Thursday, November 26, 2009

Membedah Akar Kepemimpinan

Oleh : Romi Satria Wahono

Remember the difference between a boss and a leader:

a boss says, “Go!”, but a leader says, “Let’s Go!”

(EM Kelly)

Ketika seorang pemimpin telah ditakdirkan lahir di dunia. Dan kita, mau tidak mau, suka atau tidak suka, akan masuk dalam suratan pergiliran untuk menjadi seorang pemimpin. Tiada yang bisa kita lakukan kecuali mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu dan kecakapan dalam pemegangan amanah. Sehingga ketika masa itu datang, kita tidak menjadi pemimpin yang jahil apalagi dhalim dikarenakan ketidakmampuan kita (QS 33-72).

Mari kita berangkat memulai diskusi dan pemikiran ini dengan sebuah definisi dan konsepsi. Sejak era 20 tahun yang lalu, telah banyak definisi kepemimpinan yang disampaikan oleh para pakar (Anderson-1988, Sarros-1996, Robbins-2002). Dari perseteruan yang ada, kita bisa menarik akar definisi kepemimpinan sebagai suatu proses dan perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat in dividu dan organisasi.

Sedangkan aliran tema yang didiskusikan dan diteliti berkenaan dengan kepemimpinan, kemudian tercabang menjadi tiga:

1. Yang mempelajari tentang perilaku, skill, watak dan sifat pemimpin

2. Yang mempelajari tentang hubungan antara seorang pemimpin dan pengikut (follower)

3. Yang mempelajari tentang bagaimana pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.

Lalu apa hubungan kepemimpinan (leadership) dengan manajemen (management). Keduanya memiliki kemiripan, meskipun sebenarnya sangat berbeda dalam konsep. Menurut Bennis and Nanus (1995), konsepsi pemimpin lebih ke arah mengerjakan yang benar, sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat atau terkenal dengan sebuah ungkapan managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing. Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin. Ketika beberapa logika dasar definisi kepemimpinan diatas kita turunkan lebih dalam, maka akan kita dapatkan implikasi mendasar dan tatanan menarik dari sebuah konsep kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah Fenomena Pemimpin, Pengikut dan Situasi

Suatu kepemimpinan membawa arti adanya fenomena kompleks yang melibatkan pemimpin, pengikut, dan situasi. Tiga elemen ini saling berinteraksi dalam hubungan saling membutuhkan dengan kapasitasnya masing-masing: pemimpin (personalitas, posisi, kepakaran, dsb), pengikut (kepercayaan, kepatuhan, pemikiran kritis, dsb), dan situasi (kerja, tekanan/stress, lingkungan, dsb). Kita bisa memahami proses kepemimpinan dengan baik ketika kita tidak hanya melihat pada sosok seorang pemimpin, tetapi juga pengikut, bagaimana pemimpin dan pengikut saling mempengaruhi, dan juga bagaimana situasi bisa mempengaruhi kemampuan dan tingkah laku pemimpin dan pengikut.

Hakekat terpenting dari framework ini adalah bagaimana menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah permainan orkestra yang merdu, sebagai hasil dari interaksi sinergis dari pemimpin, pengikut dan situasi. Mungkin seorang boss mengatakan “Go!” kepada anak buahnya, tapi seorang pemimpin sejati harus berani membawa dirinya dalam pergerakan dengan mengatakan “Let’s Go!”.

Kepemimpinan adalah Ilmu dan Seni

Menjadi pemimpin bukanlah hanya monopoli seorang mahasiswa fakultas pendidikan kepemimpinan, dan bukan juga monopoli seorang yang kebetulan banyak ketiban amanah menjadi pemimpin. Untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif (effective leadership), kepemimpinan harus dipelajari sebagai ilmu dan dipraktekkan sebagai sebuah seni yang indah. Pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan pengetahuannya bisa berimprovisasi menggunakan (sumber) kekuasaannya untuk menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Tiada kepemimpinan tanpa pemahaman ilmu dan keindahan seni.

Kepemimpinan adalah Proses Bukan Posisi

Kepemimpinan adalah sebuah proses pembelajaran dan praktek, dia bukanlah sebuah posisi ataupun jabatan yang diberikan. Jabatan bisa kita dapatkan karena uang, hubungan kekeluargaan, ataupun kolusi (KKN). Tidak demikian dengan sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sebuah proses yang akan membentuk seorang pemimpin dengan karakter dan watak jujur terhadap diri sendiri (integrity), bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication). Juga sebuah proses yang akan membentuk seorang pengikut (follower) yang didalam kepatuhannya kepada pemimpin, tetapi memiliki pemikiran kritis, inovatif, dan jiwa independen.

Kepemimpinan adalah Rasional dan Emosional

Kepemimpinan adalah aksi dan pengaruh yang berbasis ke logika dan juga inspirasi. Pemimpin bukanlah sosok commander data dalam star trek, yang selalu merespon permasalahan dengan prediski logika dan data. Tiap-tiap manusia memiliki sisi rasional dan emosional yang membawa implikasi terjadinya perbedaan pemikiran, feelings, pengharapan, mimpi, kebutuhan, ketakutan, ambisi dan tujuan. Maka konsekuensinya, seorang pemimpin dituntut untuk cerdik menggunakan pendekatan rasional dan emosional untuk mempengaruhi pengikut, tentu dengan bobot yang adil dan disesuaikan dengan keadaan. Wallahualam bisshawab

Penulis adalah ketua umum PPI Jepang.


Idul Qurban dan Keshalehan Sosial

oleh : Achmad Rozi El Eroy

Bulan Dzulhijjah merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji. Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah Subhanahu Wata’ala

Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail. Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani. Disamping itu, Penyampaian qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, adalah peristiwa yang menunjukkan makna tentang larangan bagi kita untuk menghamba kepada insting-insting primitif kebendaan, larut dalam bujuk rayu materialism hedonistik yang serba palsu dan menjanjikan kesenangan sesat dan artificial
penuh rekayasa. Qurban adalah peristiwa yang melukiskan pergulatan iman Nabi
Ibrahim, antara memilih Allah atau Ismail, anaknya sendiri yang kelahirannya
telah didambakan selama seratus tahun.

di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan. Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha. Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan. (Wallahu’alam Bishowaf)



[1] Ketua Pimpinan Pusat Kader Muda Banten & Direktur Eksekutif The Sultan Center

Tuesday, November 3, 2009

KRC dan Politik Pencitraan

Oleh : Asep Koswara, M.Si[1]

William Liddle, ahli sosiologi politik (social political scientist) dari Ohio University, pernah meramalkan bahwa era politik sekarang adalah era politik ketokohan. Tidak lagi diramaikan oleh pertarungan ideologi atau politik aliran, seperti diasumsikan oleh teori antropolog terkenal Clifford Geertz (1964), (Kompas, 7 Juli 2009).

Ramalan diatas dikukuhkan oleh Sejumlah pengamat dan ahli komunikasi massa yang meyakini bahwa kemenangan SBY dalam Pilpres 2004 dan 2009, tak lepas dari suksesnya tim kampanye SBY yang berhasil membangun dan mempertahankan citra SBY sebagai figur pemimpin yang ”santun”, ”berwibawa”, ”menyejukan”, ”tokoh penuh pengharapan” atau ”pengayom rakyat kecil”.

Fenomena SBY dengan politik pencitraannya, telah menjadi inspirasi dan refrensi Iman Aryadi sebagai kadidat walikota Cilegon dalam perebutan kekuasaan di pilkada mendatang.
Hal itu dapat dilihat dari pasca deklarasi pencalolannya di musda golkar tahun lalu, politik pencitraan terus dijalankan oleh Iman Aryadi. Meskipun waktu itu golkar mengalami gempa politik yang melahirkan konflik antara Syam Rahmat dan Ketua DPD Golkar Cilegon.

Kemudian Iman Aryadi melakukan langkah-langkah politik “simbolis” yang mencitrakan dirinya sebagai tokoh pemimpin muda masa depan yang “cerdas”, “ramah”, pro pembangunan dan dekat dengan ulama. Pencitraan itu bertujuan untuk menghasilkan persepsi masyarakat Cilegon bahwa Iman Aryadi adalah satu-satunya Kandidat Walikota Cilegon masa depan.

KRC dan Pencitraan Rasional
Kongres Rakyat Cilegon yang diselenggrakan pada tanggal 28 dan 29 oktober merupakan media pencitraan Iman Aryadi sebagai Calon walikota masa depan yang merefresentasikan kebangkitan kepemimpinan muda di Cilegon. Dikontruksi untuk menjalin komunikasi politik atau hubungan antara seorang aktor politik dengan calon pemilih.

Kegiatan ini diciptakan untuk menjalin hubungan transaksional yang rasional. Asumsinya tergambar dari agenda acara kongres, yang menghadirkan narasumber top nasional, Kemudian acara intinya adalah sesi pemaparan visi dan misi calon walikota Cilegon. Tentunya tidak dapat disangkal lagi bahwa KRC sebagai media pencitraan seorang calon walikota yang ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat Cilegon khusunya, dan Nasional pada umumnya bahwa dirinya merupakan calon pemimpin masa depan yang cerdas.

Program ini dirangkai secara terencana dan terarah untuk pemilih rasional yang dianggapnya tidak begitu saja percaya terhadap program, janji-janji seorang kandidat atau iming-iming materi yang ditawarkan. Karena dalam segmen pemilih rasional program yang tidak rasional, atau terkesan hanya untuk menyenangkan pemilih, akan ditolak secara mentah-mentah.

Bagi pemilih rasional dukungan politik yang diberikan pemilih kepada kandidat semata-mata karena kandidat dinilai memiliki kompetensi dan kapasitas sebagai aktor politik. Karena itu politik pencitraan seorang aktor politik sangat tergantung dari sejauhmana visi dan misi politik yang disusun dapat meyakinkan pemilih.

Halalnya Politik Pencitraan

Dalam literatur ilmu politik, pencitraan politik atau politik pencitraan sangat “dihalalkan”, dan lumrah adanya. Apalagi dalam konteks reformasi dan demokrasi pencitraan politik telah menjadi bagian yang tidak tak terpisahkan dari pentas politik negeri ini. Menurut para ahli marketing politik citra seseorang dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat melalui proses pencitraan.

Oleh karenanya dalam konteks ini, pencitraan adalah sesuatu yang wajar bahkan mungkin harus dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan, tetapi setelah itu yang paling terpenting adalah bagaimana menunjukkan kualitas yang sesungguhnya sehingga yang dihargai adalah kualitas dan integritas pribadi yang berprestasi.

Perlu ditegaskan bahwa politik pencitraan sangat tidak mungkin dipisahkan dari praktek politik dalam pilkada untuk memilih kandidat Walikota Cilegon 2010 mendatang. Namun benang merahnya adalah pencitraan yang dikontruksi oleh kandidat, dilakukan dengan bertolak pada prinsip “napak kebumi” bukan “menggantung ke langit”. Artinya para calon walikota Cilegon mendatang diharapkan lebih bijak melihat rakyat sebagai penerima pesan, simbol, dan program yang dicitrakan oleh Cawalkot. Bukan semata-mata dipandang sebagai entitas politik yang bisa di eksploitasi seperti kerbau yang di cocok hidungnya. Rakyat Cilegon sudah pintar dan mampu untuk berfikir rasional. Meskipun tidak sedikit pula yang masih akrab dengan simbol kemapanan, agama, dan atau nilai-nilai primordial lainnya.

Oleh karenanya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dari calon walikota dan tim suksesnya, Tidak ada salahnya jika setiap politik pencitraan yang dilakukan bermuara guna meciptakan transaksi politik dengan rakyat Cilegon secara rasional. Bukan sebaliknya mengkontruksi politik pencitraan negatif dengan menjual dan membodohi rakyat dengan janji-janji irasonal dan mengekploitasi sisi emosional rakyat.

Kesimpulannya adalah politik pencitraan adalah sangat boleh karena pada dasarnya politik pencitraan bertujuan membangun dan mecerminkan realitas keseharian sang kandidat. Jika memang dalam kesehariannya kandidat adalah tokoh yang cerdas, pro pembangunan, religius maka selayaknya tim sukses memperkuat dan meneguhkan citra kandidat dengan berbagai media, termasuk Kongres rakyat Cilegon (KRC).

Sebagai penutup mari bangun politik pencitraan di pilkada mendatang dengan cerdas dan santun. Untuk mendewasakan masyarakat, dan bukan sebaliknya mengakali atau mengiconi masyarakat. Wassalam

Top of Form

Bottom of Form



[1] Penulis adalah Direktur Kajian dan Strategi Politik The SULTAN CENTER (TSC) Banten