Berdasarkan data yang baru dikeluarkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa jumlah kasus korupsi pada tahun 2006 lalu mencapai 166 kasus, lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2005 sebanyak 125 kasus dan tahun 2004 sebanyak 153 kasus. Selain itu, yang lebih memprihatinkan lagi, uang rakyat yang dirampok para koruptor mengalami lonjakan luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari total jumlah kerugian negara akibat korupsi. Bila uang negara yang hilang pada tahun 2004 mencapai Rp 4,3 triliun, dan naik menjadi Rp 5,3 triliun pada tahun 2005, maka pada tahun 2006 lalu melonjak drastis hingga mencapai Rp 14,4 triliun (Media Indonesia/24/1).
Kenyataan ini jelas merupakan suatu peringatan dini bagi kita semua, bahwa upaya pemberantasan korupsi (demolishing corruption) yang gencar dilakukan dalam beberapa tahun belakangan ini masih belum dapat membawa bangsa Indonesia keluar dari sistem koruptif yang akut.
Sebagaimana kita ketahui, selama ini pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak-pihak terkait lainnya (stakeholders) terlihat sangat serius dilakukan. Wujudnya, berbagai upaya terus ditempuh, baik dalam pencegahan maupun penindakan serta penegakan hukum terhadap pelakunya, termasuk upaya menyempurnakan mekanisme dan perangkat hukumnya. Namun, hasilnya belum kelihatan seperti yang diharapkan oleh publik. Penyebab utama belum maksimalnya hasil kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini dikarenakan terjadinya disorientasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Bila dilihat secara cermat, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disorientasi dalam pemberantasan korupsi. Pertama, berbagai kebijakan (policy) yang diambil oleh pemerintah selama ini dalam memberantas korupsi banyak yang tidak berjalan secara efektif. Sebagai contoh di antaranya adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) yang hanya menjadi kebijakan yang jeudaih dalam tataran konseptual namun tidak aplikatif untuk dioperasionalkan dalam memberantas korupsi. Kedua, produk hukum yang digunakan sebagai pijakan yuridis dalam melakukan pemberantasan korupsi, seperti UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) masih memiliki banyak celah hukum sehingga sering dimanfaatkan para koruptor untuk menghindar dari jerat hukum. Bahkan bukan hanya itu, banyaknya celah hukum dalam UU Tipikor dan KPK justru sering digunakan sebagai “senjata” oleh para koruptor dalam melakukan serangan balik (corruptor fight back). Buktinya, sepanjang tahun 2006 lalu, setidaknya tercatat dua kali para koruptor sukses melakukan serang balik terhadap UU Tipikor dan UU KPK melalui uji materiil (judicial review) kedua UU tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Kesuksesan koruptor mendobrak daya “gedor” UU Tipikor dan UU KPK tercermin dalam putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai uji materiil UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK dalam putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999 junto UU No. 20/2001 bertentangan dengan UUD 1945, karena penjelasan pasal tersebut dianggap telah memperluas kategori unsur melawan hukum materiil dengan merujuk pada hukum tidak tertulis serta bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (rechtzakerheid) dan prinsip keadilan (rechtvaardigheid). Dan putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 tentang KPK bertentangan dengan Pasal 24 ayat 1, 2, Pasal 24A ayat 5, dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, karena keberadaan Pengadilan khusus (adhoc) Tipikor telah menimbulkan standar ganda (double standar) dan dualisme pengadilan dalam pemberantasan korupsi yaitu antara Pengadilan Umum dan Pengadilan adhoc Tipikor.
Ketiga, institusi yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK dan Timtastipikor belum mampu berperan secara optimal dalam membasmi dan mencegah terjadinya korupsi. Apalagi kalau dilihat lebih dalam, hasil kinerja KPK ternyata hanya mampu mengembalikan uang negara hasil korupsi sebanyak Rp 25,7 miliar. Padahal, biaya operasional yang dikeluarkan untuk KPK pada tahun 2006, mencapai Rp 257 miliar. Jelas dari segi efisiensi, hasil kinerja KPK dapat dikatakan sangat memprihatinkan sekali. Belum optimalnya kinerja KPK dan Timtastipikor disebabkan oleh begitu kuatnya intervensi kekuatan politik terhadap kedua lembaga tersebut. Akibatnya, praktek diskriminasi atau “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi tak dapat dihindari untuk dilakukan, demi menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak yang berkuasa.
Keempat, mandeknya proses reformasi birokrasi yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah. Hingga saat ini, Birokrasi belum sanggup secara maksimal menangkal terjadinya berbagai praktik-praktik korupsi. Birokrasi justru tetap dengan wajah lamanya yang korup.
Berpijak pada berbagai persoalan tersebut, kini tak ada alternatif lain, disorientasi dalam pemberantasan korupsi mesti secepatnya diakhiri. Adapun langkah dan strategi yang dapat dilakukan saat ini sebagai jalan keluar guna mengatasi disorientasi dalam pemberantasan korupsi yang terjadi selama ini, yaitu, Pertama, melakukan kaji ulang (review) terhadap berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan ditindaklanjuti mengeluarkan kebijakan baru untuk menganti kebijakan-kebijakan yang tidak dapat berjalan secara efektif. Kedua, menutup berbagai celah hukum yang terdapat di dalam UU Tipikor dan UU KPK dengan cara segera melakukan penyempurnaan (revisi) terhadap kedua UU tersebut serta mempercepat proses legislasi RUU tentang Pengadilan adhoc Tipikor yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di DPR. Ketiga, memperkuat kelembagaan KPK dan Timtastipikor dengan memfasilitasi infrastruktur, memberikan anggaran yang memadai, mengharuskan semua jajaran birokrasi, kepolisian, kejaksaan untuk mendukung keberadaan kedua lembaga tersebut serta menghentikan berbagai bentuk intervensi politik terhadap KPK dan Timtastipikor. Keempat, segera melakukan restrukturisasi terhadap birokrasi secara menyeluruh dengan mempercepat proses reformasi terhadap birokrasi melalui implementasi prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) ke dalam sistem birokrasi di Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Akhirnya, kita berharap keempat langkah dan strategi di atas dapat segera dilaksanakan oleh pemerintah dan para stakeholder lainnya. Jika tidak, bukannya tidak mungkin, cita-cita untuk menjadikan negeri ini bebas dari praktik korupsi hanya akan tetap menjadi sebuah mimpi yang tidak akan pernah dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Dan tentunya kita semua tidak mengharapkan hal itu benar-benar terjadi. Semoga.(Firdaus Arifin, S.H. |Penulis adalah Analis Hukum Tata Negara, Sedang Studi di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung | AI)