Tuesday, November 3, 2009

KRC dan Politik Pencitraan

Oleh : Asep Koswara, M.Si[1]

William Liddle, ahli sosiologi politik (social political scientist) dari Ohio University, pernah meramalkan bahwa era politik sekarang adalah era politik ketokohan. Tidak lagi diramaikan oleh pertarungan ideologi atau politik aliran, seperti diasumsikan oleh teori antropolog terkenal Clifford Geertz (1964), (Kompas, 7 Juli 2009).

Ramalan diatas dikukuhkan oleh Sejumlah pengamat dan ahli komunikasi massa yang meyakini bahwa kemenangan SBY dalam Pilpres 2004 dan 2009, tak lepas dari suksesnya tim kampanye SBY yang berhasil membangun dan mempertahankan citra SBY sebagai figur pemimpin yang ”santun”, ”berwibawa”, ”menyejukan”, ”tokoh penuh pengharapan” atau ”pengayom rakyat kecil”.

Fenomena SBY dengan politik pencitraannya, telah menjadi inspirasi dan refrensi Iman Aryadi sebagai kadidat walikota Cilegon dalam perebutan kekuasaan di pilkada mendatang.
Hal itu dapat dilihat dari pasca deklarasi pencalolannya di musda golkar tahun lalu, politik pencitraan terus dijalankan oleh Iman Aryadi. Meskipun waktu itu golkar mengalami gempa politik yang melahirkan konflik antara Syam Rahmat dan Ketua DPD Golkar Cilegon.

Kemudian Iman Aryadi melakukan langkah-langkah politik “simbolis” yang mencitrakan dirinya sebagai tokoh pemimpin muda masa depan yang “cerdas”, “ramah”, pro pembangunan dan dekat dengan ulama. Pencitraan itu bertujuan untuk menghasilkan persepsi masyarakat Cilegon bahwa Iman Aryadi adalah satu-satunya Kandidat Walikota Cilegon masa depan.

KRC dan Pencitraan Rasional
Kongres Rakyat Cilegon yang diselenggrakan pada tanggal 28 dan 29 oktober merupakan media pencitraan Iman Aryadi sebagai Calon walikota masa depan yang merefresentasikan kebangkitan kepemimpinan muda di Cilegon. Dikontruksi untuk menjalin komunikasi politik atau hubungan antara seorang aktor politik dengan calon pemilih.

Kegiatan ini diciptakan untuk menjalin hubungan transaksional yang rasional. Asumsinya tergambar dari agenda acara kongres, yang menghadirkan narasumber top nasional, Kemudian acara intinya adalah sesi pemaparan visi dan misi calon walikota Cilegon. Tentunya tidak dapat disangkal lagi bahwa KRC sebagai media pencitraan seorang calon walikota yang ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat Cilegon khusunya, dan Nasional pada umumnya bahwa dirinya merupakan calon pemimpin masa depan yang cerdas.

Program ini dirangkai secara terencana dan terarah untuk pemilih rasional yang dianggapnya tidak begitu saja percaya terhadap program, janji-janji seorang kandidat atau iming-iming materi yang ditawarkan. Karena dalam segmen pemilih rasional program yang tidak rasional, atau terkesan hanya untuk menyenangkan pemilih, akan ditolak secara mentah-mentah.

Bagi pemilih rasional dukungan politik yang diberikan pemilih kepada kandidat semata-mata karena kandidat dinilai memiliki kompetensi dan kapasitas sebagai aktor politik. Karena itu politik pencitraan seorang aktor politik sangat tergantung dari sejauhmana visi dan misi politik yang disusun dapat meyakinkan pemilih.

Halalnya Politik Pencitraan

Dalam literatur ilmu politik, pencitraan politik atau politik pencitraan sangat “dihalalkan”, dan lumrah adanya. Apalagi dalam konteks reformasi dan demokrasi pencitraan politik telah menjadi bagian yang tidak tak terpisahkan dari pentas politik negeri ini. Menurut para ahli marketing politik citra seseorang dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat melalui proses pencitraan.

Oleh karenanya dalam konteks ini, pencitraan adalah sesuatu yang wajar bahkan mungkin harus dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan, tetapi setelah itu yang paling terpenting adalah bagaimana menunjukkan kualitas yang sesungguhnya sehingga yang dihargai adalah kualitas dan integritas pribadi yang berprestasi.

Perlu ditegaskan bahwa politik pencitraan sangat tidak mungkin dipisahkan dari praktek politik dalam pilkada untuk memilih kandidat Walikota Cilegon 2010 mendatang. Namun benang merahnya adalah pencitraan yang dikontruksi oleh kandidat, dilakukan dengan bertolak pada prinsip “napak kebumi” bukan “menggantung ke langit”. Artinya para calon walikota Cilegon mendatang diharapkan lebih bijak melihat rakyat sebagai penerima pesan, simbol, dan program yang dicitrakan oleh Cawalkot. Bukan semata-mata dipandang sebagai entitas politik yang bisa di eksploitasi seperti kerbau yang di cocok hidungnya. Rakyat Cilegon sudah pintar dan mampu untuk berfikir rasional. Meskipun tidak sedikit pula yang masih akrab dengan simbol kemapanan, agama, dan atau nilai-nilai primordial lainnya.

Oleh karenanya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dari calon walikota dan tim suksesnya, Tidak ada salahnya jika setiap politik pencitraan yang dilakukan bermuara guna meciptakan transaksi politik dengan rakyat Cilegon secara rasional. Bukan sebaliknya mengkontruksi politik pencitraan negatif dengan menjual dan membodohi rakyat dengan janji-janji irasonal dan mengekploitasi sisi emosional rakyat.

Kesimpulannya adalah politik pencitraan adalah sangat boleh karena pada dasarnya politik pencitraan bertujuan membangun dan mecerminkan realitas keseharian sang kandidat. Jika memang dalam kesehariannya kandidat adalah tokoh yang cerdas, pro pembangunan, religius maka selayaknya tim sukses memperkuat dan meneguhkan citra kandidat dengan berbagai media, termasuk Kongres rakyat Cilegon (KRC).

Sebagai penutup mari bangun politik pencitraan di pilkada mendatang dengan cerdas dan santun. Untuk mendewasakan masyarakat, dan bukan sebaliknya mengakali atau mengiconi masyarakat. Wassalam

Top of Form

Bottom of Form



[1] Penulis adalah Direktur Kajian dan Strategi Politik The SULTAN CENTER (TSC) Banten

No comments: