat tidak akan mampu berperan secara optimal untuk membuat struktur negara bekerja untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat.
Disfungsi Partai
Keniscayaan uang dalam setiap proses politik juga menunjukkan bahwa partai politik belum bekerja dengan baik sebagai struktur yang mampu menjadi alat untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Struktur partai seharusnya menjalankan fungsi-fungsi partai sebagai alat untuk melakukan pendidikan dan sosialisasi politik. Dengan optimalisasi fungsi pendidikan dan sosialisasi politik yang baik,masyarakat akan dapat memiliki wawasan politik yang benar bahwa seseorang seharusnya dipilih menjadi pemimpin atau wakil bukan karena memiliki dan memberikan banyak uang, tetapi karena memiliki wawasan, kompetensi, dan komitmen sebagai wakil atau pemimpin,yakni dalam rangka mewujudkan perbaikan dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu,keniscayaan uang juga menunjukkan bahwa partai politik belum berfungsi optimal dalam mempopulerkan kadernya yang hendak dijadikan sebagai wakil atau pemimpin. Secara teknis, ini terjadi karena lebih banyak partai politik yang belum memiliki struktur sampai ke bawah. Karena itu, struktur partai politik tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk memperkenalkan kader-kader yang potensial menjadi pemimpin di ka-langan masyarakat akar rumput.
Bahkan,kerap terjadi partai politik bertindak sangat pragmatis dengan hanya merekrut atau mendukung individu yang sudah populer untuk diajukan sebagai calon, walaupun popularitas itu bukan karena kemampuan, kompetensi, dan komitmen untuk mengelola struktur negara guna memperbaiki keadaan. Wallahu a’lam bissawab.
Sumber : Harian Sindo
No comments:
Post a Comment