Serang kini telah menjadi dua yaitu kabupaten Serang dan Kota Serang, keduanya memiliki akar sosial, kultur dan pranata politik yang sama. Kota Serang merupakan kota termuda di propinsi Banten, yang sekarang sedang berbenah, ibarat bayi yang baru lahir belum dapat melakukan kegiatan dan aktivitas sendiri, dari sisi ekonomi belum dapat menghasilkan sesuatu tapi masih tergantung kepada induknya, begitu juga Kota Serang masih menginduk kepada kota induknya yaitu Kabupaten Serang dan Propinsi Banten.
Dalam kondisi seperti ini seharusnya kota Serang di konsep secara benar dan dibidani dengan benar pula, membuat pola untuk sesuatu yang baru lahir lebih mudah dari pada yang sudah tua. Membentuk karakter dan sifat akan lebih mudah karena belum terlalu kompleksitas permasalahannya. Mualilah dari sekarang Kota serang di manage agar tubuh menjadi kuat dan sehat dalam pengelolaan pemerintahannya, mengelola sumber daya yang dimilikinya dan memperhatikan rakyatnya. Jangan racuni kota serang dengan asupan calon aparat yang kolusif, nopotis, dan korup yang hanya mementingkan sendiri tanpa memperhatikan masyarakat apalagi berfikir tentang kesejahteraannya.
Salah satu indikator kemajuan Kota Serang adalah dari siapa yang memimpinnya, bagaimana visi misinya, bagaimana kemampuan managerialnya, bagaimana karakternya, bagaimana kadar intelektualnya dan yang paling penting bagaimana akhlaknya, dan masih banyak sekali pertanyaan untuk kempimpinan walikota Serang.
Menyaksikan drama siapa pemimpin kota Serang, muncullah beragam macam manusia berlomba memasuki arena Pilkada, dari mulai utsad, artis, pejabat, politikus, pengusaha, pedagang, jawara, kiyai dan lain sebagainya. Sangat luar biasa maginit yang namanya kekuasaan siapapun tergoda dan tergiur untuk menggapainya, dengan segala cara, dengan segara strategi, dengan segala-galanya.
Akhir-akhir ini muncul fenomena artis memimpin, dicontohkan bang Doel dan Dede Yusuf, rupanya Kota Serang juga latah dan mengikuti kisah sukses artis menjadi pemimpin daerah, siap-siaplah politisi untuk berhadapan dengan figur artis yang memiliki populeritas sangat tinggi, hampir semua orang mengenal dan mengetahui sosok tersebut. Tidak perduli apakah memiliki kapasitas sebagai pemimpin atau tidak, suka atau tidak suka inilah pesta demokrasi siapapun memiliki hak memilih dan dipilih sebagai pemimpin.
Menurut orang bijak jika suatu masalah diserahkan bukan pada ahlinya tunggulah saat kehancuranya, dalam kaitannya dengan kesuksesan seorang pimpinan ada empat sifat umum yang dapat mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan, dan harus dimiliki oleh pemimpin yaitu :
a. Kecerdasan, Pemimpin harus memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan yang dipimpin. Dengan hal ini diharapkan pemimpin dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi dilingkungan kepemimpinannya. Untuk mengukur pemimpin dari segi kecerdasan, parameter sederhanya adalah tingkat pendidikan, pendidikan menjadi penting karena mencirikan meraka yang memiliki konsep atau tidak, bagaimana seorang pemimpin akan meningkatkan mutu pendidikan untuk masyarakatnya tapi pemimpinya tidak terdidik. Kecerdasan bagi seorang pemimpin itu adalah mutlak harus dimiliki.
b. Keluasan hubungan sosial, Pemimpin dalam hal ini cenderung lebih matang dan mempunyai emosi lebih stabil serta mempunyai perhatian yang luas pada aktivitas-aktivitas sosial. Pemimpin harus memilki sense of social yang tinggi, dalam arti keberpihakan terhadap masyarakat yang dipimpinnya, karena anggota masyarakat bukan hanya kalangan pengusaha dan potikus saja yang diperhatikan lebih, bukan hanya golongan dan partainya saja, tapi seganap masyarakat yang lain terlebih mereka yang lemah dan papa. Kemiskinan yang tinggi disebabkan pemimpin yang tidak memiliki sentuhan sosial yang tinggi.
c. Motivasi diri dan dorongan berprestasi, Pemimpin relatif memilki motovasi diri yang tinggi dalam mencapai prestasinya. Ini ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, prestasi tertinggi dari seorang pemimpin adalah menciptakan rasa aman, adil dan sejahtera bagi masyarakatnya. Untuk menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan tidak mudah, masyarakat sejahtera tapi tidak ada keadilan hukum, ekonomi, politik dan lain sebagainya mengakibatkan matinya demokrasi, atau sebaliknya masyarakat diberikan keadilan tapi sisi lain tidak sejahtera yang berdampak kemiskinan yang bekepenjangan.
d. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan, Pemimpin yang berhasil yang mengakui akan harga diri dan kehormatan masyarakatnya. Yang belum dimiliki oleh pemimpin kita adalah membela kehormatan dan hak-hak rakyatnya. Baik hak dasar seperti ketersedian pangan, sandang dan pendidikan, Ini terlihat dari ketidak pedulian pemimpin terhadap nasib orang miskin, harga-harga sembako yang begitu melonjak, banyak dari mereka tidak makan dalam beberapa hari, kaum ibu-ibu menjerit karena jatah gajian atau pengasilan keluarga tidak cukup.
Terakhir, Kota Serang adalah baru lahir dari pemekaran Kabupaten Serang, karena ini merupakan kota relatif baru, maka pondasi yang diperlukan adalah kepemimpinan yang kuat yang memiliki wawasan yang luas, karakter kuat untuk membangun kota ini, akhlaknya baik tidak memiliki cacat masa lalu. Kota Serang jangan dijadikan kota Dagelan oleh partai politik, menjagokan calon pimpinan hanya sekedar untuk meraup kekuasaan dengan jalan pintas, mengusulkan seorang pemimpin hanya modal tampang dan uang semata, maka siap-siaplah kehancuran kota ini oleh permainan kita. Kami mendambakan kota Serang yang adil, makmur dan sejahtera dengan landasan nilai-nilai Islam.
Penulis :
Nursoleh
Staf Pengajar STIE Al-Khairiyah Cilegon dan
Direktur Riset TSC (Pusat Studi Kepemimpinan Publik) Banten
Tuesday, May 6, 2008
Monday, May 5, 2008
Mencegah Kembalinya Rezim Otoritarianisme
Oleh: Sayuti Asyatry
Wacana perlunya gubernur dipilih langsung oleh presiden tidak ubahnya seperti ayunan balik bandul penguatan otonomisasi daerah. Otonomisasi pembangunan dan eksperimentasi politik berbasis lokal melalui pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan relatif baik selama ini jelas bisa terganggu. Dan, jika gagasan ini diterapkan, semua logika Negara Kesatuan Republik Indonesia dan otonomi daerah bisa menjadi jungkir balik karena tidak mungkin kita kembali memutar jarum jam pembangunan daerah sehingga kondisinya bisa lebih buruk daripada sebelum reformasi.
Lebih dari itu, gagasan gubernur dipilih langsung oleh presiden merupakan langkah mundur proses demokrasi yang kita perjuangkan selama ini. Bahkan gagasan ini dapat mendorong kembalinya rezim otoritarianisme seperti rezim Orde Baru yang membelenggu hak-hak politik warga negara, kue pembangunan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, dan seterusnya. Karena itu, kita harus mencegah kembalinya praktek politik otoritarianisme itu dengan menolak gagasan tersebut.
Terus terang, gagasan yang berawal dari rekomendasi peserta kursus reguler XL Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) terlihat aneh. Bagi saya, kepemimpinan daerah itu tidak selesai hanya dengan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Penunjukan langsung ini justru mengentalkan adanya tambal sulam penyelesaian masalah, tapi sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya.
Selain perlunya mewaspadai kembalinya rezim otoritarianisme dalam perspektif politik kekuasaan semata, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden itu perlu dikaji apakah ada upaya berbagai pihak menggunakan kekuasaan sebagai instrumen kapitalisasi ekonomi seiring dengan semangat otonomisasi daerah saat ini. Persoalannya sangat mendasar, jika hal ini diterapkan, konflik kepentingan (conflict of interest) akan tidak terhindarkan.
Jika demikian, hal terburuk yang akan terjadi adalah kian menguatnya sentralisasi kekuasaan serta melemahnya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (community development) berbasis lokal. Hal ini terjadi karena kuatnya tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah pusat (dalam hal ini presiden sebagai pemegang kedaulatan negara) di satu sisi dan kepentingan politik pemberdayaan masyarakat daerah di sisi yang lain.
Logikanya, tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan antara pusat dan daerah ini pasti terjadi. Pertama, jika gubernur itu dipilih/ditunjuk secara langsung oleh presiden, loyalitas seorang gubernur dan proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan bergerak sesuai dengan pendulum politik pemerintah pusat atau kepentingan politik presiden dan hal ini sangatlah berbahaya. Kedua, sebagai konsekuensinya, pembangunan dan pengembangan masyarakat (community development) di daerah akan terus terpinggirkan, karena masa depan karier politik gubernur ditentukan oleh presiden, bukan masyarakat yang dipimpinnya. Jelas ini sebuah pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi.
Karena itu, sekali lagi, gagasan tersebut perlu ditentang. Paling tidak dibutuhkan satu penelitian mendalam karena hal ini menyangkut soal masa depan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat, bangsa, dan negara. Yang jelas, berbagai hasil studi atau penelitian akademik hingga awal abad ke-21 ini menunjukkan bahwa demokrasi masih merupakan pilihan terbaik sistem politik yang diterapkan di berbagai belahan dunia.
Mengacu pada kerangka berpikir di atas, maka semua pihak mesti menyadari arti penting memelihara praktek demokrasi secara lebih menyeluruh sehingga substansi demokrasi itu menjadi kesadaran publik, bukan semata dalam praktek politik dan kekuasaan, melainkan juga dalam relasi sosial kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Memang, sangatlah disayangkan gagasan penunjukan langsung jabatan gubernur oleh presiden itu lahir dari rekomendasi peserta kursus reguler Lemhannas. Sebagai institusi pemerintah, lebih-lebih sebagai komunitas intelektual, Lemhannas semestinya mengkaji secara detail terlebih dulu soal dampak positif-negatifnya terhadap pembangunan masa depan bangsa dan negara. Yang pasti, saat ini masyarakat sudah tidak lagi menghendaki kembalinya rezim otoritarianisme. Karena itu, Lemhannas semestinya sadar dan menyadari posisinya sebagai komponen pemimpin bangsa yang seharusnya mendidik masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Terkait dengan kepemimpinan daerah, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 4, misalnya, jelas-jelas ketentuan pemilihan kepala daerah, baik pemerintahan tingkat I (gubernur) maupun pemerintahan tingkat II (bupati dan wali kota), dipilih secara demokratis. Artinya, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden menjadi tidak relevan. Diperkuat pula oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 56 ayat 1, bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket secara demokratis, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam perspektif pemikiran inilah gagasan tersebut layak ditentang, karena secara substansial bertentangan dengan semangat demokrasi dan terutama bertentangan dengan undang-undang sebagai landasan yuridis yang mendasari seluruh perundang-undangan. Di sisi yang lain, secara psikologis, komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat sebagai konstituen akan menjadi lebih efektif dalam kerangka membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Memang, bagaimanapun kekhawatiran akan terjadinya pelemahan proses pemberdayaan masyarakat--jika jabatan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden--menjadi tidak terhindarkan. Fenomena ini dapat dibaca dengan kian melebarnya sayap-sayap perilaku korupsi di kalangan pejabat negara di berbagai lini kehidupan birokrasi. Artinya, bisa jadi gagasan penunjukan langsung gubernur oleh presiden itu merupakan strategi baru guna memperkuat struktur kekuasaan pemerintah pusat di daerah sebagai manifestasi kembalinya rezim otoritarianisme.
Wacana perlunya gubernur dipilih langsung oleh presiden tidak ubahnya seperti ayunan balik bandul penguatan otonomisasi daerah. Otonomisasi pembangunan dan eksperimentasi politik berbasis lokal melalui pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan relatif baik selama ini jelas bisa terganggu. Dan, jika gagasan ini diterapkan, semua logika Negara Kesatuan Republik Indonesia dan otonomi daerah bisa menjadi jungkir balik karena tidak mungkin kita kembali memutar jarum jam pembangunan daerah sehingga kondisinya bisa lebih buruk daripada sebelum reformasi.
Lebih dari itu, gagasan gubernur dipilih langsung oleh presiden merupakan langkah mundur proses demokrasi yang kita perjuangkan selama ini. Bahkan gagasan ini dapat mendorong kembalinya rezim otoritarianisme seperti rezim Orde Baru yang membelenggu hak-hak politik warga negara, kue pembangunan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, dan seterusnya. Karena itu, kita harus mencegah kembalinya praktek politik otoritarianisme itu dengan menolak gagasan tersebut.
Terus terang, gagasan yang berawal dari rekomendasi peserta kursus reguler XL Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) terlihat aneh. Bagi saya, kepemimpinan daerah itu tidak selesai hanya dengan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Penunjukan langsung ini justru mengentalkan adanya tambal sulam penyelesaian masalah, tapi sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya.
Selain perlunya mewaspadai kembalinya rezim otoritarianisme dalam perspektif politik kekuasaan semata, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden itu perlu dikaji apakah ada upaya berbagai pihak menggunakan kekuasaan sebagai instrumen kapitalisasi ekonomi seiring dengan semangat otonomisasi daerah saat ini. Persoalannya sangat mendasar, jika hal ini diterapkan, konflik kepentingan (conflict of interest) akan tidak terhindarkan.
Jika demikian, hal terburuk yang akan terjadi adalah kian menguatnya sentralisasi kekuasaan serta melemahnya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (community development) berbasis lokal. Hal ini terjadi karena kuatnya tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah pusat (dalam hal ini presiden sebagai pemegang kedaulatan negara) di satu sisi dan kepentingan politik pemberdayaan masyarakat daerah di sisi yang lain.
Logikanya, tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan antara pusat dan daerah ini pasti terjadi. Pertama, jika gubernur itu dipilih/ditunjuk secara langsung oleh presiden, loyalitas seorang gubernur dan proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan bergerak sesuai dengan pendulum politik pemerintah pusat atau kepentingan politik presiden dan hal ini sangatlah berbahaya. Kedua, sebagai konsekuensinya, pembangunan dan pengembangan masyarakat (community development) di daerah akan terus terpinggirkan, karena masa depan karier politik gubernur ditentukan oleh presiden, bukan masyarakat yang dipimpinnya. Jelas ini sebuah pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi.
Karena itu, sekali lagi, gagasan tersebut perlu ditentang. Paling tidak dibutuhkan satu penelitian mendalam karena hal ini menyangkut soal masa depan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat, bangsa, dan negara. Yang jelas, berbagai hasil studi atau penelitian akademik hingga awal abad ke-21 ini menunjukkan bahwa demokrasi masih merupakan pilihan terbaik sistem politik yang diterapkan di berbagai belahan dunia.
Mengacu pada kerangka berpikir di atas, maka semua pihak mesti menyadari arti penting memelihara praktek demokrasi secara lebih menyeluruh sehingga substansi demokrasi itu menjadi kesadaran publik, bukan semata dalam praktek politik dan kekuasaan, melainkan juga dalam relasi sosial kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Memang, sangatlah disayangkan gagasan penunjukan langsung jabatan gubernur oleh presiden itu lahir dari rekomendasi peserta kursus reguler Lemhannas. Sebagai institusi pemerintah, lebih-lebih sebagai komunitas intelektual, Lemhannas semestinya mengkaji secara detail terlebih dulu soal dampak positif-negatifnya terhadap pembangunan masa depan bangsa dan negara. Yang pasti, saat ini masyarakat sudah tidak lagi menghendaki kembalinya rezim otoritarianisme. Karena itu, Lemhannas semestinya sadar dan menyadari posisinya sebagai komponen pemimpin bangsa yang seharusnya mendidik masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Terkait dengan kepemimpinan daerah, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 4, misalnya, jelas-jelas ketentuan pemilihan kepala daerah, baik pemerintahan tingkat I (gubernur) maupun pemerintahan tingkat II (bupati dan wali kota), dipilih secara demokratis. Artinya, gagasan penunjukan gubernur secara langsung oleh presiden menjadi tidak relevan. Diperkuat pula oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 56 ayat 1, bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket secara demokratis, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam perspektif pemikiran inilah gagasan tersebut layak ditentang, karena secara substansial bertentangan dengan semangat demokrasi dan terutama bertentangan dengan undang-undang sebagai landasan yuridis yang mendasari seluruh perundang-undangan. Di sisi yang lain, secara psikologis, komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat sebagai konstituen akan menjadi lebih efektif dalam kerangka membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Memang, bagaimanapun kekhawatiran akan terjadinya pelemahan proses pemberdayaan masyarakat--jika jabatan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden--menjadi tidak terhindarkan. Fenomena ini dapat dibaca dengan kian melebarnya sayap-sayap perilaku korupsi di kalangan pejabat negara di berbagai lini kehidupan birokrasi. Artinya, bisa jadi gagasan penunjukan langsung gubernur oleh presiden itu merupakan strategi baru guna memperkuat struktur kekuasaan pemerintah pusat di daerah sebagai manifestasi kembalinya rezim otoritarianisme.
Membangun LSM yang Independen
Oleh: Achmad Rozi El Eroy
Dalam dunia pergerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM), persoalan kualitas sumberdaya manusia menjadi perhatian utama, sebab dengan sumberdaya manusia yang handal akan mampu mengerakkan dan mendayagunakan seluruh kekuatan sumberdaya organisasi lainnya secara optimal. Maka wajar kalau kita melihat dan mendapati banyak lembaga swadaya masyarakat memberikan perhatian lebih besar kepada aspek pengembangan sumberdaya manusia melalui serangkaian program pendidikan, pelatihan, pemberdayaan dan pengembangan secara terus menerus, terorganisir dan sistematis. Dimana muara dari semuanya itu yang ingin dicapai pada sisi internal adalah dalam rangka mencapai visi dan misi serta tujuan besar dari lembaga swadaya masyarakat tersebut didirikan, yaitu bagaimana memberikan dan melaksanakan proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat menjadi lebih baik, lebih berdaya, dan tercerahkan. Sementara pada sisi eksternal, tujuan dari perhatian terhadap kualitas sumberdaya manusia adalah yaitu meningkatkan kinerja organisasi (baca:LSM) sehingga lebih produktif serta memiliki kontribusi terhadap proses pemberdayaan masyarakat secara mikro, dan pembangunan bangsa secara makro.
Perilaku Organisasi yang sehat
Mengapa kita mengelola organisasi? Tak lain adalah agar organisasi itu bisa hidup selama mungkin (sustainable). Tak gampang memang, tetapi itulah tugas yang harus diemban oleh seorang pengurus (baca: pimpinan). Dalam mengelola organisasi ada dua hal penting yang secara fundamental harus dilihat oleh para pimpinan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah semua faktor sumberdaya yang berada dalam internal organisasi, misalnya sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, struktur organisasi dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar organisasi, misalnya pemerintah, investor, dan lain sebagainya. Organisasi dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan hidupnya selalu mengalami pasang surut, dan yang seperti itu adalah sebagian kecil dari salah satu dari proses menuju kematangannya.
Dalam proses menuju kematangannya, anggota-anggota organisasi yang notabene adalah aktivis LSM terlibat aktif di dalamnya. Dalam kontek ini perilaku-perilaku individu inilah yang kemudian memberikan kontribusi dalam proses kematangan organisasi. Bahkan boleh disebut, perilaku individu ini merupakan urat nadi berkembang tidaknya organisasi. Tugas pimpinan organisasi adalah bagaimana mengelola perilaku-perilaku anggota organisasi tersebut menjadi sehat dan produktif, dalam arti sehat dalam berfikir dan produktif dalam bertindak. Dengan dua hal tersebut, menjadi prasyarat berkembangnya perilaku organisasi yang sehat, rasional dan visioner.
Mengembangankan Budaya Rasional
Kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan karsa manusia dalam perjalanan sejarahnya dimulai dari yang paling sederhana, berkembang dan terus maju terus setahap demi setahap sampai pada kompleks dan modern. Budaya yang bertambah maju secara akumulatif, mutunya semakin meningkat, sehingga didalamnya sering ditemui unsur-unsur kebudayaan yang bersifat dinamis. Budaya itu akan berpengaruh langsung pada kehidupan individu dan masyarakat dalam mewujudkan eksistensinya masing-masing. Budaya yang dipengaruhi nilai-nilai agama secara bersama-sama akan membentuk system nilai yang mewarnai sikap mental dan membatasi tingkah laku individu dan kelompok. System dan nilai yang tergambar didalam budaya tersebut pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap pola sikap, pola pikir dan pola tindakan manusia, dan kondisi tersebut tidak terkecuali juga akan dirasakan oleh para aktifisis LSM.
Sebagai sebuah organisasi non profit, LSM sudah seharusnya mampu mengembangkan sebuah Budaya organisasi yang bervisi rasional dan transformatif. Budaya LSM penting untuk diwacanakan, karena dua alasan; Pertama, Budaya akan mengikat secara emosional dan psyikologis dan sadar para aktivis LSM untuk memiliki sense of belongin yang tinggi terhadap organisasinya. Kedua, dengan adanya budaya organisasi, akan mampu meminimalisir dan bahkan menghilangkan adanya berbagai kepentingan pribadi (vested interest) masuk ke dalam institusi LSM. Ketiga, memastikan adanya kesamaan pandangan diantara para pengurus LSM dalam mengelola organisasi secara profesional. Budaya LSM dibentuk dan dikembangkan oleh dan akan ditentukan oleh pelaku LSM sebagai ciri-ciri utama budaya mereka sampai batas tertentu. Dalam konteks ini rasionalitas budaya menjadi satu kebutuhan bersama yang harus segera mungkin diwujudkan dalam bentuk perilaku yang sehat dan santun. LSM sebagai organisasi non profit yang yang berbasis pada pemberdayaan dan pencerahan masyarakat, secara internal harus mampu menampilkan dan mengembangkan sebuah budaya yang rasional, yaitu budaya yang dapat diterima semua kalangan, baik internal maupun eksternal.
Agenda LSM Banten
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka terdapat dua hal penting yang harus dijadikan sebagai agenda dan refleksi bagi LSM didalam melakukan serangkaian gerakan-gerakan sosialnya di masyarakat, Pertama; memperkuat pada visi Intelektualitas, LSM harus selalu dan senantiasa bersinggungan dengan hal-hal yang berdimensi pada intelektualitas, karena hanya dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, maka akan tercipta proses pencerahan yang semestinya; kedua menjaga Independensi, nilai ini mutlak dimiliki oleh setiap aktifis LSM baik secara personal ataupun secara institusi. Jika menginginkan tumbuhnya sebuah budaya yang rasional. Independensi (Kemerdekaan) dalam arti yang luas misalnya kemerdekaan berfikir dan berpendapat merupakan hak asasi yang harus dihormati dan dihargai. Unsur patronase, unsur patriaki dan lain sebagainya merupakan penghambat lahirnya kemerdekaan berfikir dan berpendapat.
Era reformasi dan otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak LSM yang bersifat instan, sebagian besar LSM lahir bukan dalam konteks gerakan sosial dan jaringan sosial yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas proyek-proyek pemerintah maupun sebagai bentuk “gerakan politik” untuk memainkan kepialangan politik. LSM yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk mencari proyek, entah melalui lobby atau melontarkan kritik keras kepada Pemda agar mereka memperoleh proyek. LSM “gerakan politik” sangat rajin melakukan kasak-kusuk menjadi broker politik dalam pemilihan kepala daerah, maupun pejabat teras di daerah. Dan ketiga membangun dan mengembangkan iklim Transparansi, transparansi merupakan suatu kondisi dimana masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan
Akhirnya dengan mengusung tiga agenda diatas, diharapkan kehadiran LSM di Banten dapat lebih mewarnai dinamika proses pembangunan Banten kearah yang lebih baik, dan lebih kontributif terhadap dinamika sosial masyarakat. Saat ini tidak cukup dengan jumlah LSM yang banyak, tetapi harus juga lebih diperkuat pada sisi kapabilitas dan kredibilitas LSM tersebut ditengah-tengah masyarakat, jangan sampai kehadiran LSM yang banyak malah membuat masyarakat menjadi antipati dan dan bahkan cenderung mencibir negatif adanya LSM tersebut. Wallahu’alam Bishowaf.®
Dalam dunia pergerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM), persoalan kualitas sumberdaya manusia menjadi perhatian utama, sebab dengan sumberdaya manusia yang handal akan mampu mengerakkan dan mendayagunakan seluruh kekuatan sumberdaya organisasi lainnya secara optimal. Maka wajar kalau kita melihat dan mendapati banyak lembaga swadaya masyarakat memberikan perhatian lebih besar kepada aspek pengembangan sumberdaya manusia melalui serangkaian program pendidikan, pelatihan, pemberdayaan dan pengembangan secara terus menerus, terorganisir dan sistematis. Dimana muara dari semuanya itu yang ingin dicapai pada sisi internal adalah dalam rangka mencapai visi dan misi serta tujuan besar dari lembaga swadaya masyarakat tersebut didirikan, yaitu bagaimana memberikan dan melaksanakan proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat menjadi lebih baik, lebih berdaya, dan tercerahkan. Sementara pada sisi eksternal, tujuan dari perhatian terhadap kualitas sumberdaya manusia adalah yaitu meningkatkan kinerja organisasi (baca:LSM) sehingga lebih produktif serta memiliki kontribusi terhadap proses pemberdayaan masyarakat secara mikro, dan pembangunan bangsa secara makro.
Perilaku Organisasi yang sehat
Mengapa kita mengelola organisasi? Tak lain adalah agar organisasi itu bisa hidup selama mungkin (sustainable). Tak gampang memang, tetapi itulah tugas yang harus diemban oleh seorang pengurus (baca: pimpinan). Dalam mengelola organisasi ada dua hal penting yang secara fundamental harus dilihat oleh para pimpinan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah semua faktor sumberdaya yang berada dalam internal organisasi, misalnya sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, struktur organisasi dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar organisasi, misalnya pemerintah, investor, dan lain sebagainya. Organisasi dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan hidupnya selalu mengalami pasang surut, dan yang seperti itu adalah sebagian kecil dari salah satu dari proses menuju kematangannya.
Dalam proses menuju kematangannya, anggota-anggota organisasi yang notabene adalah aktivis LSM terlibat aktif di dalamnya. Dalam kontek ini perilaku-perilaku individu inilah yang kemudian memberikan kontribusi dalam proses kematangan organisasi. Bahkan boleh disebut, perilaku individu ini merupakan urat nadi berkembang tidaknya organisasi. Tugas pimpinan organisasi adalah bagaimana mengelola perilaku-perilaku anggota organisasi tersebut menjadi sehat dan produktif, dalam arti sehat dalam berfikir dan produktif dalam bertindak. Dengan dua hal tersebut, menjadi prasyarat berkembangnya perilaku organisasi yang sehat, rasional dan visioner.
Mengembangankan Budaya Rasional
Kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan karsa manusia dalam perjalanan sejarahnya dimulai dari yang paling sederhana, berkembang dan terus maju terus setahap demi setahap sampai pada kompleks dan modern. Budaya yang bertambah maju secara akumulatif, mutunya semakin meningkat, sehingga didalamnya sering ditemui unsur-unsur kebudayaan yang bersifat dinamis. Budaya itu akan berpengaruh langsung pada kehidupan individu dan masyarakat dalam mewujudkan eksistensinya masing-masing. Budaya yang dipengaruhi nilai-nilai agama secara bersama-sama akan membentuk system nilai yang mewarnai sikap mental dan membatasi tingkah laku individu dan kelompok. System dan nilai yang tergambar didalam budaya tersebut pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap pola sikap, pola pikir dan pola tindakan manusia, dan kondisi tersebut tidak terkecuali juga akan dirasakan oleh para aktifisis LSM.
Sebagai sebuah organisasi non profit, LSM sudah seharusnya mampu mengembangkan sebuah Budaya organisasi yang bervisi rasional dan transformatif. Budaya LSM penting untuk diwacanakan, karena dua alasan; Pertama, Budaya akan mengikat secara emosional dan psyikologis dan sadar para aktivis LSM untuk memiliki sense of belongin yang tinggi terhadap organisasinya. Kedua, dengan adanya budaya organisasi, akan mampu meminimalisir dan bahkan menghilangkan adanya berbagai kepentingan pribadi (vested interest) masuk ke dalam institusi LSM. Ketiga, memastikan adanya kesamaan pandangan diantara para pengurus LSM dalam mengelola organisasi secara profesional. Budaya LSM dibentuk dan dikembangkan oleh dan akan ditentukan oleh pelaku LSM sebagai ciri-ciri utama budaya mereka sampai batas tertentu. Dalam konteks ini rasionalitas budaya menjadi satu kebutuhan bersama yang harus segera mungkin diwujudkan dalam bentuk perilaku yang sehat dan santun. LSM sebagai organisasi non profit yang yang berbasis pada pemberdayaan dan pencerahan masyarakat, secara internal harus mampu menampilkan dan mengembangkan sebuah budaya yang rasional, yaitu budaya yang dapat diterima semua kalangan, baik internal maupun eksternal.
Agenda LSM Banten
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka terdapat dua hal penting yang harus dijadikan sebagai agenda dan refleksi bagi LSM didalam melakukan serangkaian gerakan-gerakan sosialnya di masyarakat, Pertama; memperkuat pada visi Intelektualitas, LSM harus selalu dan senantiasa bersinggungan dengan hal-hal yang berdimensi pada intelektualitas, karena hanya dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, maka akan tercipta proses pencerahan yang semestinya; kedua menjaga Independensi, nilai ini mutlak dimiliki oleh setiap aktifis LSM baik secara personal ataupun secara institusi. Jika menginginkan tumbuhnya sebuah budaya yang rasional. Independensi (Kemerdekaan) dalam arti yang luas misalnya kemerdekaan berfikir dan berpendapat merupakan hak asasi yang harus dihormati dan dihargai. Unsur patronase, unsur patriaki dan lain sebagainya merupakan penghambat lahirnya kemerdekaan berfikir dan berpendapat.
Era reformasi dan otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak LSM yang bersifat instan, sebagian besar LSM lahir bukan dalam konteks gerakan sosial dan jaringan sosial yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas proyek-proyek pemerintah maupun sebagai bentuk “gerakan politik” untuk memainkan kepialangan politik. LSM yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk mencari proyek, entah melalui lobby atau melontarkan kritik keras kepada Pemda agar mereka memperoleh proyek. LSM “gerakan politik” sangat rajin melakukan kasak-kusuk menjadi broker politik dalam pemilihan kepala daerah, maupun pejabat teras di daerah. Dan ketiga membangun dan mengembangkan iklim Transparansi, transparansi merupakan suatu kondisi dimana masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang proses pengambilan keputusan dan alasan logis pengambilan keputusan. Juga masyarakat mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh organisasi publik dan untuk apa hal itu dilaksanakan
Akhirnya dengan mengusung tiga agenda diatas, diharapkan kehadiran LSM di Banten dapat lebih mewarnai dinamika proses pembangunan Banten kearah yang lebih baik, dan lebih kontributif terhadap dinamika sosial masyarakat. Saat ini tidak cukup dengan jumlah LSM yang banyak, tetapi harus juga lebih diperkuat pada sisi kapabilitas dan kredibilitas LSM tersebut ditengah-tengah masyarakat, jangan sampai kehadiran LSM yang banyak malah membuat masyarakat menjadi antipati dan dan bahkan cenderung mencibir negatif adanya LSM tersebut. Wallahu’alam Bishowaf.®
Subscribe to:
Posts (Atom)