Ada indikasi yang sangat kuat bahwa reformasi di tingkat kelembagaan dan prosedural yang telah digulirkan selama hampir satu dasawarsa di negeri ini, nyaris tidak disertai dengan perbaikan yang signifikan pada jalur kaderisasi kepemimpinan politik. Publik seolah masih dipaksa untuk memberikan ruang di panggung politik bagi aktor-aktor lama. Sementara ironisnya, sebagian besar survai yang dilakukan menunjukan kerinduan publik atas tampilnya figur pemimpin alternatif.
Tampilnya politisi-saudagar yang mendominasi panggung utama politik Indonesia juga ternyata belum banyak pengaruhnya bagi modernisasi parpol. Harapan akan terjadinya proses penguatan organisasi parpol di bawah kendali para entrepreneur ini belum sepenuhnya terjadi. Kinerja partai politik justru semakin mengecewakan publik. Partai politik kini cenderung didominasi oleh faksi-faksi politik dengan orientasi yang kuat ke arah pragmatisme. Jika partai politik yang semestinya menjadi institusi inti dalam proses demokratisasi saja sudah bercorak pragamatis, sulit dibayangkan bahwa demokratisasi juga akan diwarnai oleh nilai-nilai dan tradisi berpolitik yang baru.
Kepemimpinan Transaksional
Dalam khasanah studi kepemimpinan, gaya kepemimpinan politisi-saudagar ini bisa dikategorikan sebagai kepemimpinan transaksional (transactional leadership). Model kepemimpinan ini terjadi ketika pola relasi antara pemimpin dengan konstituen, maupun antara pemimpin dengan elit politik lainnya dilandasi oleh semangat pertukaran kepentingan ekonomi atau politik (Burns 1978). Transaksi suara, janji-janji material bagi pemilih dan penghargaan atas loyalitas personal merupakan praktik-praktik yang lazim dilakukan dalam kultur kepemimpinan transaksional. Walaupun model kepemimpinan ini sangat banyak dipraktikan di berbagai negara demokratis, namun sesungguhnya fenomena ini cenderung menghambat reformasi politik. Ini terjadi karena proses perubahan yang fundamental dihadang oleh kepentingan personal dari para elit politik. Menurut Przeworski (1996) sistem politik yang dibangun di atas konsesi-konsesi politik jangka pendek dan kepentingan-kepentingan kelompok atau individu adalah sistem politik yang sangat tidak stabil dan buruk dampaknya bagi konsolidasi demokrasi.
Kompleksitas permasalahan lintas sektoral, dan rapuhnya kohesivitas sosial merupakan hambatan utama proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi ini karakter pemimpin yang demokratis saja tidaklah cukup. Dibutuhkan pemimpin demokratis yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat untuk secara efektif menetapkan prioritas agenda penyelesaian masalah bangsa. Namun tentu saja lewat masanya, ketika bangsa ini dipimpin oleh figur kuat yang memusatkan seluruh proses dan dinamika politik pada genggaman kekuasaannya.
Menarik untuk menengok hasil survai Lead Institute dan Indobarometer pada bulan Juli 2007 yang menunjukan bahwa mayoritas publik di Indonesia merindukan sosok pemimpin yang visioner. Bahkan, menurut publik, kemampuan menetapkan visi ini lebih penting dari kemampuan-kemampuan teknis lainnya. Hasil survai ini, juga bisa ditafsirkan sebagai kekecewaan publik atas sepak terjang pemimpin-pemimpin yang pragmatis dan miskin kapasitas visioner.
Karena itu, sesungguhnya bangsa ini membutuhkan suatu perpaduan antara gaya kepemimpinan yang kuat serta kapasitas visioner dan kemampuan untuk membangun kultur dan cara pandang baru. Ketegasan tanpa dipandu oleh visi dan dikawal nurani hanya akan melahirkan diktator baru. Kapasitas visioner minus ketegasan dan logika hanya akan menciptakan negeri yang penuh wacana dan miskin karya.
Pemimpin Transformasional dan Perubahan Kultural
Di tengah reformasi prosedural dan kelembagaan yang signifikan, berbagai skandal memalukan yang mengiris nurani publik justru semakin gencar terjadi. Tidaklah salah kalau banyak yang meyakini bahwa perubahan struktural ternyata gagal diringi dengan perubahan kultural. Aktor-aktor politik dengan tabiat dan cara pandang lama kini mewarnai kehidupan berbangsa, dengan memanfaatkan disain tatanan politik baru.
Stagnasi secara kultural yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia tidaklah dapat diterabas jika pemimpin-pemimpin berwatak transaksional masih memenuhi panggung politik. Diperlukan perubahan fundamental pada aspek kultural untuk menumpas korupsi dan menegakan pemerintah yang bersih. Bangsa ini perlu untuk diarahkan oleh suatu kepemimpinan transformasional, yaitu suatu karakter kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan pada tataran nilai. Kepemimpinan tranformasional akan mampu mengajak publik untuk secara teguh menggapai tujuan-tujuan yang lebih hakiki, ketimbang sekadar pemenuhan kepentingan jangka pendek. Pemimpin dengan karakter transformasional trampil untuk secara inspirasional memvisualisasikan bentuk masyarakat baru yang ingin dicapai. Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menggerakan setiap individu untuk menjadi aktor utama proses perubahan.
Pemimpin transformasional merupakan ”modifikasi” dari pemimpin karismatik. Dengan kata lain, semua pemimpin transformasional adalah pemimpin karismatik, namun tidak semua pemimpin karismatik adalah pemimpin transformasional. Pemimpin transformasional memiliki karakter yang karismatik karena mereka mampu untuk membangun ikatan emosional yang kuat dengan publik untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, bagi pemimpin transformasional, ikatan yang dibangun dengan publik lebih bersifat kesamaan sistem nilai ketimbang loyalitas personal (Hughes 2001). Manakala para pemimpin karismatik kerap terjebak pada pemusatan ambisi yang kemudian justru mengerdilkan arti kepemimpinan mereka, pemimpin transformasional memberikan kontribusi substantif dengan keberhasilan mendobrak kultur lama dan merintis tatanan nilai baru. Sejarah dunia mencatat dengan tinta emas kiprah-kiprah pemimpin transformasional seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela dan Martin Luther King.
Namun adalah penting untuk disadari bahwa tampilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instan, namun melalui penitian karir secara berjenjang dan melalui proses yang berliku. Bagi bangsa Indonesia jelas bahwa kegagalan untuk mengikis habis tradisi jalan pintas untuk menuju kekuasaan, ketidakmampuan untuk membangun sistem meritokrasi yang kokoh dan kelalaian dalam melanggengkan tradisi regenerasi merupakan prakondisi yang sempurna untuk menuju ke arah bangsa yang gagal.
No comments:
Post a Comment