Thursday, March 27, 2008

Pemilu 2009, Jatahnya Orang Muda

Oleh : Achmad Rozi El Eroy[1]

Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan secara terbuka,melalui liputan media masa dan elektronik, PDI Perjuangan sebagai salah satu parpol besar telah merekrut kader-kader baru yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari selebritis, intelektual, olahragawan/atlit, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan lain sebagainya masuk menjadi kader PDIP. Sebut saja Rano Karno,(pemeran si Doel dan kini menjadi wakil Bupati Tangerang) masuk menjadi salah satu kader PDIP, Rieke Dyah Pitaloka (Oneng) yang sebelumnya merupakan kader PKB, saat ini pindah menjadi kader PDIP, Sonny Tulung, (presenter dan selebritis), Richard Sambera (Atlit renang), juga masuk menjadi salah satu barisan kader PDIP.
Kalau kita lihat secara makro, kader-kader partai yang baru direkrut tersebut, secara usia berada pada golongan usia muda, dan ini tentunya sangat menggembirakan, dimana secara perlahan, akan berdampak pada regenerasi atau kaderisasi ditingkat parpol itu sendiri. Walaupun secara signifikansi, kita masih harus melihat kontribusi yang dapat mereka berikan kepada Parpol khususnya dan masyarakat pada umumnya terkait dengan keterlibatan mereka di partai politik. Kader bagi sebuah partai Politik merupakan gizi yang sangat penting dalam meningkatkan vitalitas organisasi, tanpa kader maka dimungkinkan vitalitas organisasi akan terganggu. Setiap organisasi partai politik berkepentingan untuk memiliki kader partai yang diharapkan dapat melanjutkan estafeta perjuangan partai dimasa depan. Setiap partai memerlukan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad juang yang tinggi (baca: militansi) dalam membesarkan partai dimasa depan.
Sejarah telah banyak mencatat bahwa tersedianya kader yang memiliki seperangkat keunggulan dan kualitas akan dapat menjaga kelangsungan hidup suatu organisasi. Kader yang memiliki keunggulan dan kualitas tertentu inilah yang kemudian oleh Bung Karno dianalogikan sebagai jantung-nya partai. Jika jantung tersebut tidak berfungsi, maka dengan sendirinya organ-oran yang lainpun tidak berfungsi. Sebaliknya, jika jantung organisasi (baca: kader) berfungsi dengan baik, maka kita akan mengalami dinamisasi partai yang baik, bahkan akan berkembang dengan baik sesuai dengan yang diharapakan oleh Partai itu sendiri.
Disamping itu, sebagai upaya untuk mengoptimalkan peran kader muda dalam Partai Politik, hendaknya dibangun sebuah kesadaran kolektif bagi para kader-kader muda partai dalam memasuki wilayah politik praktis. Ini penting dilakukan untuk menghilangkan citra negatif dikalangan aktifis parpol. yaitu; oportunis dan pragmatis. Dalam kontek ini kesadaran yang harus dimiliki oleh seorang kader partai adalah; pertama kesadaran ideologis, yaitu setiap kader wajib hukumnya untuk memiliki kesadaran ideology, yang didalamnya mengandung dimensi kepercayaan, keterlibatan, komitmen dan tanggung jawab dari para kader itu sendiri. Kedua memiliki kesadaran politik, kesadaran politk artinya bahwa seorang kader partai harus memiliki komitmen politik sebagai manifestasi dari kesadaran ideologi yang dianutnya. Kesadaran politk yang harus dimiliki tentunya berakar pada nilai—nilai yang melembaga ditingkat keyakinan personal secara massif. Artinya sebagai seorang kader, dimana telah memiliki seperangkat nilai-nilai dari landasaan berpolitik praktis, maka harus dilaksanakan secara konsekwen; ketiga memiliki kesadaran organisatoris, yaitu suatu kesadaran dimana kader harus mampu menjadi seorang kader partai yang dapat menjalankan roda organisasi secara sehat, accountable, reasonable,dan transparan. Dengan memiliki kesadaran organisatoris yang demikian, maka dapat dipasikan bahwa roda organisasi partai politik akan berjalan dengan sangat rapih, tertib, dan sistematis. Kesadaran organisatoris juga akan selalu terpancar dalam perilaku hidupnya dalam keseharian. Artinya dimanapun ia (baca:kader) berada selalu akan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain dari segi inisiatif dan motivasi, sehingga ia akan selalu mewarnai dinamika organisasi yang dinaungi.
Kelima memiliki kesadaran perjuangan, artinya bahwa seorang kader harus memaknai secara lebih obyektif bahwa eksistensinya hidup dalam lingkungan partai politik, merupakan sarana untuk melakukan dan melaksanakan sebuah perjuangan mulia yang tak pernah berakhir. Dan yang hakiki adalah bahwa dimanapun seorang kader partai berada ia wajib untuk melaksanakan agenda dan cita-cita perjuangan bangsanya sampai tercapai. Dan keenam memiliki kesadaran pengabdian. Seorang kader partai, diharapkan memiliki komitmen untuk terus mengabdikan dirinya bagi kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita Partainya. Dan komitmen tersebut merupakan kesadaran yang harus selalu ditumbuhkembangkan dalam setiap jiwa-jiwa kader partai.

Pemilu 2009, Jatahnya Orang Muda!
Mengutip penyataan Bapak Amien Rais (mantan capres 2004), dalam sebuah diskusi di Jakarta (28/1/2008), beliau menyatakan bahwa “Pemilu 2009 adalah jatahnya orang-orang muda, kalau yang muda tidak juga muncul, jangan salahkan kalau yang tua turun gunung lagi”. Kalau kita mencermati pernyataan tersebut, secara eksplisit terkandung harapan besar bahwa pada pemilu 2009 yang akan datang, orang-orang muda masuk dan terlibat secara sadar dalam kegiatan-kegiatan politik baik tingkat lokal maupun nasional, untuk mengisi, menggantikan dan meneruskan estafeta peran generasi tua, yang sudah waktunya lengser keprabon. Disisi lain, pernyataan tersebut juga mengandung tantangan bagi orang-orang muda untuk bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa jargon “saatnya kaum muda memimpin” bukanlah hanya slogan-slogan sesaat yang cenderung emosional.
Berangkat dari pernyataan bapak Amien Rais diatas, maka sudah saatnya orang-orang muda Banten menyambut harapan tersebut dengan secara sadar masuk dan menjadi bagian dari institusi politik (Parpol), tentunya jika kita masih memiliki semangat dan idealisme untuk melanjutkan agenda reformasi yang ”masih setangah hati” ini terwujud. Penulis melihat, keterlibatan orang-orang muda Banten dalam wilayah politik mutlak diharapkan kehadirannya, dengan beberapa alasan; pertama, agenda reformasi hanya akan dapat wujudkan oleh mereka-mereka yang memahami substansi reformasi dan secara langsung terlibat dalam proses terjadinya reformasi tersebut, dalam hal ini adalah pemuda dan mahasiswa; ketiga diakui atau tidak bahwa secara umum telah terjadi perbedaan visi yang sangat jauh antara orang-orang muda dan orang tua dalam memaknai dan memperjuangkan amanah reformasi, dalam hal ini penulis melihat orang tua relatif lebih ”lamban” dan cenderung ”status qou” dalam memperjuangkan reformasi; keempat bahwa kultur budaya politik lokal banten saat ini dan yang akan datang tidak akan pernah baik manakala aktor politiknya masih didominasi oleh kelompok-kelompok yang secara mainstream politik masih konvensional dan cenderung statis. Dan untuk mengantisipasi hal tersebut, orang muda adalah kelompok yang tepat untuk tampil dalam proses politik dan membangun budaya politik yang rasional, modern, progresif dan dinamis.
Lantas, bagaimana parpol mensikapi hal tersebut? Menurut penulis, yang harus dilakukan oleh Partai politik adalah membuka diri terhadap potensi orang-orang muda yang berkeinginan untuk aktif dalam partai politik. Terurtama orang muda yang memiliki kapasitas intelektual dan integritas moral, kapabilitas, kredibilitas yang baik dan dari segi wawasan pengetahuan cukup memadai untuk direkrut. Dan tentunya hal tersebut harus melalui serangkaian proses rekrutmen yang secara normatif berlaku di masing-masing partai politik.
Akhirnya dengan memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk terjun di partai, kaderisasi dan regenerasi niscaya akan terus terjaga secara alamiah, dan dengan sendirinya partai politik akan menemukan arti dari fungsinya sebagai sebuah partai politik, yaitu melaksanakan rekrutmen politik, pendidikan politik, partisipasi politik. Wallahua’lam Bishowaf.




[1] Penulis adalah Direktur Eksekutif The Sultan Center (Pusat Studi Kepemimpinan Publik)

Memutus Benang Kusut Kemiskinan

Oleh: Achmad Rozi El Eroy[1]


Kemiskinan adalah problem sosial. Bagi kebanyakan orang, kemiskinan merupakan masalah yang cukup merisaukan. Ia dianggap sebagai penyakit sosial yang paling dahsyat dan menjadi musuh utama negara (Hairi Abdullah 1984:16). Kemiskinan bukan saja dilihat sebagai fenomena ekonomi semata-mata, tetapi juga sebagai masalah sosial dan politik (Syed Othman Alhabshi 1996). Karena dirasakan dahsyatnya bahaya kemiskinan, membasmi kemiskinan dianggap sebagai jihad (Anwar Ibrahim 1983/1984:25). Secara umum, kemiskinan mempunyai empat dimensi pokok, yaitu; kurangnya kesempatan (lack of opportunity); rendahnya kemampuan (low of capabilities); kurangnya jaminan (low-level of security); dan ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Dan lazimnya kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (poverty line). Kemiskinan tidak saja mengakibatkan penyakit busung lapar (gizi buruk), atau juga penyakit sosial, seperti Penjaja Sex Komersial (PSK), gembel (pengemis) dan lain sebagainya, kemiskinan juga mengakibatkan turunnya harga diri individu atau kelompok masyarakat.
Secara psikologis orang miskin cenderung lebih sensitif, gampang tersinggung, kurang percaya diri bahkan gampang emosi, sehingga kondisi ini rawan dengan berbagai upaya pemanfaat pihak ketiga yang menggunakannya sebagai kendaraa/alat untuk memancing kerusuhan di sebuah daerah, intinya kemiskinan memiliki keterkaitan cukup erat dengan stabilitas politik dan ekonomi sebuah daerah.Karena merupakan masalah pembangunan yang multidimensi, maka pemecahan kemiskinan harus melalui strategis yang komperhensif, terpadu, terarah dan berkesinambungan.

Konsep Kemiskinan
Dari berbagai literatur yang mengupas tentang konsep kemiskinan, paling tidak ada dua macam konsep kemiskinan yang dapat kita terima sebagai rujukan, yaitu; kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Konsep pertama kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya berorientasi kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan dan papan). Masing-masing negara terlihat mempunyai batasan kemiskinan absolut yang berbeda-beda, sebab kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berlainan. Karena ukurannya dipastikan, maka konsep kemiskinan semacam itu mengenal garis batas kemiskinan. Kemiskiinan absolut juga dapat dilihat dari sejauhmana tingkat pendapatan penduduk miskin tersebut mampu mencukupi kebutuhan pokoknya (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok ini dieuivalenkan dengan daya belinya (nilai uang). Mereka yang tidak mampu membeli kebutuhan pokok tertentu sesuai standar minimal dianggap berada pada posisi dibawah garis kemiskinan.
Konsep yang kedua kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standart, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan pada suatu daerah tertentu berbeda dengan pada daerah tertentu lainnya, dan kemiskinan pada waktu (saat) tertentu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan relatif lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan in term of judgment anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. kemiskinan relatif dilihat berdasarkan persentase pendapatan yang diterima oleh pendapatan lapisan bawah. Mereka yang berada pada lapisan bawah dalam stratifikasi pendapatan nasional inilah yang dianggap miskin. (Edi Suandy Hamid 2000:14)

Stigma Kemiskinan
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu; kemiskinan dalam perspektif kultural (the cultural perspective) dan kemiskinan dalam perspektif struktural atau situasional (the situasional perspective). Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganlisa masalah kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga level analisis; individual, keluarga dan masyarakat. Pada level individual ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti; sikap parochial, sikap apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada level keluarga ditandai oleh jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Kemudian pada level masyarakat, terutama ditandai oleh tidak terintegrasinya secera efektif dengan insitusi-institusi masyarakat. Mereka sering kali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap daripada sebagai subyek yang perlu diberi peluang berkembang.
Kemudian perspektif struktural/situasional masalah kemiskinan sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantahkan dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil-hasil pembangunan (development). Program-program tersebut antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Edi Suandy Hamid (2000:19) mengatakan bahwa masalah kemiskinan yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi ini, bukan saja laju pertambahan angkatan kerja baru tidak bisa diserap oleh pasar kerja, melainkan juga terjadi pemutusan hubungan kerja disektor formal yang berakibat bertambahnya angkatan kerja yang menganggur, baik itu yang menganggur penuh atau sama sekali tidak bekerja (open unemployment) maupun setengah menganggur atau bekerja dibawah jam kerja normal (under un employment).

Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Lantas, bagaimana menyelesaikan persoalan kemiskinan? strategi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam memutus benang kusut kemiskinan diatas? Menurut penulis, ada dua agenda besar yang mesti dilakukan oleh para pengambil kebijakan, baik ditingkat lokal, maupun regional dalam program pengentasan kemiskinan yaitu, pertama; peningkatan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) melalui pendidikan dan keterampilan; dan kedua pembangunan ketenagakerjaan melalui perluasan lapangan kerja dan serangkaian program pembangunan padat karya.
Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan melalui pengembangan budaya usaha masyarakat miskin, yaitu mengembangkan budaya usaha yang lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) dan meningkatkan keterampilan keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha ekonomi rakyat yang produktif atas dasar sikap demokratis dan mandiri. Program ketenagakerjaan dilakukan untuk menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Formula yang dapat diterapkan adalah dengan membangun iklim investasi yang kondusif disemua tingkatan, baik lokal,regional maupun nasional. Sebagaimana yang kita pahami bahwa investasi sekecil apapun jika regulasi dan iklim investasi tidak kondusif dan rasional, maka jangan harap investasi akan datang. Maka solusinya menurut penulis adalah harus political will dari pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi se rasional mungkin.
Berangkat dari dua strategi memutus benang kusut kemiskinan diatas, ada baiknya mereka para tokoh-tokoh, baik lokal maupun nasional untuk tidak secara terbuka berdebat dan berdikusi mengenai kemiskinan, rakyat tidak butuh diskusi dan debat, yang mereka butuhkan adalah aksi nyata bagaiamana kemiskinan bisa diatasi, pengangguran dapat dikurangi dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Wallahu’alaum Bishowaff

[1] Penulis adalah Staf Pengajar di STIE Al-Khairiyah Cilegon dan Direktur Eksekutif The Sultan Center